JAKARTA - Pertumbuhan kredit perbankan dinilai belum memadai untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan, apabila pertumbuhan
kredit masih seret seperti tahun ini maka berpotensi mengganjal
pertumbuhan ekonomi 2018 yang ditargetkan mencapai 5,4 persen.
Ekonom Indef, Reza Akbar, mengemukakan kredit perbankan sebenarnya
bisa mendorong pertumbuhan ekonomi apabila dialokasikan pada sektor
produktif.
Namun, bila kredit sebagian besar untuk konsumsi maka tidak akan ada
nilai tambah. “Tapi, kalau kredit untuk modal kerja dan investasi akan
men-generate pertumbuhan ekonomi.
Dia bisa ekspansi usaha dan menciptakan lapangan kerja,” jelas dia,
di Jakarta, Senin (11/9). Sayangnya, menurut Reza, hampir 50 persen
rakyat Indonesia mencairkan kredit untuk konsumsi, terutama untuk
kendaraan bermotor dan perumahan, termasuk untuk pembelian kendaraan
yang digunakan untuk sewa online.
Dia menyayangkan kredit perbankan tidak diarahkan ke sektor produktif seperti pertanian dan perikanan.
Perbankan lebih suka menyalurkan kredit kendaraan bermotor karena return- ya lebih cepat.
Di sisi lain, kredit modal usaha harus menghitung dulu risiko serta
imbal hasilnya juga tidak bisa cepat. Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri
Mulyani Indrawati, menyatakan pesimistis target pertumbuhan ekonomi di
APBN 2018 sebesar 5,4 persen bakal tercapai jika pertumbuhan Kredit
Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI) masih sama seperti tahun
ini.
Pertumbuhan KMK dan KI tahun ini diperkirakan mencapai 11 hingga 13
persen, namun untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen,
dibutuhkan tambahan kredit paling sedikit 13 hingga 15 persen.
“Tantangan besar bagi pertumbuhan ekonomi adalah credit growth (pertumbuhan kredit) perbankan yang cukup besar.
Di 2018, kredit perbankan perlu tumbuh sampai 483 triliun rupiah agar (pertumbuhan ekonomi) bisa 5,4 persen,” ujar dia, Senin.
Menurut Menkeu, penyaluran kredit perbankan bisa menjadi stimulus
utama bagi rencana investasi BUMN dan sektor swasta yang diprediksi
ekspansif tahun depan.
Dia menilai pertumbuhan investasi penting karena semua negara yang
memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen didorong oleh investasi.
Oleh karena itu, ia berharap perbankan juga memiliki strategi dalam
meningkatkan penyaluran kredit.
Apalagi, pemerintah telah berupaya memperbaiki iklim investasi
seperti deregulasi kebijakan pemerintah. “Semua negara yang
perekonomiannya bisa tumbuh di atas 5 persen adalah investasi. Kalau
dilihat Tiongkok dan India yang tumbuh di atas 6 hingga 7 persen,
investasinya di atas double digit.
Memang, pertumbuhan ekonomi tahun depan 5,4 persen tapi untuk menuju ke sana diperlukan upaya ekstra keras,” papar Sri Mulyani.
Sektor Riil Rapuh
Seperti dikabarkan, sejumlah kalangan memperkirakan pertumbuhan
kredit perbankan tahun ini masih single digit, bahkan di bawah 9 persen,
karena masih seretnya permintaan kredit menyusul kondisi perekonomian
yang dianggap belum kondusif. Prediksi itu meleset dari target
pemerintah yang berkisar 9–11 persen.
Sementara itu, hingga Juni 2017, pertumbuhan kredit secara year-on-year (yo- y) sebesar 7,75 persen.
Ekonom Universitas Padjadjaran, Ina Primiana, menilai meski asumsi
makroekonomi Indonesia cukup bagus, tapi sektor riil dinilai rapuh
sehingga sangat sulit mengatrol pertumbuhan kredit.
“Saat ini, industri tidak bisa bergerak karena barang impor yang sama
dengan produksi dalam negeri sudah membanjiri pasar Indonesia. Ditambah
lagi daya saingnya rendah. Ya sudah, mati,” papar Ina.
Ekonom Bank Permata, Joshua Pardede, berpendapat untuk memperbaiki
kinerja kredit mau atau tidak harus memperbaiki sektor riil. Hal itu
setidaknya sudah difasilitasi dengan pelonggaran moneter melalui
penurunan suku bunga acuan BI menjadi 4,5 persen.
“Harapannya, suku bunga kredit turun dan meningkatkan akselerasi
kredit. Akan tetapi, permintaan kredit akan dipengaruhi juga oleh
konsumsi masyarakat,” jelas dia.
0 comments:
Post a Comment