|
Dipati Ukur atau Dipati Wangsanata |
SUNDA - Sebelum mengupas sejarah Dipati Ukur ada baiknya dikupas dahulu Silsilah Dipati Ukur atau Dipati Wangsanata.
Sejarah Silsilah Dipati Ukur
Wangsanata
(yang kemudian bernama Dipati Ukur) berasal dari Kerajaan Jambu Karang
berlokasi di Purbolinggo, Banyumas Jawa Tengah. Ia keturunan Sunan Jambu
Karang yang waktu itu masih beragama Budha (Pemda Kabupaten Bandung,
1974: 40). Suatu ketika, di Jambu Karang datang seorang Arab yang
bernama Abdurakhman alQadri. Ia menyebarkan agama Islam di kalangan
rakyat. Kiprahnya tersebut mendapat tantangan dari Sunan Jambu Karang.
Beberapa waktu, Abdurakhman dapat mengislamkan Sunan Jambu Karang.
Sebagai
ungkapan rasa terima kasih, Abdurakhman dijodohkan dengan putri Sunan
dan menggantikan kedudukan Sunan Jambu Karang sebagai raja. Selama
Abdurakhman menggantikan posisi Sunan, ia mengganti namanya menjadi
Pangeran Atas Angin. Pernikahan antara Pangeran Atas Angin dengan putri
Sunan Jambu Karang melahirkan putra bernama Cahya Luhur yang nantinya
menggantikan ayahnya bertahta di Jambu Karang. Putra Cahya Luhur bernama
Adipati Cahyana.
Pada saat itulah
Jambu Karang ditundukkan oleh Mataram di bawah kepemimpinan Sutawijaya.
Putra Adipati Cahyana yang bernama Wangsanata oleh Mataram disingkirkan
ke Tatar Ukur yang diperintah oleh Adipati Ukur Agung (Sumantri, 1973:
28). Dalam Mangle Arum, Adipati Ukur Agung adalah kepala daerah Ukur
pertama yang mengakui kekuasaan Mataram. Sesampai di Tatar Ukur, pemuda
Wangsanata diasuh oleh Adipati Ukur Agung.
Setelah
dewasa ia dijodohkan dengan Nyai Gedeng Ukur. Atas persetujuan Mataram,
Wangsanata menggantikan kedudukan Adipati Agung sebagai penguasa di
Tatar Ukur. Sejak itulah, Wangsanata lebih dikenal dengan nama Dipati
Ukur (Lubis, 2003: 13).
Bagi masyarakat Banyumas, Pangeran Jambu
Karang merupakan leluhur yang menjadi asal-usul berdirinya daerah baru
yakni Perdikan Cahyana Purbalingga Banyumas. Dalam cerita rakyat
setempat diceritakan, Pangeran Jambu Karang merupakan tokoh dari Sunda 2
yang masih beragama Budha. Ia diislamkan oleh Pangeran Atas Angin yang
berasal dari Arab. Pangeran Atas Angin kemudian menikah dengan putri
Sunan yang bernama Rubiyah Bkekti. Dari perkawinan tersebut lahir :
1) Pangeran Mahdum Kusen;
2) Pangeran Makdum Madem;
3) Pangeran Makdum Omar;
4) Nyai Rubiyah Raja; dan
5) Nyai Rubiyah Sekar.
Pangeran
Makdum Kusen kemudian menggantikan kedudukan ayahnya. Selama
kepemimpinan Makdum Kusen, Perdikan Cahyana masih dalam wilayah
Pajajaran. Selanjutnya Perdikan Cahyana terlepas dari kekuasaan Sunda
Pajajaran.
Pangeran Makdum Kusen
berputra Pangeran Makdum Jamil. Makdum Jamil berputra Pangeran Makdum
Tores dan Pangeran Wali Prakosa. Pangeran Wali Prakosa kemudian
mempunyai lima orang anak yaitu :
1) Nyai Suratiman;
2) Kiai Pangulu;
3) Pangeran Esthi (yang menjadi istri Pangeran Makdum Cahyana);
4) Kyai Mas Pekiringan; dan
5) Kiai Mas Akhir (Priyadi, 2001: 93).
Sepeninggal
Mahdum Cahyana, perdikan Cahyana terbagi-bagi menjadi beberapa daerah
perdikan di Kabupaten Purbalingga. Dari babad tersebut Wangsanata tidak
disebut-sebut. Dalam Sadjarah Bandung disebutkan bahwa Wangsanata dibawa
ke Tatar Ukur oleh Mataram.
Wangsanata adalah putra Pangeran Adipati Cahyana yang berasal dari Jambu Karang yang kini terletak di wilayah Banyumas.
Ia
terpaksa menyingkir ke wilayah Priangan karena daerah leluhurnya itu
dikuasai oleh Panembahan Senopati dan hegemoninya itu terus berlanjut
hingga diteruskan oleh para keturunannya. Setidaknya begitulah yang
dituliskan Naskah Sunda Mangle Arum terkait asal usul Wangsanata, yang
kelak dikenal sebagai Dipati Ukur.
Tempat
tinggal Wangsanata di wilayah Pasundan adalah Tatar Ukur, wilayah yang
dikuasai oleh Adipati Ukur Agung. Tampaknya daerah ini adalah kerajaan
yang tidak terlalu besar karena gaungnya tidak sekeras kerajaan-kerajaan
Sunda lain. Sebut saja Kerajaan Galuh, Kerajaan Pakuan, dan bahkan
Kerajaan Sumedang Larang. Namun demikian, Tatar Ukur menjelma menjadi
masyhur karena keberanian pemimpinnya dalam menentang sikap keras Sultan
Agung Mataram.
Di Ukur, Wangsanata
berkembang menjadi pemuda yang giat, tekun, dan lincah.
Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu tidak hanya menarik perhatian
Adipati Ukur Agung, namun juga menarik cinta putri sang adipati. Tidak
ingin kehilangan kesempatan, penguasa Tatar Ukur itupun segera
menikahkan putrinya dengan Wangsanata. Semenjak itu, posisi Wangsanata
di kerajaan Ukur semakin kuat. Ketika mertuanya tutup usia, Wangsanata
naik tahta menggantikannya.
Selanjutnya
Dipati Ukur alias Adipati Wangsanata alias Wangsataruna, menikahi NR.
Enden Saribanon/NM. Dipati Ukur, putri No.12 Prabu Geusan Ulun (Rd.
Angka Wijaya) dari isteri pertamanya yaitu Ratu Cukang Gedeng Waru (Sari
Hatin), putri Sunan Aria Pada (Rd. Hasata). lebih jelasnya sebagai
berikut
Generasi ke-1
1. Pangeran
Santri / Rd. Sholih / Ki Gedeng Sumedang (Koesoemahdinata I) menikah
dengan NM. Ratu Inten Dewata atau NM. Ratu Satyasih (Ratu Pucuk Umun
Sumedang), berputra :
1.1 Pangeran Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya)
1.2 Demang Rangga Dadji
1.3 Deman Watang
1.4 Santoan Wirakusumah
1.5 Santoan Tjikeroeh
1.6 Santoan Awi Loear
Generasi ke-2
1.1
Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah
dengan NM. Cukang Gedeng Waru / Nyimas Cukang Gedeng Waru / Nyimas Sari
Hatin, putranya Sunan Aria Pada (Rd. Hasata), berputra :
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV)
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I
1.1.3 Kiai Kadu Rangga Gede
1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana
1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati
1.1.6 Kiai Ngabehi Watang
1.1.7 NM. Demang Cipakoe
1.1.8 NM. Ngabehi Martayuda
1.1.9 NM. Rangga Wiratama
1.1.10 Rd. Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara
1.1.11 NM. Rangga Pamade
1.1.12 NM. Dipati Oekoer
1.1
Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah
dengan Harisbaya puteri asal pajang putra Pangeran Adipati Katawengan
keluarga Raja Sampang Madura.
1.1.13 Pangeran Soeriadiwangsa (Rangga Gempol)
1.1.14 Pangeran Tmg. Tegal Kalong (Rd. Aria Kusumah)
1.1
Pangeran Geusan Ulun / Rd. Angkawijaya (Koesoemahdinata II) menikah
Nyimas Pasarean, putra Sunan Munding Saringsingan (Asal Pajajaran)
1.1.15 Kiai Demang Cipakoe
Generasi ke 3
1.1.12
Nyi Mas (NM) Dipati Oekoer x Rd. Dipati Ukur Anom atau R Wangsa Taruna
atau Wangsanata (1587 - 1650M), anak angkat Rd. Dipati Ukur Ageung atau
Rd Wangsa Jaya (1630 M) (Keterangan diatas bahwa Dipati Ukur adalah
anaknya Mahdum Cahyana dari Purbalingga).
Ada
yang mensilsilahkan bahwa Rd. Dipati Ukur Ageur atau Rd. Wangsa Jaya
atau Panandean Ukur adalah anaknya Lingga Pakuan (1850), dan Lingga
Pakuan dan Rd. Aji Mantri adalah anaknya Prabu Surya Kancana / Prabu
Nusiya Mulya (Panembahan Pulasari) 1567 - 1569, Pulasari - Pandeglang,
Raja Pajajaran ke 6 baca di : https://id.rodovid.org/wk/Orang:1167413,
namun berdasarkan manuskrip primer Lontar Sakawayana yang berada di
Sumedang putranya Prabu Suryakancana / Prabu Ragamulya (Panembahan
Pulasari) atau Prabu Haris Maung dari isterinya Ratna Gumilang hanya Rd.
Aji Mantri (Baca disini :
https://cipakudarmaraja.blogspot.com/2016/02/lontar-ki-sakawayana.html).
Transkrip data Primer Naskah Wangskerta yang ditulis tahun 1670, menuliskan :
"
.....Sang Prabu Nilakendra namannya, memerintah selama 16 tahun, lalu
digantikan oleh sang Ratu Wekasan, ialah sang Prabu Ragamulya namannya,
memerintah selama 12 tahun. Waktu pemerintahan raja ini adalah kurun
jaman besar kerajaan Pajajaran, sebab sudah ditakdirkan oleh Tuhan yang
Maha Esa. Adapun musnahnnya kerajaan Pajajaran dan wglakamata saat
Banten 1501 saka (1579/1580 masehi)."
Disebutkan dalam Pustaka
Nusantara III/1 dan Kretabumi I/2 Karya Pangeran Wangsakerta tahun 1670,
menyebutkan runtuhnya Pajajaran terjadi pada pada tanggal 11 bagian
terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 8 Mei
1579 M. Naskah tersebut menjelaskan :
“Pajajaran
sirna ing ekadaa uklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki
ikang akakala”. Sedangkan “Runtagna” Pajajaran didalam naskah “Waruga
Jagat” dan naskah “Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh” disebutkan :
“Pajajaran burak pada tahun jim akhir”.
Begitu juga Naskah Primer
Lontar Carita Parahyangan, yang merupakan nama suatu naskah Sunda kuno
yang dibuat pada akhir abad ke-16, yang menceritakan sejarah Tanah
Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibu kota Kerajaan Sunda yaitu
Keraton Galuh dan keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari
naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta dengan
nomor register Kropak 406. Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar
ukuran 21 × 3 cm, yang dalam tiap lembarnya diisi tulisan 4 baris.
Aksara yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda
Kuno.
Bait terakhir Carita Parahyangan, menuliskan :
"Disilihan
ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa, tembey datang na prebeda.
Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam. Prang ka
Rajagaluh, éléh na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, éléh na Kalapa. Prang ka
Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka
Patégé, prang ka Jawakapala, éléh na Jawakalapa. Prang ka Galélang.
Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam. Kitu, kawisésa ku Demak
deung ti Cirebon, pun."
|
Dok SPN
Dedie Kusmayadi panata KSL Sumedang
|
Artinya :
"Diganti Oleh Nusiya Mulya.
Lamanya menjadi Ratu, dua belas Tahun. Mulai datang perubahan.
Sekelompok kecil disusupkan kepada sekumpulan orang, yang disusupkan
oleh pengaruh Islam. Perang ke Rajagaluh, kalah Rajagaluh. Perang ke
Kalapa, kalah Kalapa. Perang ke Pakwan, perang ke Galuh, perang ke
Datar. Perang ka Mandiri, perang ka Patégé, perang ke Jawakapala, kalah
Jawakapala. Perang ke Galélang. Menyebrang perang ke Salajo; semua kalah
oleh Pasukan Islam. Oleh sebab itu menjadi vatsal bawahan kesultanan
Demak dan Cirebon."
Setelah Prabu
Surya Kencana atau Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Sedha atau Prabu
Harismaung, burak di Kadu Hejo Pandeglang tidak ada lagi nama "Prabu"
dan yang melanjutkannya estafet kerajaan Pajajaran diteruskan oleh Prabu
Geusan Ulun dari Sumedanglarang. Begitu juga kurun waktu yang sama
yaitu ditahun 1850 ada anaknya Prabu Nusiya Mulya atau Prabu Surya
Kencana yaitu Prabu Lingga Pakuan diangkat mengantikannya selang
buraknya Pajajaran, setelah kerajaan Pajajaran Burak di Kadu Hejo
Pandenglang? Sedang eksistensi penerus estapet kerajaan Pajajaran
berikutnya adalah kerajaan Sumedanglarang di masa Prabu Geusan Ulun
berikut penyerahan Mahkuta Bino Kasih lengkap dengan Atribut oleh Empat
Kandaga Lente, yaitu: Jaya Perkasa (Sayang Hawu), Nangganan (Wirajaya),
Kondang Hapa, dan Terong Peot.
Generasi ke 3
1.1.12.1 Dlm. Dipati Agung Suriadinata atau Dlm Saradireja (1610 M), berputra :
1.1.12.1.1 Dlm. Natadireja atau Natadirga (Sentak Dulang) (1630 M)
Generasi ke 4
1.1.12.1.1 Dlm. Natadireja atau Natadirga (Sentak Dulang) (1630 M), berputra :
1.1.12.1.1.1 Rd. Abdulmanap Natadireja
Generasi ke 5
1.1.12.1.1.1
Rd. Abdulmanap Naya Diredja (Dalem Mahmud atau Syekh Hajji Abdul Manaf
(1650 - 1725 M) x NR. Emas Nayadiredja, berputera :
1.1.12.1.1.1.1 Rd. Saedi
Generasi ke 6
1.1.12.1.1.1.1 Rd. Saedi (Eyang Sayyidi), berputera :
1.1.12.1.1.1.1.1 KH. Muhammad Arif
1.1.12.1.1.1.1.2 Rd. Jeneng
Generasi ke 7
1.1.12.1.1.1.1.1 KH. Muhammad Arif, berputra :
1.1.12.1.1.1.1.1.1 KH. Ahmad Zakaria
1.1.12.1.1.1.1.2 Rd. Jeneng, berputera :
1.1.12.1.1.1.1.2.1 Rd. Jamblang
Generasi ke 8
1.1.12.1.1.1.1.1.1 KH. Ahmad Zakaria (Mama Rende Cikalong Wetan), berputra :
(belum ada data)
1.1.12.1.1.1.1.2.1 Rd. Jamblang, berputra :
1.1.12.1.1.1.1.2.1.1 Rd. Brajayudha (Sepuh)
Generasi ke 9
1.1.12.1.1.1.1.2.1.1 Rd. Brajayudha (Sepuh)/Jagasatru 1, berputra :
1.1.12.1.1.1.1.2.1.1.1 RH. Abdul Jabar
Generasi ke 10
1.1.12.1.1.1.1.2.1.1.1 RH. Abdul Jabar / Jagasatru 2 x Nyi Jaliah, berputra :
1.1.12.1.1.1.1.2.1.1.1.1 Rd. Brajayudha (Anom) Natapraja
II. SEJARAH DIPATI UKUR
Sebelum
membahas sejarah Dipati Ukur ada baiknya saya bahas dahulu sejarah
Sumedang yang berkaitan dengan sejarah Dipati Ukur. Pada periode
pengaruh Mataram penguasa Sumedang, yaitu Raden Aria Soeriadiwangsa /
Rangga Gempol (1601-1625) dan Pangeran Rangga Gede (1625-1633)
2.1 Rangga Gempol Kusumadinata (1601 1625 M)
Setelah
Prabu Geusan Ulun wafat pada tahun 1601, Prabu Geusan Ulun menyerahkan
tampuk kekuasaannya kepada 2 putra mahkota yaitu Pangeran Aria
Soeriadiwangsa dan Pangeran Aria Rangga Gede. Awalnya wilayah kerajaan
Sumedanglarang dibagi dua, wilayah pertama diperintah oleh Pangeran
Rangga Gede, putera sulung dari Nyi Mas Cukang Gedeng Waru. Pusat
kotanya terletak di Canukur, namun tak lama dan beralih ke daerah Paseh -
Pangrumasan, dan Pangeran Soeriadiwangsa, putera Harisbaya dari
Pangeran Girilaya. Ibu kotanya terletak di Tegal Kalong.
Sepeninggal
Prabu Geusan Ulun terjadi beberapa perubahan penting dalam status
pemerintahan dan kewilayahan. Hal ini terjadi berkait dengan semakin
menguatnya kesultanan Mataram.
Mengenai
semakin menguatnya kesultanan Mataram perlu dijelaskan sebagai berikut.
