MANUSIA memerlukan suatu tatanan hukum yang mengatur hubungan antara hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, yang disebut dengan mu’amalah. Satu bentuknya adalah perjanjian atau kesepakatan kerja bersama antara penyedia jasa tenaga di satu pihak dengan penyedia pekerjaan di pihak lain. Di Indonesia, kerja sama ini disebut perjanjian perburuhan, seperti termaktub dalam UU No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 Ayat (21) bahwa perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau serikat buruh atau beberapa serikat pekerja atau serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketanegakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Namun, masih ada perbedaan pandangan tentang masalah perburuhan tersebut.
Selama ini masih terdapat stereotype bahwa masalah perburuhan sangat ditentukan oleh ekstrimitas dua sistem ekonomi, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sistem kapitalisme diasumsikan cenderung mengeksploitasi buruh untuk menghasilkan nilai lebih (surplus value). Sementara itu, sistem sosialisme cenderung membela buruh dengan konsep kebebasan dalam kegiatan ekonomi, tetapi dengan campur tangan pemerintah sehingga menyebabkan hilangnya kemandirian. Sedangkan di Indonesia, sistem perburuhannya lebih khusus lagi, dimana upah yang diberikan kepada buruh dianggap sebagai cost (biaya) yang kongruen dengan produktivitas yang dihasilkan. Sehingga unsur-unsur kemanusiaan, termasuk agama sebagai sistem kesadaran buruh, tidak menjadi faktor penting yang mempengaruhi kebijakan perburuhan.
Perspektif Islam
Di tengah pandangan
ekstrem tersebut, Islam menawarkan sistem sosial yang berkeadilan dan
bermartabat. Sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem per pekerjaan,
yang di dalamnya mencakup hubungan majikan dengan buruh, dan konsep
pemberian upah. Islam memberikan penghargaan tinggi terhadap pekerjaan,
dan buruh yang bekerja serta mendapatkan penghasilan dengan tenaganya
sendiri wajib dihormati. Karena dalam perspektif Islam, bekerja
merupakan kewajiban mulia bagi setiap manusia agar dapat hidup layak dan
terhormat. Bahkan kedudukan buruh dalam Islam menempati posisi
terhormat.
Rasulullah saw pernah menjabat tangan seorang buruh yang bengkak karena kerja keras, lalu menciumnya dan berkata: “Inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari). Tolak ukur pekerjaan dalam Islam adalah kualitas dari hasil kerja tersebut, maka buruh yang baik adalah buruh yang meningkatkan kualitas kerjanya, sebagaimana firman Allah Swt: “Dan masing-masing orang memperoleh derajatnya dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. al-An’am: 132). Mengingat pentingnya kualitas kerja ini, Rasulullah saw menyatakan dalam satu hadis: “Sesungguhnya Allah senang bila salah seorang dari kamu meninggikan kualitas kerjanya.” (HR. Baihaqi).
Dalam memandu hubungan pengusaha dan buruh, Islam memiliki prinsip muswah (kesetaraan) dan ‘adlah (keadilan). Dengan prinsip kesetaraan menempatkan pengusaha dan pekerja pada kedudukan yang sama, yaitu saling membutuhkan. Di satu pihak buruh membutuhkan upah dan di pihak lain pengusaha membutuhkan tenaga, maka pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan. Firman Allah Swt: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat: 13).
Semua manusia apakah dia buruh atau pengusaha adalah sama sebagai hamba Allah. Maka hak dan kewajiban diantara keduanya juga sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Pemenuhan hak-hak buruh bukan berarti mengurangi kewajiban buruh dalam melaksanakan pekerjaan secara sungguh-sungguh, sesuai dengan perjanjian kerja. Karena itu Islam sangat menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Islam tidak hanya memberikan jaminan terhadap hak-hak buruh, tetapi juga menjamin hak-hak pengusaha. Karena itu kesepakatan atau perjanjian kerja dianggap sebagai sumpah yang harus ditunaikan oleh kedua belah pihak.
Hubungan pengusaha dan buruh adalah kemitraan dalam bekerja, karena itu konsep Islam tentang hubungan ini disebut konsep penyewaan (ijrah). Konsep penyewaan meniscayakan keseimbangan antara kedua belah pihak, sebagai mustajir (penyewa) dan mujir (pemberi sewa). Penyewa adalah pihak yang menyerahkan upah dan mendapatkan manfaat, sedangkan mujir adalah pihak yang memberikan manfaat dan mendapatkan upah. Antara mustajir dan mujir terikat perjanjian selama waktu tertentu sesuai kesepakatan. Selama waktu itu pula, kedua belah pihak menjalankan kewajiban dan menerima hak masing-masing. Dalam akad ijrah ini, mustajir tidak dapat menguasai mujir, karena status mujir adalah mandiri, dan hanya diambil manfaatnya saja. Berbeda dengan jual beli, ketika akad selesai maka pembeli dapat menguasai sepenuhnya barang yang dibelinya.
Prinsip yang ideal
Selain itu Islam memiliki prinsip keadilan
(‘adlah), merupakan prinsip yang ideal dalam konsep perburuhan. Dengan
prinsip ini akan menempatkan kedua belah pihak, baik buruh maupun
majikan, untuk memenuhi perjanjian yang telah disepekati bersama dan
memenuhi kewajibannya sebagaimana firman Allah Swt: “...dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177).
Prinsip kesetaraan dan keadilan semestinya mengantarkan pengusaha dan buruh kepada tujuan yang diharapkan. Tujuan buruh adalah upah yang memadai dan kesejahteraan, sedangkan tujuan majikan adalah berkembangnya usaha. Namun realitas yang terjadi menunjukkan hubungan yang tidak seimbang antara pengusaha dan buruh. Pengusaha karena memiliki daya tawar yang lebih besar sering mengeksploitasi buruh. Padahal jika kedua belah pihak menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik, maka tujuan tersebut dapat tercapai.
Pandangan Islam tentang upah buruh masuk dalam unsur ijrah, yang harus memenuhi syarat-syarat kerelaan kedua belah pihak. Manfaat yang menjadi akad harus diketahui secara sempurna sehingga tidak muncul permasalahan di kemudian hari. Objek akad harus halal dan upah harus jelas berupa sesuatu yang bernilai harta (mutaqawwim). Meskipun terjadi perbedaan dalam besar kecilnya upah, Islam mengakui kemungkinan terjadinya karena perbedaan jenis pekerjaan, kemampuan, keahlian, dan pendidikan.
Namun, Islam juga memberi perhatian pada hak-hak lain buruh, seperti perlindungan, mendapat jaminan sosial, kemerdekaan berbicara, hak beristirahat (cuti), dan sebagainya. Permasalahan ini pula yang didengung-dengungkan setiap memperingati Hari Buruh Internasional (Mayday) pada setiap 1 Mei, yang terilhami dari kesuksesan aksi buruh di Kanada dalam menuntut pengurangan jam kerja. Di Indonesia, perjuangan ini telah dilakukan oleh buruh selama lebih dari 90 tahun. Sebagai solusi dari permasalahan ini ada baiknya kita kembali mengkajinya dari perspektif Islam dengan prinsip muswah dan ‘adlah itu. Nah!
* Drs. Fauzi Abubakar, M.Kom.I (Magister Komunikasi Islam), Dosen STIKes Muhammadiyah,
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete