Mendekati tahun politik, jagat media sosial diramaikan dengan nama-nama calon pemimpin negeri ini. Huru-hara janji pun diumbar. Ada yang berjanji akan mengentas kemiskinan, ada pula yang bertekad membuat negara nol hutang, ada yang berkampanye akan menggratiskan ini itu, dan sebagainya. Setelah dipilih, kadang janji tinggal janji. Padahal, sebagai pemimpin mereka memiliki tanggung jawab besar.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman,
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ
النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ
شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Artinya, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS Shad [38]: 26).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, ayat ini menjadi dasar bahwa seorang pemimpin harus menjalankan amanah kepemimpinannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Balasan untuk pemimpin yang zalim adalah siksa pedih yang sudah Allah siapkan di akhirat kelak. (Ibnu Kastir, Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1988], juz IV, h. 29).
Dalam hadits yang sudah sering kita dengar, Rasulullah pernah menyampaikan,
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا
وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى
مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
Artinya, “Ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya. Dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya." (HR Bukhari).
Hadits ini menegaskan bahwa kita semua adalah pemimpin. Seorang presiden
bertanggung jawab memimpin rakyatnya, seorang kiai bertanggung jawab
memimpin para santri, seorang guru bertanggung jawab memimpin peserta
didiknya, seorang bapak bertanggung jawab memimpin seluruh anggota
keluarganya, dan seterusnya. Kelak, kepemimpinannya itu akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat.
Teladan Sayyidina Umar
Adalah Sayyidina Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam Islam setelah
Rasul wafat ini merupakan sosok pemimpin yang sangat adil. Baginya
menjadi seorang kepala negara bukan sebuah privilege yang membuatnya
merasa lebih istimewa dibanding rakyat biasa, tapi ada amanah besar yang
menjadi harus diembannya betul-betul.
Salah satu langkah yang Umar lakukan untuk menegakkan keadilan
memastikan keadaan rakyatnya baik-baik saja di tengah paceklik yang
melanda pada masa pemerintahannya adalah dengan berpatroli dari satu
rumah penduduk ke rumah lainnya. Hingga suatu malam, ia berkeliling
untuk melakukan pemantauan. Saat itu dia pergi seorang diri.
Zaid bin Aslam yang melihat Sang Khalifah lantas meminta izin untuk
mendampinginya. “Izinkan aku untuk mendampingimu, wahai Amirul
Mu’minin,” pinta Zaid. “Ya, silakan,” jawab Umar.
Mereka berdua berkeliling kota Madinah dan sekitarnya. Hingga sampai
di luar Madinah, tampak dari kejauhan sebuah cahaya. “Sepertinya di sana
ada musafir (orang yang sedang melakukan perjalanan),” kata Zaid.
Penasaran, keduanya pun mendekati sumber cahaya itu. Ternyata itu
adalah nyala api milik wanita janda tua dengan tiga anak kecil yang
semuanya sedang menangis. Wanita itu sedang memasak sesuatu di panci
sambil menyumpahi Umar dalam doanya. “Wahai Tuhanku, berilah balasan
terhadap Umar. Ia telah berbuat dzalim. Enak saja, kami rakyatnya
kelaparan sementara dia hidup serba berkecukupan,” kata si wanita.
Mendengar ucapan wanita itu, Umar pun menghampirinya dan mengucapkan salam. “Bolehkah kami masuk?" kata Umar dengan lembut. “Silakan,” jawab si wanita. Dia tidak tahu bahwa lelaki yang menghampirinya adalah Sang Khalifah. Umar menanyakan tentang kondisinya dan keadaan anak-anaknya.
“Kami datang dari jauh. Aku dan anak-anakku kelaparan. Aku tidak punya apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa,” terang wanita itu dengan nada sendu.
“Lalu, apa yang kau masak di panci ini?”
“Itu hanya air mendidih. Agar anak-anak mengira aku sedang memasak makanan. Dengan begitu mereka akan terhibur.”
Mendengar semua itu, Umar sangat malu, sedih, dan tentu merasa sangat berdosa. Ia pun berpamit untuk pergi dan menuju ke sebuah toko untuk membeli banyak sembako (riwayat lain menyebut ia menuju baitul mal). Ia meminggulnya menuju kediaman wanita tadi.
“Wahai Amirul Mu’minin, turunkan bawaanmu, biar aku saja yang memikulnya,” pinta Zaid.
“Jangan, biar aku saja yang membawanya. Anggap saja aku sedang memikul dosa-dosaku, juga semoga menjadi penghalang dikabulkannya doa wanita itu tadi,” tegas Umar. Sambil memikul sekarung sembako yang begitu berat menuju rumah wanita janda itu, ia terus menangis karena sangat merasa berdosa.
Sesampainya di rumah wanita, Umar memberikan semua sembako itu. “Semoga Allah memberimu balasan terbaik,” kata si wanita.
Tidak hanya sampai di situ. Umar pun ikut memasakkan untuk mereka. Setelah makanan siap, Umar mempersilakan mereka untuk menikmatinya. “Silakan, sekarang kalian semua bisa makan,” kata Umar, senyumnya melebar melihat wajah-wajah mereka yang tidak lagi murung.
“Ibu, mulai sekarang tidak perlu lagi mendoakan keburukan untuk Umar, ya. Mungkin dia belum mendengar kabar ada kalian kelaparan di sini,” kata Umar dengan lembut. (‘Abda Ali Mahna, Tharaiful Khulafa wal Muluk, 2017: 16).
Kisah tanggung jawab Umar ini menjadi tamparan keras bagi sebagian pemimpin negeri ini yang kadang mengabaikan kepentingan rakyat, sementara kebutuhan pribadi menjadi prioritasnya. Apakah dia pernah berpikir di akhirat kelak, bagaimana nanti saat dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt?
Penulis Marwah Safriani Hajar
0 comments:
Post a Comment