Pada tahun 1614 VOC mengirimm utusan ke Mataram, yang waktu itu
diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645), putera Sultan Seda Krapyak
(1602-1613). Kepada utusan VOC ini Sultan Agung menyampaikan pretensi
yaitu klaim bahwa seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon
berada dibawah kekuasaannya.
Meskipun
pretensi Kesultanan Mataram ini merupakah klaim sepihak, hal itu tak
membuat Pangeran Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol) dan Pangeran Aria
Rangga Gede takluk dibawah kekuasaan Mataram. Jika tidak memposisikan
diri sebagai kerajaan bawahan, Raden Suriadiwangsa khawatir Kesultanan
Mataram akan menyerangnya. Itulah antara lain yang mendorong raden
Suriadiwangsa atas kemauan sendiri pada tahun 1620 datang ke Mataram
menemui Sultan Agung untuk menyatakan pengakuan bahwa Sumedang menjadi
bawahan Mataram.
Kedatangan Pangeran
Aria Soeriadiwangsa ini disambut baik oleh Sultan Agung. Konon, karena
ketulusan hati Pangeran Aria Soeriadiwangsa yang mengakui hegemoni
Kesultanan Mataram inilah, wilayah yang dikuasai oleh Pangeran Aria
Soeriadiwangsa dinamai “Prayangan” (berarti “tulus-ikhlas”); selanjutnya
menjadi Priangan. Penghargaan atas kedatangan Pangeran Aria
Soeriadiwangsa dan ketulusan hatinya mengakui hegemoni atas Mataram,
Sultas Agung memberi gelar Dipati Rangga Gempol Kusumadinata.
(selanjutnya lebih popular dengan sebutan Rangga Gempol I). Status
Sumedang pun berubah, tidak lagi sebagai kerajaan, tapi sebagai
ka-Adipati-an yang menjadi bagian dari Kesultanan Mataram. Dengan
demikian, Pangeran Dipati Rangga Gempol pun tidak lagi sebagai raja,
tapi sebagai Adipati. Begitu juga wilayah-wilayah yang semula menjadi
bawahan Sumedanglarang diberi status sebagai wilayah KaAdipatian
(Kadipatian / Kadipaten / Kabupatian / Kabupaten). yang masing-masing
dipimpin oleh seorang Apapati. Akan tetapi posisi Dipati Rangga Gempol,
selain sebagai bupati yang memimpin pemerintahan Kabupaten Sumedang,
juga sebagai kordinator para bupati lainnya yang ada di wilayah
Priangan, yang dikenal dengan istilah Bupati Wedana. Selang empat tahun
setelah pengakuan hegemoni, pada tahun 1624.
Dipati
Rangga Gempol (Rd. Soeriadiwangsa) mendapat tugas dari Sultan Agung
untuk menaklukkan Sampang, Madura. Berangkatlah beliau dengan membawa
pasukan yang banyak. Oleh karena pada masa Adipati Rangga Gede berkuasa,
Sumedang kekurangan pasukan.
Setibanya
di wilayah Sampang Madura ada enam kerajaan kecil yang harus
ditaklukan, tiga kerajaan kerajaan yang ditaklukam secara damai, karena
setelah Pangeran Dipati Rangga Gempol berkomuniasi dengan Bupati Sampang
diketahui bahwa mereka adalah bersaudara; bahkan bupati Sampang Madura
ini tingkatannya lebih muda. Oleh karena itu, Bupati Sampang Madura
menyatakan ketundukannya kepada Dipati Rangga Gempol, namun tiga
kerajaan kecil lainnya yang harus ditaklukan dengan bantuan kerajaan
yang telah secara damai dengan Pangeran Aria Soeriadiwangsa.
Atas
keberhasilan ini, Sultan Mataram sangat gembira dan berterima kasih
kepada Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Sebagai penghargaan
atas jasanya, Sultan Agung meminta Pangeran Dipati Rangga Gempol (Rd.
Aria Soeriadiwangsa) untuk tinggal di Mataram. Pangeran Aria
Soeriadiwangsa, beserta beberapa anggota pasukannya tinggal di suatu
kampung, yang sampai sekarang disebut Kasumedangan, termasuk desa
Bembem. Namun apa yang terjadi sekembalinya dari Madura dan menetap di
Bembem, Adipati Rangga Gempol (Rd. Aria Soeriadiwangsa) malah dijatuhi
hukuman mati oleh Sultan Agung karena fitnah Bupati Purbalingga. Ada
suatu silib atau sindiran dari keturunan Soeriadiwangsa dari generasi ke
generasi yang memfiitnah Adipati Aria Soeriadiwangsa dari Mataram
tersebut disilibkan dengan "Burung Beo". Pangeran Aria Soeriadiwangsa
(Dipati Rangga Gempol) pun kemudian dimakamkan di Mataram pada tahun
1624 Masehi (tahun 1546 Saka). Beliau dimakamkan di tiga lokasi yang
berbeda, yaitu : di Lempuyanganwangi, dekat Stasiun Kerata Api
Lempuyangan, di Kotagede dan di Imogiri.
Sewaktu
Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata berangkat ke Sampang Madura,
pemerintahan Kabupaten Sumedang diserahkan kepada Dipati Rangga Gede,
putra pertama Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru.
Tidak
dijelaskan dalam sejarah, mengapa kekuasaan itu tidak dibagi dua lagi
dan diserahkan kepada putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa yang bernama
Raden Kartawijaya atau Raden Kartadjiwa sering disebut dalam sejarah
Raden Soeriadiwagsa (Soeriadiwangsa 2), atau kemungkinan ketika itu Rd.
Kartadijwa (Sooeriadiwangsa 2) belum cukup umur dan cakap memimpin suatu
wilayah. Dan apalagi Pangeran Aria Rangga Gede adalah uwaknya walaupun
berlainan ibu dengan Pangeran Aria Soeriadiwangsa.
