JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai meskipun anggaran penanggulangan
kemiskinan dalam APBN terus meningkat setiap tahun, namun penggunaan
anggaran tersebut belum efektif untuk menekan kemiskinan dan
ketimpangan.
“Efektivitasnya tidak sebesar anggaran yang dikeluarkan,” kata ekonom Indef, Achmad Heri Firdaus, di Jakarta, Minggu (20/8).
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan per Maret 2017, jumlah
penduduk miskin di Indonesia bertambah 6.900 orang mencapai 27,77 juta
orang dibandingkan September 2016.
Angka tersebut sekitar 10,64 persen dari total penduduk. Sementara
ketimpangan di Indonesia diukur dalam gini ratio per Maret 2017 sebesar
0,393 atau relatif stagnan dibandingkan gini ratio pada September 2016
yang mencapai 0,394.
Menurut Heri, penyebab utama belum efektifnya penanggulangan
kemiskinan dan ketimpangan itu adalah tidak adanya sinergitas
antarkementerian dan lembaga (K/L).
Selama ini, masing-masing kementerian berjalan sendiri-sendiri untuk menanggulangi kemiskinan.
“Misalnya, Kemensos dengan Program Keluarga Harapan (PKH), kemudian
Kemendiknas juga punya program sendiri di bidang pendidikan bantuan
sekolah, atau Kemenkes dengan bantuan kesehatan.
Ini yang mengurangi efektivitas penanggulangan kemiskinan, padahal
tujuan sama,” papar dia. Oleh karena itu, lanjut Heri, tidak ada cara
lain selain menyinergikan antar K/L untuk mengurangi angka ketimpangan.
Di samping itu, seharusnya yang ditingkatkan tidak hanya anggaran,
tetapi berbagai program yang sudah dijalankan pada tahun-tahun
sebelumnya dan tahun berikutnya dilakukan secara berkesinambungan.
“Harapanya bukan hanya karena tahun pemilu saja anggaran untuk
penanggulangan kemiskinan dinaikan, tetapi ini menjadi bagian dari
strategi nasional percepatan pertumbuhan ekonomi,” jelas dia.
Pemerhati ekonomi kerakyatan UGM, Dumairi, menambahkan arah untuk
menanggulangi kemiskinan memang sudah tampak, misalnya, pembangunan
infrastruktur untuk membuka akses bagi daerahdaerah terpencil.
“Tapi, infrastruktur itu banyak. Apakah yang dibangun itu akan
dinikmati rakyat kecil atau nggak? Itu yang jadi masalah,” kata dia.
Pengelolaan Utang
Terkait dengan pengelolaan utang, ekonom Indef, Bhima Yudhistira,
mengingatkan agar pemerintah lebih transparan dalam memaparkan
perkembangan utang.
Sebab, ketika defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB)
yang pecah batas di atas 3 persen sering dimanipulasi melalui mekanisme
pindah buku atau differed booking ke tahun depan.
Menurut dia, mengatakan dalam ilmu akuntansi, praktik differed
booking kerap dilakukan untuk menjaga defisit tidak melebihi batas yang
ditentukan oleh UU Keuangan Negara atau seakan-akan tidak bergantung
pada utang.
Padahal, ada penerbitan utang baru. “Di satu sisi, ini sebenarnya
pemberian informasi yang tidak transparan pada publik,” kata Bhima.
Ia menduga praktik itu dilakukan jauh sebelum 2014. “Atau praktik
yang kedua, pemerintah akan meng-carry over utang, dibebankan atau
dicatat pada tahun fiskal berikutnya. Jadi, seakan pembukuan utang itu
tidak terlalu besar di pembukuan di tahun berjalan,” jelas dia.
Menurut Bhima, melalui strategi akutansi seperti ini seakan
menunjukkan jumlah utang masih dalam taraf wajar. Strategi mengakali
rasio utang hanyalah cara untuk mewariskan utang kepada rezim
berikutnya.
“Jadi, pada waktu zaman pemerintahan sebelumnya kirakira warisan
utangnya ada sekitar 2.600 triliun rupiah. Namun, sebenarnya ada utang
yang dibebankan kepada pemerintahan sekarang.
Kita setiap tahunnya dibebankan lebih dari 200 triliun rupiah hanya untuk membayar bunga,” ungkap dia.
Strategi akutansi seperti itu, kata Bhima, seharusnya dilakukan
dengan sangat transparan sehingga tidak merugikan siapa pun, termasuk
rezim berikutnya. “Jadi, ini sebaiknya jangan terulang lagi,” kata dia.
0 comments:
Post a Comment