Jakarta. Keindahan alam yang memikat memberikan peluang pesatnya
perkembangan sektor pariwisata di Indonesia. Perkembangan sumbangan
Devisa Negara dari sektor pariwisata di Indonesia berdasarkan sumber
infografis Kementerian Pariwisata dalam kurun waktu 5 tahun mulai 2014
sampai 2019 mencapai 17,1 M US$ dengan peningkatan berkisar 1 M US$ per
tahunnya. Faktanya nilai devisa ini masih belum menggembirakan
dibandingkan dengan negara asia lain khususnya negara yang memperoleh
investasi asing langsung. Agar mampu bersaing dengan negara lain
Indonesia diharapkan dapat mengatasi tantangan diantaranya tumpang
tindih peraturan dan tumpang tindih kewenangan perwilayahan antar
berbagai elemen pemerintahan beserta kebijakannya.
Adapun
terdapat beberapa permasalahan lainnya seperti Permasalahan Tumpang
tindih peraturan perundang-undangan terkait sektor kepariwisataan di
Indonesia dalam hal investasi usaha pariwisata. Seperti dalam
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terkait
kewenangan pemberian izin perusahaan penanaman modal yang dapat
diperoleh dari Pelayanan Terpadu Satu Pintu sementara PP 24 Tahun 2018
pelaksanaan kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha wajib dilakukan
melalui lembaga OSS.
Mengenai
batasan kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 dimana pembagian kewenangan
dalam kebijakan tersebut hanya terfokus ke pembagian wilayah
penyelenggaraan penanaman modal, tidak menjelaskan kewenangan
aspek-aspek dalam investasi lainnya.
Lalu
ketimpangan kebijakan terkait Hak Guna Bangunan - UU No.25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal dan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria Dalam UU No. 5 Tahun 1960 pasal 35 disebutkan bahwa
Hak Guna Bangunan memiliki jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Sedangkan dalam UU No.
25 Tahun 2007 pasal 22 disebutkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat
diberikan dengan jumlah 80 Tahun (50 tahun diberikan dan diperpanjang
secara langsung dan dapat diperbaharui selama 30 tahun). Beberapa hal
tersebut yang menjadi dasar BPHN untuk menyelenggarakan Focus Group
Discussion Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Kepariwisataan di Badan
Pembinaan Hukum Nasional (27/08).
Kepala
BPHN Prof Dr. H. R. Benny Riyanto mengemukakan bahwa permasalahan dalam
bidang Kepariwisataan salah satunya disebabkan masih adanya tumpang
tindih regulasi baik di tingkat pusat maupun daerah (27/08).
“Oleh
karenanya dibutuhkan sosialisasi dan koordinasi lintas sektor yang
intensif untuk menyelaraskan setiap kebijakan yang lahir sehingga dapat
mendorong pendapatan sektor pariwisata yang lebih optimal di masa yang
akan datang,” ungkap Kepala BPHN.
Sejalan
dengan pendapat tersebut DESMA CENTER menyampaikan bahwasanya
dibutuhkan sosialisasi dan kordinasi lintas sektor dan tingkat
pemerintahan untuk menyelaraskan kebijakan investasi khususnya sektor
pariwisata. Tidak hanya itu, Batasan kewenangan antara pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota belum diatur secara tegas dan jelas dalam
Undang-undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 Pembagian kewenangan
dalam kebijakan tersebut hanya terfokus ke pembagian wilayah
penyelenggaraan penanaman modal, tidak menjelaskan kewenangan
aspek-aspek dalam investasi lainnya seperti ekspor impor, perizinan,
pemasaran, hubungan kerjasama baik dengan dalam dan luar negeri.
“Oleh
karena itu perlu diperjelas kebijakan perwilayahan secara komprehensif
sebagai acuan investor,” ungkap Wiwik Mahdayani selaku Founder dan
director DESMA CENTER.
Ditengah
upaya mengatasi tantangan yang ada, sektor pariwisata dihadapkan dengan
serentetan ancaman dampak dari Pandemi COVID-19. Sekretaris Jenderal
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, M. Yusran memotret potensi
hilangnya devisa, potensi hilangnya pajak dan retribusi daerah, serta
PHK.
“Telah
lahir tantangan baru yaitu tantangan adaptasi normal baru di sektor
pariwisata dimana konsistensi terhadap penerapan dan pengawasan protokol
kesehatan menjadi kunci penting, namun kami optimis akan adanya geliat
pertumbuhan sektor pariwisata yang didukung regulasi yang baik,”
ujarnya. *(Kontributor AE/Humas BPHN)
0 comments:
Post a Comment