Oleh Dodi Chandra
Mahasiswa Arkeologi FIB UI.
Berdasarkan sistem kepercayaan, yang disebut dengan Islam Santri adalah sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dan menjalankan syariat dengan sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama, dan berusaha membersihkan akidahnya dari perilaku syirik. Sedangkan Islam abangan adalah sekelompok muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam, yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu, dan unsur-unsur asli sebelumnya. Tradisi tersebut menekankan kepada integrasi unsur-unsur Islam, Budha-Hindu dan kepercayaan asli sebagai satu sinkritisme dan islam abangan ini sering disebut dengan Agama Jawa. Sementara itu, berdasarkan partisipasi ritualnya, Islam Santri lebih beorientasi menjalankan ritual yang diajarkan Islam secara baku seperti shalat, puasa, ibadah haji, mengaji. Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak diajarkan secara baku seperti slametan, ngruwat, tirakat, sesajen, dan sebagainya.
Mengambil pendapat dari Koentjaraningrat menyebut religiusitas Islam Abangan dengan istilah Agami Jawi dan Islam Santri dengan Agama Islam Santri. Kategori ini nampaknya untuk membedakan dua varian religius dan bukan varian sosial seperti santri, priyayi, dan abangan. Yang dimaksudkan Koentjaraningrat dengan Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. Sementara itu, Agama Islam Santri lebih dekat pada dogma-dogma Islam baku.3 Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha dan Islam (heterodoks). Sementara Islam Santri lebih bersifat puritan karena mereka mengikuti ajaran agama secara ketat (ortodoks). Walaupun demikian, seperti ditulis Koentjaraningrat, hal itu tidak berarti mereka hampir tidak beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan kebenaran kitab Al-Quran dan percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu, percaya akan makhluk ghaib dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin Islam resmi. Selain 2 golongan tadi, dalam buku Karya Clifford Geertz “ Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa” (1960) menyebutkan bahwa pada masyarakat Jawa terdapat 1 golongan lagi yang merupakan diferensiasi dari peradaban Jawa, yaitunya islam Priyayi, merupakan golongan dari satu golongan elit, wakil aristokrasi Jawa, pegawai birokrasi yang bertempat tinggal di kota dan merupakan keturunan raja besar Jawa, kaum priyai/kaum elit yang sah memanifestasikan satu tradisi agama yang disebut sebagai varian agama priyai dari sistem keagamaan pada umumnya di Jawa. Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman dengan tujuannya adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi.
Dapat dipahami bahwa ketiga golongan tadi merupakan bukti dari kuatnya islam dan tradisi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis mau menjelaskan lebih lanjut mengenai Islam santri dan abangan, ajaranya, sosio-religius, kekuatan sosial-politik dan keberadaan kedua golongan ini dalam dunia politik di Indonesia.
1.Budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan,
1.Budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-praktek keagamaan. Masyarakat Jawa yang memiliki tradisi dan budaya yang banyak dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindhu dan Buddha terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang berbeda, seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya.
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegangi ajaran Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus berjalan hingga sekarang.
Dalam tulisan Marzuki, M.Ag (Dosen Jurusan PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta) yang berjudul “ Tradisi dan Budaya Masyarakat Jawa dalam Perspektif Islam dituliskan bahwa masyarakat Jawa memiliki budaya yang khas terkait dengan kehidupan beragamanya. Menurutnya ada tiga karakteristik kebudayaan Jawayang terkait dengan hal ini, yaitu:
a. Kebudayaan Jawa pra Hindhu-Buddha
Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
b. Kebudayaan Jawa masa Hindhu-Buddha
Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindhu-Buddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha lebih mempersubur kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.
c. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam
Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindhu menjadi Jawa-Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gerlar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animisme-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu santri dan abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka. (Simuh (1996: 110),
2.Latar belakang sosial islam santri dan abangan
Kemunculan islam santri dan abangan tidak lepas dari kebudayaan Jawa sebagai asal-usul lingkungan dan latar belakang sosial bagi golongan-golongan. Masuknya agama islma di Indonesia sudah mulai sebelu didirikannya kerajaan Jawa-Hindu yang paling jaya, Majapahit pada tahun 1292. Agama islam diperkenalkan ke kepulauan Indonesia melalui jalur perdagangan rempah-rempah. Penyebaran islam erat sekali kaitanya dengan pola perdaganga internasional, dan memantapkan pelabuhan-pelabuhan pantai mulai dari Sumatra Utara, Demak, Jepara, Tuban dan pantai utara Jawa lainnya.
Faktor lain yang mendorong pengislaman di Jawa ilalah kenyataan bahwa pengaruh Hinduisme dan Budhisme kepada jalan fikiran Jawa tidak seberapa dalam. Fikiran jawa tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan fikiran Hindu yang menemukan ketertiban dalam alama semesta. Dan islam menyajikan 1 jalan fikiran tanpa fikiran orang Jawa untuk menyelidiki kekuatan-kekuatan alam semesta. Dengan kata lain fikiran orang Jawa memiliki kecocokan dengan pikiran orang islam sehingga, islam sangat mudah dan berkembanga di Jawa.