2.2 Pangeran Dipati Rangga Gede (1625-1633)
Di
atas sudah disebutkan bahwa ketika Pangeran Aria Soeriadwangsa (Dipati
Rangga Gempol) mengemban tugas dari Sultan Agung untuk menaklukkan
Sampang, tugas pemeritahan di Kabupaten Sumedang diserahkan kepada
Pangeran Rangga Gede. Dengan demikian, Sumedang yang sempat terbagi dua
kembali disatukan di bawah bupati Pangeran Rangga Gede. Selama Pangeran
Rangga Gede menjadi bupati terjadi beberapa peristiwa penting, di
antaranya adalah Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) minta bantuan
Banten untuk menyerang Sumedang dan serangan Mataram ke Batavia.
Raden
Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) putera Dipati Rangga Gempol
Kusumadinata, merasa kecewa karena dalam pandangannya yang berhak
mewarisi kekuasaan di Kabupaten adalah dirinya. Yang terjadi malah
kekuasaan itu diberikan kepada Dipati Rangga Gede. Akan tetapi, Pangeran
Aria Dipati Rangga Gede memiliki alasan sendiri atas tindakannya itu.
merasa bahwa hak mewarisi kekuasaan dari Pangeran Geusan Ulun, karena
karena Dipati Rangga Gede adalah putra mahkota pertama dari Prabu Geusan
Ulun dari isteri pertama yaitu Ratu Cukang Gedeng Waru. Ibunya Adiapati
Soeriadiwangsa adala istri selir yaitu Ratu Harisbaya. Jusru yang lebih
berhak memerolehnya adalah Pangeran Rangga Gede. Kalaupun pada akhirnya
Dipati Rangga Gempol Kusumadinata jadi bupati, itu semata-mata karena
kebaikan Pangeran Geusan Ulun yang memperlakukannya Dipati Rangga Gempol
karena kecintaannya kepada Ratu Harisbaya.
Terhadap kenyataan
historis seperti itu, tampaknya, tidak begitu dihiraukan oleh Raden
Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) untuk menebus kekecewaanya itu Raden
Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) meminta bantuan Banten supaya merebut
kekuasaan dari Pangeran Rangga Gede. Atas permintaan itu pihak Banten
menyambut dan menyanggupinya.
Sikap
Banten seperti itu bisa dipahami. Banten memiliki maksud tersendiri
kepada Sumedang, karena Banten merasa berhak menguasai Sumedang setelah
Banten menaklukkan Kerajaan Sunda Pajajaran. Untuk mewujudkan rencananya
itu, Banten tidak langsung menyerang Sumedang. Akan tetapi terlebih
dahulu Banten menyerang daerah-daerah di sebelah utaranya yaitu
Karawang, Pamanukan dan Ciasem. Padahal daerah-daerah tersebut sudah
diklaim oleh Kesultanan Mataram sebagai bagian dari wilayahnya. Maksud
Banten menyerang daerah-daerah itu terlebih dahulu karena dua target,
selain bisa menaklukkan Sumedang juga bisa merebut kembali Batavia (yang
ketika masih bernama Jayakarta adalah milik Banten).
Kenyataannya
Sumedang malah memerdekakan diri dan mengklaim pelanjut kekuasaan
Kerajaan Sunda Pajajaran, hal ini terbukti pada masa generasi berikutnya
di masa Adipati Rangga Gempol III (1656-1706) putranya Rangga Gempol II
(Rd. Bagus Weruh), Kesulatan Banteen mengirimkan 2 utusan ke Adipatian
Sumedang agar Sumedang tunduk kepada kesultanan Banten, namun utusan
tersebut ditolak dan dibunuh oleh suruhan Pangeran Panembahan dan
kepalanya dikirimkan ke Batavia. Selang beberapa tahun berikutnya.
Pasukan Balad Kidoelnya dibawah Cilik Widara (ngabehi Sajtparana) dan
wakilnya Tumenggung Wiraangun-angun, mulai menguasai wilayah
Sumedanglarang dengan ditaklukannya wilayah-wilayah di darat seperti
Karawang dan pesisir pantai seperti Pamanukan, Pagaden dan Ciasem.
Bahkan
Bupati Ciasem R. Imbangwangsa, saudaranya Pangeran Panembahan dipenggal
kepalanya oleh sebab tidak mau tunduk kepada Banten, dan kepalanya
dikirimkan ke Surasowan (Banten). Selang beberapa tahun lalu Cilik
Widara (Nagehi Satjaparana), Cakrajoeda (Gagak Pranala) dibantu oleh
pasukan sewaan orang-orang Bali, Makasar jeung Bugis. Pasukan Banten
dibantu oleh Pasukan Tmg. Wiraangun-angun yang mana Tmg. Wiraangun-angun
adalah mertuanya Cakrajoeda. Tmg. Wiraangun-angun tahu jalan-jalan yang
mudah dilalui dan dengan mudahnya Sumedang dimasuki pasukan Cilik
Widara dari arah Barta dan Pasukan Cakrajoeda dari arah Timur.
Dan
puncaknya penguasaan Sumedang ketika di Hari Jumaat, tanggal 15 bulan
Nopember 1678 di Mesjid Tegalkalong terjadi peristiwa berdarah pasukan
Cilikwidara mengepung orang-orang yang sedang sembahnyang di Mesjid
Tegalkalong, banyak keluarga Pangeran Panembanhan dan rakyat yang tewas
karena secara licik diserang ketika tidak siap siaga menghadapi musuh.
Diantara saudara Pangeran Panembahan yang meninggal tersebut adalah Tmg.
Tegalkalong, Rd. Aria Santapura, Rd. Satjapati, Rd.Dipa, Rd. Mas Alom,
sementara Pangeran Pangeran Panembahan dapat meloloskan diri, Ibukota
dibakar oleh Pasukan Banten dan yang tidak dibakar hanya Kabupaten dan
Paseban Kadipatian Tegalkalong.
