SERANG – Rencana sertifikasi khatib salat Jumat oleh
pemerintah ditolak sejumlah tokoh masyarakat di Banten. Majelis Ulama
Indonesia Kota Serang berharap sertifikasi yang akan dilakukan adalah
guna peningkatan kualitas para khotib, bukan sebagai bentuk sensor
pemerintah terhadap isi khutbah.Sekretaris MUI Kota Serang KH Amas Tadjuddin mengatakan bahwa rencana
ini perlu dipandang dari beberapa aspek. Jika sertifikasi yang dimaksud
pemerintah adalah untuk melakukan sensor terhadap isi materi khutbah
Jumat, maka hal ini dinilai tidak baik. Dan jika Menteri Agama tetap
memaksakan hal ini, maka berarti pemerintah menganggap para khotib Jumat
adalah musuh negara. “Ini harus dihindari,” kata Amas Jumat (3/2).Dampak
yang lebih serius dari penerapan ini, kata Amas, adalah timbulnya
fitnah dan ketidakikhlasan penyelenggaraan salat Jumat di masjid-masjid.
Karena itu, sertifikasi menurutnya akan baik bila bertujuan untuk
meningkatkan kualitas dan kesejahteraan para khatib Jumat. Bila
bertujuan meningkatkan kualitas dan kesejahteraan khatib, maka upaya ini
tentu harus disambut secara baik. “Akan tetapi jika sebaliknya hanyalah
sia-sia saja,” katanya.Amas menyatakan, pembinaan terhadap
khtib tidak selalu harus dengan menggunakan sertifikasi. Cara lain yang
bisa digunakan adalah dengan membuka Jurusan khatib Jumat di Fakultas
Ushuluddin atau Fakultas Syariah di Perguruan Tinggi Islam.Ketua
PW GP Ansor Provinsi Banten Akhmad Nuri mengatakan bahwa bila
sertifikasi yang akan dilakukan pemerintah adalah untuk menyensor isi
khutbah ia mempertanyakan urgensi dan relevansinya. Sebab sejak dulu
tidak ada penyensoran pada isi khutbah yang merupakan rukun salat Jumat.
“Kalau upaya yang dilakukan dengan melakukan pelatihan untuk khatib
kita mendorong ke arah sana,” katanya.Nuri mengatakan bahwa
latar belakang tercetusnya rencana sertifikasi khotib ini adalah karena
ada sejumlah khotib yang materi khutbahnya memprovokasi. Bila ini yang
ingin dicegah, maka jalan keluarnya menurutnya bukan menerapkan
sertifikasi kepada seluruh khatib. Menurutnya ada 2 jalan keluar untuk
mengatasi itu. Pertama, membina organisasi-organisasi yang ada di
Indonesia. Kedua, melakukan pembinaan pada organsiasi-organisasi yang
anti Pancasila, anti NKRI, dan suka memprovokasi serta menentang NKRI. Ketua
Pengurus Wilayah Muhammadiyah Provinsi Banten Syamsudinmengaku mengaku
penasaran dengan tujuan sertifikasi tersebut."Kalau sertifikasi itu
seperti seperti guru mah enak ya, dapat tunjangan kan, bagus kalau
seperti itu, kami dukung. Kalau husnudzonnya (prasangka baik) ya
sertifikasi seperti guru itu," ujar Syamsudin melalui sambungan ponsel.Namun,
jika sertifikasi khotib itu memiliki tujuan lain, dengan maksud untuk
membatasi khutbah (ceramah), maka sejatinya rencana itu harus
ditolak."Kalau ada maksud agar khutbahnya dibatasi, ya enggak baik.
Kalau (niatnya-red) begitu, ya wajib ditolak. Dulu waktu zaman
Benny Moerdani (Jenderal TNI Leonardus Benjamin Moerdani-red), dan Ali
Moertopo (Letnan Jenderal Ali Moertopo) sempat ada wacana seperti itu.
Itu saya merasakan zaman itu. Khotib harus ada SIM. Kalau sepeti itu,
wajib ditolak, karena dakwah mah atas izin Allah. Tapi kita tidak mau
su'udzon (prasangka buruk) dulu, karena belum jelas seperti apa
wacananya," jelas Syamsudin. Ketua MUI Cilegon M Sayuthi Ali
menolak jika sertifikasi tujuannya untuk membatasi ceramah keagamaan.
“Sertifikasi kalau untuk menyeleksi khatib-khatib yang kualitas agamanya
baik, itu akan sangat baik,” ujarnya.Ketua Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Kota Cilegon Nurrotul Uyun mengatakan,
wacana sertifikasi khatib oleh pemerintah pusat perlu dikaji ulang.
Pemerintah juga harus memerhatikan dampak dari wacana sertifikasi khatib
yang membatasi ceramah. “Kalau memang banyak penolakan dari masyarakat
dan ulama saya rasa wacana tersebut perlu dicabut,” tegasnya.
0 comments:
Post a Comment