Utang pemerintah menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan
dalam masa Pemilihan Presiden RI 2019. Berbagai istilah panas mencuat,
misalnya: utang Indonesia bak kanker stadium empat; Indonesia akan bubar
di tahun 2030 karena utang; hingga Menteri Keuangan ialah menteri
pencetak utang.
Istilah-istilah tersebut tampak menandaskan
suatu kecemasan di masyarakat. Apakah sebegitu parahnya utang pemerintah
Indonesia? Mari kita berbicara dengan data-data.
Guna mengukur
besar kecilnya utang pemerintah di suatu negara tidak bisa semata
dilihat dari seberapa besar pinjamannya. Karena jumlah utang berdasarkan
kebutuhan.
Negara kecil jika berutang tentu porsinya juga kecil,
sedang negara besar mempunyai kebutuhan yang juga besar. Maka untuk
melihat besar-kecilnya hutang pemerintah, mesti ada ukuran tertentu.
Pada
umumnya, cara yang dipakai adalah dengan membandingkan jumlah utang
suatu negara dengan apa yang dapat dihasilkannya, seperti Debt-To-GDP Ratio (rasio utang terhadap produk domestik bruto).
Sebagaimana
diketahui, saat ini pemerintah Indonesia memiliki rasio utang terhadap
PDB sebesar 30,25 persen. Angka ini posisinya separuh dari batas limit
yang ditetapkan dalam UU Keuangan negara, yaitu 60 persen dari PDB.
Untuk
perbandingan, Jepang memiliki utang nasional tertinggi di dunia, yaitu
di angka 235,96 persen dari PDB-nya. Kemudian diikuti oleh Yunani, di
191,27 persen. Selanjutnya Venezuela dengan rasio utang terhadap PDB
sebesar 161,99 persen.
Besarnya rasio utang pemerintah suatu
negara tidak menandakan negara itu negara miskin. Jepang walaupun
utangnya besar, namun negara sakura itu ialah negara maju dan salah satu
ekonomi terbesar di dunia.
Contoh lain dapat ditengok dari
kekuatan ekonomi utama dunia, Amerika Serikat. Negara Paman Sam itu
memiliki utang nasional yang juga tinggi, di angka 108,02 persen dari
PDB. Cina, ekonomi terbesar kedua di dunia dan rumah bagi populasi
terbesar di dunia (1.415.045.928), memiliki rasio utang nasional 51,21
persen dari PDB. Jerman, sebagai ekonomi terbesar di Eropa, memiliki
rasio utang nasional yaitu 59,81 persen.
Menurut database World Economic Outlook yang
dikeluarkan IMF, April 2018, posisi utang Indonesia berdasarkan PDB
masih tergolong rendah. Bahkan di urutan 30 terkecil dari 183 negara di
dunia.
Jika berpegang pada data tersebut di atas, jelas utang
Indonesia masih jauh dari mengkhawatirkan. Akan tetapi, pendekatan ini
belakangan mulai di kritik oleh para ekonom.
Masalahnya adalah bahwa PDB memang dapat diklaim sebagai pendapatan nasional suatu negara (atau outputatas
seluruh unit usaha yang ada dalam wilayah negara), namun sayangnya
pemerintah tidak memiliki akses ke semua pendapatan nasional itu.
Pemerintah
hanya menguasai bagian yang dikumpulkan dalam pajak. Sedang PDB
mencakup semua hasil produksi barang dan jasa (total produksi), tanpa
memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor
produksi dalam negeri atau tidak. Maka dari itu kita tidak dapat membaca
perkembangan yang lebih jauh dari data Debt to GDP Ratio by Countryversi IMF tadi.
Jeffrey Dorfman, profesor ekonomi dari Universitas Georgia, dalam artikelnya Forget Debt As A Percent Of GDP, It's Really Much Worse menerangkan
bahwa melihat utang nasional sebagai persentase dari PDB mungkin
merupakan konvensi internasional yang umum, tetapi tidak mampu
menggambarkan semampu apa sebenarnya negara debitur itu dapat membayar
utangnya.
Pendekatan lebih akurat adalah dengan mengukur secara
spesifik rasio antara utang dengan pendapatan pajak serta non-pajak di
suatu negara karena di situlah riilnya pendapatan pemerintah.
Negara
dengan pajak tinggi dapat membayar lebih banyak utangnya dengan percaya
diri. Rasio antara utang dengan pendapatan pajak mengungkapkan gambaran
yang jauh lebih benar tentang beban utang masing-masing negara pada
keuangan pemerintahnya.
Kemampuan Indonesia
Pada
tahun 2018 penerimaan pajak dan non pajak Indonesia berjumlah 1.899,53
trilun rupiah. Sementara utang pemerintah sebesar 4.429 triliun rupiah (outlook 2018).
Kemudian dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 utang pemerintah diprediksi akan bertambah 18,9 persen menjadi Rp5.269 triliun.
Dari
angka-angka itu maka rasio utang pemerintah terhadap kemampuan fiskal
berada di 233 persen. Dan angka tersebut akan meningkat di tahun 2019
ini sekitar 40 persen --berdasarkan proyeksi APBN.
Artinya untuk
membayar seluruh utangnya, Indonesia mesti berpuasa selama dua setengah
tahun. Secara signifikan jumlah ini berbeda dari perhitungan yang umum
dengan patokan PDB.
Namun ada perkembangan menarik pada beberapa
tahun belakangan soal utang pemerintah Indonesia. Pemerintah telah
berupaya menggeser unsur pembiayaan utang negara menjadi lebih
tergantung pada pemberi pinjaman lokal daripada yang asing. Hal tersebut
sebagai usaha untuk mengurangi risiko nilai tukar dan mengurangi
kerentanan terhadap guncangan global yang terkait dengan utang luar
negeri.
Strategi itu tercermin dalam meningkatnya penggunaan surat utang berdenominasi rupiah yang diterbitkan kepada publik Indonesia.
Statistik
terakhir dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa porsi pinjaman luar
negeri dalam portofolio utang Indonesia menurun dari 78 persen menjadi
30 persen antara 2008 dan 2017. Pangsa surat berharga dalam mata uang
rupiah pun naik dari 21,7 persen menjadi 70 persen selama periode yang
sama.
0 comments:
Post a Comment