Sementara
Rd. Bagus Weruh (Rangga Gempol 2) ayahya Pangeran Panembahan dan Rd.
Singamanggala ditawan oleh Cilik Widara. Sehingga semenjak itu selama 2
tahun Keadipatian Sumedanglarang dikuasai oleh Cilik Widara. Oleh
Kesulatan Banten Cilik Widara dijadikan Adipatinya dengan gelar "Ngabei
Satjaparana" dan patihnya Tmg. Wirangun-angun (Aria Satjadiredja).
Kembali
lagi ke kisah Raden Kartadjiwa (Soeriadiwangsa II) berdasarkan sejarah
ke Ariaan Tangerang mendapat dukungan dari Rd. Aria Jaya Santika dan Rd.
Aria Wangsakara, namun karena tidak mendapatkan tanggapan dari Adipati
Rangga Gede, hingga akhirnya hijrah dari Sumedang (pundung) dan meminta
bantuan ke Sultan Banten waktu itu, begitu juga Rd. Aria Wangsakara
(Wirajara 2) dan Aria Jaya Santika, ikut dengan Rd. Kartadjiwa. Sesampai
di Banten akhirnya meminta ijin membuka lahan di wilayah kesultanan
Banten yang sekarang disebut Tigaraksa. Yang diangkat menjadi
pemimpinyaa Rd. Kartadjiwa jadi Kadipatian di Tigaraksa, sedangkan Aria
Wangsakara muka wilayah baru Kadipatian di Lengkong.
Ketika
Sultan Agung mengetahui larinya Rd. Kartajiwa (Soeriadiwangsa 2) ke
Banten dan Banten bergerak memasuki daerah-daerah yang dikuasai Mataram.
Sultan Agung murka dan menilai bahwa Pangeran Dipati Rangga Gede tidak
mampu mengendalikan pemerintahan. Sebagai sanksinya, pangkat bupati
wedana (opperregent) dari Pangeran Rangga Gede dicopot. Pangeran Rangga
Gede pun ditawan di Mataram. Sebagai penggatinya, pangkat bupati wedana
diberikan kepada Dipati Ukur.
Bersama-sama
dengan pasukan dari Mataram Dipati Ukur diperintah oleh Sultan Agung
untuk menyerang VOC di Batavia. Kurangnya kerja sama menyebabkan
serangan itu gagal. Dalam serangan yang kedua, Dipati Ukur menolak turut
serta. Sanksi atas kegagalan serangan yang pertama dan keengganan turut
serta dalam seramgan yang kedua membuat penguasa Mataram marah dan
memanggil Dipati Ukur untuk mendapatkan hukuman.
Akan
tetapi Dipati Ukur tidak memenuhi panggilan itu. Ia tetap tingal di ibu
kota Ukur yang terletak di Gunung Lumbung (sekarang termasuk Kecamatan
Cililin Kabupaten Bandung). Dipati Ukur malah menyiapkan pasukannya guna
mengantisipasi bila pasukan Mataram menyerangnya. Tindakan Dipati Ukur
seperti itu dianggap sebagai upaya pemberontakan terhadap Mataram. Hal
ini menambah murka Sultan Agung, sehingga Sultan Agung mengirimkan
pasukannya untuk menaklukkan Dipati Ukur. Serangan pertama yang
dilakukan akhir tahun 1628 ini gagal melumpuhkan Dipati Ukur. Dalam
serangan-serangan berikutnya dengan mengerahkan pasukan yang lebih
banyak, maka pada tahun 1632 pemberontakan Dipati Ukur berhasil
ditumpas. Pangeran Rangga Gede menyerahkan Dipati Ukur ke Mataram. Dalam
perjalanan pulang kembali ke Sumedang Pangeran Rangga Gede jatuh sakit
dan meninggal dunia di Citepus pada tahun 1633. Beliau kemuidan
dimakamkan di tepi kali Cipeles Sumedang.
Keberhasilan
serangan tersebut tidak lepas dari bantuan Pangeran Rangga Gede.
Sebagai penghargaan atas jasanya itu, Pangeran Rangga Gede dibebaskan
dari hukuman, diposisikan kembali sebagai bupati Sumedang dan
kedudukannya sebagai Bupati Wedana dikukuhkan lagi.
2.3 Dipati Ukur atau R Wangsa Taruna atau Wangsanata (1587 - 1650M)
Dalam
mengkaji sosok seorang Dipati Ukur merupakan julukan untuk Bupati
daerah Ukur atau Tatar Ukur. Sepak terjang Dipatu Ukur sendiri tidak
bisa dikatakan sebagai seorang pemberontak atau pengkhinat, malah sejak
awal Dipati Ukur sendiri telah diperintahkan oleh Susuhunan Mataram
untuk melaksanakan penyerangan terhadap kumpeni Belanda di Batavia.
Saat
itu dalam penyerangannya Dipati Ukur bersama pasukan Mataram dari
Kartasura yang dipimpin oleh Tumenggung Narapaksa. Ketidaksabaran Dipati
Ukur untuk langsung menyerang Batavia (kumpeni Belanda) dengan
memerintahkan pasukannya untuk menyerbu. Kekuatan pasukan Dipati Ukur
tidak bisa mengimbangi kekuatan yang akhirnya pasukan Dipati Ukur harus
menderita kekalahan yang membuat Dipati Ukur tertekan dan melarikan diri
ke hutan sekaligus mengurungkan niatnya untuk menyerbu kembali ke
Batavia.
Bertubi-tubi tekanan yang
harus dirasakan oleh Dipati Ukur yang membuat dia berniat bertemu dengan
Bupati Sunda lainnya untuk menyerukan mengurungkan penyerbuan terhadap
Batavia karena percuma menyerang kumpeni yang memiliki kekuatan yang
kuat dibandingkan kekuatan pasukan Mataram.
