Jika melihat kiprahnya yang sudah memasuki usia 77 tahun (sejak pemilu pertama digelar 1955), seharusnya partai politik telah memasuki eksistensi wisdom dan mapan dalam membangun dan mengorganisasi dirinya di tengah konstelasi politik nasional dan global. Namun sayangnya hal itu tidak terjadi. Pemicu kegagalan itu ditengarai oleh beberapa faktor: pertama, watak oligarki atau feodalisme yang menggerogoti tubuh partai politik.
Oligarki dan feodalisme merupakan watak kekuasaan sekelompok elite yang secara materi buruk. Amandemen UUD 1945 yang menempatkan partai politik dalam posisi yang strategis bahkan supreme dalam struktur ketatanegaraan memang memosisikan partai politik bak “lumbung atau singgasana surgawi” bagi petualang-petualang kekuasaan.
Dalam pertumbuhannya, demokrasi makin terkurung dalam ruang ambisi dan monopoli praktik kekuasaan oligarki. Keputusan kelompok oligarki sering tidak memedulikan belas kasihan sebagian kecil perut masyarakat. Awal mula aktivitas oligarki itu dimulai dengan adanya KKN merajalela, lemahnya substansi hukum, adanya politik tranksaksional, hingga sederetan masalah di mana demokrasi terperangkap dan diakusisi oleh beberapa kepentingan kaum oligarki.
Saat ini oligarki menjadi sebuah ancaman bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak? Seluruh kekuasaan terbesar dipegang sepenuhnya oleh kaum elite demi keuntungan pribadi mereka. Kita harus ingat bahwa negara kita adalah negara demokrasi, di mana kekuasaan terbesar ada pada rakyat itu sendiri. Jika berbicara tentang demokrasi, maka harus berbicara pula tentang kedaulatan rakyat. Demokrasi berdiri atas prinsip persamaan, bahwa setiap manusia adalah sederajat.
Di negara demokrasi, kita semua berdaulat, semuanya sama-sama punya kuasa. Tapi pada kenyataannya, sistem demokrasi di Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki sehingga makin jauh dari cita-cita yang diharapkan.
Mengutip pernyataan Jeffrey A. Winters, seorang Profesor di Northwestenn University dalam bukunya yang berjudul “Oligarchy”, bahwa oligarki menekankan pada kekuatan sumber daya materiel sebagai basis kekuatan dan upaya mempertahankan kekayaan pada diri mereka. Adanya ketidaksetaraan materiel tersebut mengakibatkan ketidaksetaraan kekuasaan politik.
Kondisi itu juga yang terjadi di Indonesia saat ini. Jika dulu sebelum pra-reformas sebelum oligarki berkuasa pada ranah sentral, pada era reformasi sekarang ini oligarki makin berkembang ke berbagai bentuk melalui partai politik, pemilu, dan parlemen yang ada hidup dari pusat hingga pelosok daerah.
Pelaksanaan demokrasi juga erat hubungannya dengan pembangunan nasional. Tujuan dari pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia ialah pembangunan yang saling berkesinambungan, yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Mengutip pernyataan Bung Hatta, “Jika kita ingin membangun suatu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia.” Hal ini mengacu pada proses pembangunan yang seharusnya melibatkan rakyat, tapi pada kenyataannya rakyat hanya menjadi penonton dari pembangunan itu sendiri. Konsep pembangunan yang keliru ini dilakukan oleh sekelompok elite politik dengan tujuan meningkatkan nilai tambah ekonomi, bukan nilai tambah manusia. Padahal hak sepenuhnya menjadi milik kita, rakyat Indonesia.
“Money is power”; mungkin itu tiga kata yang mewakili sistem pemerintahan di negara demokrasi ini. Uang menjadi kuasa tertinggi di atas segalanya. Bahkan sesuatu yang tidak dapat disejajarkan nilainya dengan uang kini bisa ditukar dengan uang, seperti dewan perwakilan, jabatan, gelar, wewenang, dan posisi fungsional.
Sangat jelas bahwa pemerintahan, pemilu, dan partai yang diharapkan diisi oleh orang-orang yang mengabdi dan bekerja untuk rakyat telah berubah, diisi oleh sekumpulan elite politik yang memiliki basis kekayaan materiel serta basis kepentingan kapitalisnya sendiri. Nyatanya, kaum elite yang bermodal membeli politik (kekuasaan) dengan kekayaan yang mereka miliki.
Masyarakat tidak bisa dibodohi terus-menerus, kekecewaan publik lama-kelamaan akan menjadi bumerang bagi elite-elite politik yang menyimpang. Pelaksanaan demokrasi haruslah memperhatikan unsur kompetensi dan integritas. Demokrasi tanpa kompetensi dan integritas hanya mengandalkan mobilisasi, bukan partisipasi.
Maka dari itu pentingnya pemikiran kritis dari berbagai aspek untuk dapat menggeser nilai oligariki serta mengembalikan nilai lama dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945 sebagai fondasi demokrasi.
Nurul Anisa Mahasiswa di Universitas Padjadjaran
0 comments:
Post a Comment