Oleh :
Yudi Yansyah S.Pd.i
ا مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ عَلِمُوا مِنَ
السُّنَّةِ، وَحَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِهَا قَالَ: يَنَامُ الرَّجُلُ
النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ اْلأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ فَيَظَلُّ أَثَرُهَا
مِثْلَ أَثَرِ الْوَكْتِ، ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ، فَيَبْقَى
أَثَرُهَا مِثْلَ الْمَجْلِ، كَجَمْرٍ دَحْرَجْتَهُ عَلَى رِجْلِكَ،
فَنَفِطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًا، وَلَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ، فَيُصْبِحُ
النَّاسُ يَتَبَايَعُونَ، فَلاَ يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي اْلأَمَانَةَ،
فَيُقَالُ: إِنَّ فِي بَنِي فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِينًا وَيُقَالُ
لِلرَّجُلِ، مَا أَعْقَلَهُ! وَمَا أَظْرَفَهُ! وَمَا أَجْلَدَهُ! وَمَا
فِـي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، وَلَقَدْ أَتَى
عَلَيَّ زَمَانٌ وَمَا أُبَالِي أَيَّكُمْ بَايَعْتُ، لَئِنْ كَانَ
مُسْلِمًا؛ رَدَّهُ اْلإِسْلاَمُ، وَإِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا؛ رَدَّهُ
عَلَيَّ سَاعِيهِ، فَأَمَّا الْيَوْمَ؛ فَمَا كُنْتُ أُبَايِعُ إِلاَّ
فُلاَنًا وفُلاَنًا.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam meriwayatkan kepada kami dua hadits, [3] salah satu dari keduanya
telah aku lihat, dan saat ini aku sedang menunggu yang lainnya. Beliau
meriwayatkan kepadaku bahwasanya amanah singgah pada pangkal hati
manusia, kemudian mereka mengetahui sebagian dari al-Qur-an, mengetahui
sebagian dari as-Sunnah, dan beliau meriwayatkan kepada kami bagaimana
diangkatnya amanah itu, beliau bersabda, “Seseorang tidur, lalu amanah
di dalam hatinya dicabut, maka bekasnya masih tetap ada bagaikan
titik-titik, lalu dia tidur kemudian dicabut, maka bekasnya bagaikan
lepuh, seperti sebongkah bara api yang digelindingkan ke kakimu, lalu ia
melukainya sehingga engkau melihatnya melepuh, tidak ada apa-apa
(sesuatu yang manfaat) di dalamnya. Lalu pagi harinya manusia melakukan
jual beli, maka hampir saja salah seorang dari mereka tidak bisa
melaksanakan amanah, dikatakan, ‘Sesungguhnya di bani Fulan ada seorang
laki-laki yang terpercaya,’ dan dikatakan kepada seseorang, ‘Sungguh
cerdas! Sungguh cerdik! dan sungguh kuat! Sementara di dalam hatinya
tidak ada keimanan seberat biji sawi pun. Telah datang kepadaku satu
zaman di mana aku tidak pernah peduli kepada siapa saja di antara kalian
aku melakukan jual beli, jika ia seorang muslim, maka keislamannya yang
akan mengembalikan (amanah), dan jika seorang Nasrani, maka walinyalah
yang akan mengembalikan (amanah) kepadaku. Adapun hari ini, maka aku
tidak melakukan jual beli kecuali kepada si fulan dan si fulan.” (Shahih Bukhari)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radadhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا
أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
‘Jika amanah telah disia-siakan,
maka tunggulah hari Kiamat,’ dia (Abu Hurairah) bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?’ Beliau menjawab,
‘Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari
Kiamat!’” (Shahih Bukhari)
Riwayat sahabat Khuzaifah tersebut
memberikan gambaran pada kita betapa mengerikannya akhir zaman.
Kerusakan dan ketidakteraturan sistem yang berlaku pada manusia telah
membuat banyak orang tidak lagi mampu membedakan yang benar dan yang
salah, haq dan bathil. Riwayat tersebut menunjukkan bahwa akhir zaman,
akan muncul generasi yang secara kasat mata terlihat alim dan shalih,
berpegang teguh dengan janji dan amanat, namun sebenarnya mereka bukan
termasuk ahlinya. Orang-orang awam menyangka bahwa guru mereka, kiayi
mereka adalah orang yang memiliki keimana dan pendirian agama yang kuat,
padahal dalam diri mereka tidak ada keimanan sedikitpun. Penampilan
yang melambangkan keshalihan, tutur kata yang menyiratkan orang alim dan
akhlaq dzahir yang menggambarkan kesempurnaan iman telah membuat banyak
manusia tersihir bahwa si fulan adalah jujur, amanah, alim, suci, dll.
Yang menjadi penyebab mengapa keimanan
dalam diri seseorang itu tercabut dari hati adalah kecenderungan dengan
dunia dan akrab dengan para penguasa, lalu terkena fitnah penguasa
hingga keberanian untuk menyampaikan kebenaran menjadi terhalang. Pada
saat yang sama, orang-orang diluar tetap menganggapnya sebagai pewaris
nabi yang oleh para pengikutnyta hanya taklid dan mengekor. Maka,
orang-orang yang sebenarnya memliki keimanan yang kuat justru dijauhi,
dianggap kelompok sesat.
Inilah kondisi akhir zaman,
manusia-manusia busuk yang berkhianat dianggap sebagai orang-orang jujur
dan mendapatkan kepercayaan, sementara hamba-hamba Allah yang jujur
mendapatkan pengkhianatan. Ketika sahabat Khuzaifah pertama kali
mendengar hadits tersebut dari Nabi, beliau belum menemukan tanda-tanda
yang menunjukkan akan datangnya nubuwat tersebut. Namun, di akhir
hayatnya Khuzaifah menyaksikan sendiri berbagai musibah dan malapetaka
yang menimpa kaum muslimin. Perpecahan dan pengelompokan umat Islam
dalam sekte dan golongan telah membuat Khuzaifah tidak mau sembarangan
dalam memberikan kepercayaan. Khuzaifah hanya menyebutkan bahwa ia hanya
memberikan kepercayaannya kepada fulan dan si fulan.
Dalam riwayat lain Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga berbicara tentang masa tersebut dimana seluruh ukuran telah rusak, beliau bersabda: “Sesungguhnya
akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya, di mana
pendusta dibenarkan, sedangkan orang-orang jujur didustakan, pengkhianat
dipercaya sedangkan orang amanat dianggap pengkhianat, di masa itu
ruwaibidhah berbicara. Beliau ditanya: “Apakah ruwaibidhah itu?” Beliau
menjawab, “Orang bodoh yang berbicara tentang persoalan orang banyak.”