Karena
seruan Dipati Ukur seolah-olah sebagai suatu pemberontakan atau
pengkhinatan yang akhirnya Mataram memerintahkan Tumenggung Narapaksa
untuk menangkap Dipati Ukur yang akhirnya berhasil ditangkap dan dibawa
ke Kartasura untuk diserahkan kepada Susuhunan Mataram. Dipati Ukur
dengan pasukannya akhirnya mati dibunuh.
Mengapa Dipati Ukur ini ada yang menganggap pemberontak? Dan apa yang menyebabkan Dipati Ukur seolah-olah memberontak?.
Yang
pertama adalah Dipati Ukur telah melakukan beberapa kali malakuakan
penyerbuan terhadap Batavia dan beberapa kali itulah kekalahan yang
harus diterimanya yang menyebabkan banyak kerugian terhadap kekuatan
pasukannya.
Yang kedua adalah setelah
kekalahan itu Dipati Ukur dengan pasukannya melarikan diri ke Hutan
tepat nya daerah Pegunungan, disitu Dipati Ukur merasakan ketakutan
akanhukuman yang diterima nya setelah pelariannya itu.
Yang
ketiga Dipati Ukur syirik dengan Mataran karena hampir beberapa daerah
pasundan atau tanah Sunda berhasil didudukinya yang membuat Dipati Ukur
merasa seperti dijajah oleh kekuatan Jawa saat itu.
Yang
keempat suatu ketika Dipati Ukur sempat meminta bantuan Raja Banten
untuk membantunya melawan Mataran tetapi Raja Banten tak mengubris
Dipati Ukur, akhirnya Dipati Ukur mengutus beberapa pengikut untuk
datang ke Batavia menghadap kumpeni Belanda untuk diminta kesediaannya
membantu Dipati Ukur dan akhirnya kumpeni Belanda menyanggupinya dengan
kesepakatan dan syarat-syaratnya. Dan kesimpulannya adalah tekanan dan
rasa iri yang membuat Dipati Ukur tidak mau tunduk kepada Mataram itu
dalam perspektif sejarah lokal dan untuk sejarah nasional terbentuknya
daerah Bandung yang dulunya sebagai Tatar Ukur tidak bisa dipisahkan
akan sosok Dipati Ukur yang dimana pemimpin yang asli berasal dari
pasundan yang memang ingin sekali tanah pasundan ini dikuasai oleh orang
pasundan sendiri tidak ingin diduduki oleh kekuatan lain.
Pada
tahun 1524, datanglah Fadhilah Khan ke Cirebon. Beliau adalah putra
dari Sultan Huda di Samudera Pasai. Orang Portugis menyebut Fadhilah
Khan sebagai Faletehan. Sebelum diangkat menjadi panglima prajurit
Demak, oleh Sultan Trenggono, Faletehan diberi tugas untuk menyebarkan
Islam di daerah Kekuasaan Pajajaran yakni Cirebon membantu Syarief
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Gabungan prajurit Demak dan Cirebon
akhirnya pada tahun 1526 menguasai Banten.
Kemudian
Sunda Kelapa dan Pelabuan Pajajaran pun dapat dikuasai pada tahun 1527,
Kerajaan Hindu Talaga (Majalengka) ditaklukan tahun 1529 (panglima
perangnya waktu itu adalah Pangeran Walangsungsang).
Dan
puncaknya adalah pada tahun 1579 gabungan prajurit Demak, Cirebon dan
Banten ini akhirnya dapat meruntuhkan pusat kerajaan Sunda Pakuan. Dari
beberapa kerajaan penting di tatar Sunda yang ditaklukan oleh pasukan
Gabungan itulah akhirnya semakin membuka jalan bagi Mataram untuk
menguasai tatar Sunda.
Pada tahun 30
Mei 1619, VOC datang ke Jakarta yang waktu itu bernama Batavia untuk
mendirikan kongsi dagang disana. Kongsi dagang VOC ini cepat sekali maju
pesat karena VOC menerapkan sistem monopoli pada wilayah dagangnya
bahkan hingga ke wilayah dagang di daerah kekuasan Mataram.
Sontak
saja Sultan Agung yang berkuasa waktu itu menjadi geram karena polah
tingkah VOC ini membuat tataniaga Mataram menjadi tersendat. Merasa
dirugikan oleh pola tingkah VOC, Mataram pada tahun 1628 memutuskan
untuk menyerang Batavia. Gagal, mencoba kembali ditahun 1629 tetap
gagal.
Pemberontakan Dipati Ukur
Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar
Ukur), membawa surat tugas dari Sultan Agung,untuk memerintahkan Adipati
Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk
memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari
Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628.
Dalam
surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus
menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama
menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari
Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis.
Karena
logistik yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun
maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia
menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa. Baru dua hari
Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC,
pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak
ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu
pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini
malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah
kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden
Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa
para gadis, istri-istri prajurit dan bahkandirinya sendiri pun hampir
diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya.
Panglima
dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan
surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak
mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di
Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan
memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.
Mendengar
kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk
menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseur dayeuh Tatar Ukur,
atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang).
Dipati
Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di
Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari
semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian
melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur
terhadap teman-temannya.
Dalam
‘Nagara Karta Bumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung
adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal.
Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum
mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari
hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal
menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur.
Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur
dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya,
penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur.
Oleh
karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada
Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak, maka Dipati Ukur
pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Aklhirnya Sultan Agung pun
menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan
Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari
Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati
Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi
Mataram, maka bala tentara kekuatan pun disusun. Dipati Ukur mulai
melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten
yang mandiri.Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang
setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang,
Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya
tidak setuju, di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari
Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti dan Ki Wirawangsa dari
Sukakerta.
Belum juga Dipati Ukur
berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang
lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutaputra, salah satu pemuda
yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang
merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu
datang untuk menangkapnya.
Terjadilah
pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam).
Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus
kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun
akhirnya di hukum mati di Alun-alun Mataram dengan cara dipenggal
kepalanya.
Sepeninggal Dipati Ukur
wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah
pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram
dan lebih memilih memperistri penduduk setempat.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka
lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan
masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang
pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan
menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat. (Sumber :
http://www.bandungkab.go.id/arsip/2413/sejarah-berdirinya-kabupaten-bandung)
Sebelum
Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar
Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung
berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan
ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda -
Pajajaran.
Sejak pertengahan abad
ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu
Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan
Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas,
mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah
yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah
Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579 - 1580) akibat gerakan Pasukan
Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar
Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan
Pajajaran.
Kerajaan Sumedanglarang
didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580 -
1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah
Barat yaitu Desa Padasuka di kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan
kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali
daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika
Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Soerriadiwangsa, anak
prabu Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah
kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun
berubah dari kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram
menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat
terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang
berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan
Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan
Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi
wilayah Priangan. Sultan Agung mengangkat Raden Aria Soeriadiwangsa
menjadi Adipati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan
gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan
Rangga Gempol I.
Tahun 1624 Sultan
agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang
(Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada
adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede.
Tidak
lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati
Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan
Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat
mengatasi serangan tersebut. Adipati Ukur akibatnya, ia menerima sanksi
politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di
Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur,
dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun
1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan
Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami
kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari
kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh
Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh
karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap
Mataram.
Setelah penyerangan terhadap
Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan
tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai
pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.
Terjadinya
pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara
lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara
langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan
daerah Priangan.
Secara teoritis,
bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan
pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan
beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat
memadamkan pemberontakan Dipati Ukur.
Menurut
Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung
(daerah Bandung) pada tahun 1632. Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur
dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati
Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari
hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di
Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut.
Daerah
Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten,
yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura
dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap
telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Ketiga
orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti
diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung
Wiraangun-angun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi
Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.
Ketiga
orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung",
yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip
(penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan
hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai
hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Berdirinya
Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama
dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian
(bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian
Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah
dengan status administrative yang jelas, yaitu Kabupaten. Setelah ketiga
bupati tersebut dilantik dipusat pemerintahan Mataram, mereka kembali
ke daerah masing-masing.
Sajarah
Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung
Wiraangun-angun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur.
Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung
mendapatkan 200 cacah.
Selanjutnya
Tumenggung Wiraangun-angun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah
tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai
Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai
ibukota Kabupaten.
Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede
Wilayah
administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga
akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat
yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan.
Menurut
sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa
daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan,
Sagaraherang dan sebagian Tanah medang, bisa jadi, daerah Priangan di
luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh,
yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa
pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten
Bandung waktu itu.
Bila dugaan ini
benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnya
mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin,
Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan
lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanah medang.
Kabupaten
Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan
Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka
sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan
Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal
khusus dan prajurit bersenjata.
Simbol
dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh
Bupati atas rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara
lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh
raja.
Hak-hak dimaksud adalah hak
mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, hak
memperoleh tenaga kerja (ngawula),hak berburu dan menangkap ikan dan
hak mengadili.
Dengan sangat
terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah
heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan
umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan
daerahnya. Sistem pemerintahan dan gaya hidup bupati merupakan miniatur
dari kehidupan keraton.
Dalam
menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat - pejabat bawahannya,
seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala
distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala
desa) dan lain-lain. Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram
sampai akhir tahun 1677.
Kemudian
Kabupaten Bandung jatuhketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat
perjanjian Mataram - Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober
1677.
Di bawah kekuasaan Kompeni
(1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap
berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan
birokrasi dengan Kompeni.
Sistem
pemerintahan Kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena
Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan
jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini
bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak
lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan.
Sebagai
gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas
(opzigter) daerah Cirebon - Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).
Salah
satu kewajiban utama Bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan
penanaman wajib tanaman tertentu, terutamakopi, dan menyerahkan
hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara
itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya.
Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati
tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar
bupati dapatmelaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik,
pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang
itu, seperti bagian zakat fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun
rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya
ditentukan oleh Kompeni.Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni - VOC akhir
tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak.
Selama
itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh 8 orang
bupati. Tumenggung Wira Angun-angun (merupakan bupati pertama) angkatan
Mataram yang memerintah sampai tahun 1681.
Enam Adipati / Bupati Bandung keturunan Timbanganten berikut adalah bupati angkatan Kompeni beturut-turut, yaitu :
Tmg.
Ardikusumah (Rd. Ardi Sutamagata), Bupati Bandung ke II : 1681-1704.
kakak demang Candra Dita (Sunan Tendjolaya), adik Tmg. Nyili (Dalem
Tenjolaya, Timbanganten).
Tmg. Anggadireja I (Sunan Gordah Timbanganten), Bupati Bandung ke III : 1704-1747. (anak Tmg. Ardikusumah)
Tmg.
Anggadireja II (Rd. Inderanegara), Bupati Bandung ke IV : 1747-1763.
(anak tertua Tmg. Anggadireja I), Bupati Timbanganten pindah ke
Dayeuhkolot Bandung
Tmg. Anggadireja III, RAA. Wiranata kusumah I, Bupati Bandung ke V : 1763-1794. (anak Tmg. Anggadireja II)
RAA. Wiranata Kusumah II (Dalem Kaum), Bupati Bandung ke VI : 1794-1829 (anak RAA. Wiranatakusumah I)
RAA. Wiranata Kusumah III (Dalem Karang Anyar), Bupati Bandung ke VII : 1829-1846 (anak RAA. Wiranata kusumah II)
Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.
Oleh : Dedie Kusmayadi panata KSL Sumedang
Sumber : Dari berbagai sumber Wacana Sejarah (Lacak Luluhur Sumedang)