Peran wali songo dalam penyebaran islam di Jawa sangatlah penting. Selain memadukan antara tradisi dengan islam, wali songo dalam penyebaran islam mendirikan pesantren masing-masing, tempat dimana para santri menelaah ajaran dan tasawuf islam. Para wali songo tidak hanya pembuka kurun baru dalam islam di Jawa dan mengakhiri zaman Hindu-Budha, tapi juga menguasai zaman berikut yang terkenal oleh orang Jawa sebagai jaman kuwalen (zaman para wali).
Pola pengislaman di Jawa mulai berlaku dengan adanya saudagar-saudagar asing yang telah memperoleh kehormatan dan kekuasaan serta telah dianugerahi hak untuk membangun mesjid dan sebagai hasilnya, ada mualim-mualim yang masuk ke Jawa dan menarik banyak muslimin dari luar negeri.
Bertahannya islam di Jawa tidak lepas dari giatnya para Kyai dan Ulama yang merupakan inti kehidupan santri. Semula peradaban santri hanya terbatas pada kota perdaganga di pantai tapi dengan pembentukan dan pemberdayaan pesantren yang dipimpin oleh kiyai-kiyai yang mahsyur mengakibatkan islam tumbuh dan berkembang didaerah pedesan. Islam di Jawa pada awalnya sangat diwarnai oleh kebudaayn Jawa. Pada masa inilah, islam didakwakan dengan jalan meletakkannya pada kebiasaan-kebiasaan setempat dan dengan membuatnya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan orang Jawa, sehingga islam banyak memberikan kelonggaran kepada sistem kepercayaan sinkretis. Barulah pada menjelang pertengahan abad sembilan belas isolasi Islam Indonesia dari timur tengah itu mulai pecah dengan datang pedagang-pedagang Islam dari ujung selatan Semenanjung Arab, Hadramaut. Mereka menyiarkan pengertian ortodoksi mereka yang bagus kepada para pedangang setempat yang terikat hubungan perdagangan dengan mereka.
Namun demikian, arus ke arah ortodoksi dalam fase ini adalah lambat. Persaudaraan keagamaan diwarnai secara mistis dimana diperolah suatu kompromi tertentu dengan kaum abangan di satu pihak. Dengan didirikannya Muhammadiyah dan Serikat Islam telah membangunkan gerakan-gerakan konservatif untuk melawan apa yang mereka anggap penyimpangan yang berbahaya dari doktrin Islam zaman pertengahan.
3.Santri dan Abangan dari sudut sosial dan religius
Keberadaan islam santri dan abangan dalam sebuah golongan sosio-religius, disebabkan dan didasarkan pada sikap religius para anggotnya dan diperkuat pula oleh satu sikap golongan religius. Dalam hal ini, satu sikap golongan yang diungkapkan dalam sebuah satuan sosial ditentukan oleh 2 faktor: pertama, peranan tradisi yang berubah dan berkembang sesuai dengan zaman, kedua, pengahayatan sesuatu yang suci sebagai dasar untuk sikap religius. Dalam hal ini, kita harus memperhatikan hubungan antara agama dan masyarakat. Setidaknya ada 3 jalan yang dapat ditempuh untuk memeriksa hubungan antara agama dan masyarakat. Pertama, ikut sertanya dalam upacara agama suatu golongan dan kepercayaannya merupakan segi yang tidak terpisahkan dalam keanggotaan golongan. Kedua, sistem kepercayaan dan upacara agama akan menandai suatu paguyuban tertentu. Ketiga, kepercayaan dan upacara agama seharusnya mengacu pada latar belakang sejarah suatu paguyuban tertentu.
Sebagai bekas daerah kerajaan, Jawa memiliki sebuah strukur pembagian masyarakat. Mengambil pendapat Clifford Geertz , dalam buku Karya Clifford Geertz” the Religion of Java “(1960). Konsepnnya ini bukan lah satu stratifikasi, melainkan diferensiasi, artinya bahwa itu merupakan satu hal yang bukan dilakukan untuk memasukkan manusia ke dalam klas dan memiliki status yang vertikal, melainkan lebih cenderung ke arah horizontal. Ia membagi masyarakat Jawa menjadi 3 tipe budayawi utama: santri, abangan, priyayi. Ia memberikan ketiga varian religius itu diantara orang Jawa sebagai berikut: Varian Agama Abangan, tradisi agama abangan yang pada pokoknya terdiri dari pesta ritual yang dinamakan selametan, satu kompleks kepercayaan yang luas dan rumit tentang roh-roh, dan seperangkat teori dan praktek penyembuhan, ilmu tenung, dan ilmu gaib Diasosiasikan dengan cara yang luas dan umum dengan desa Jawa . Varian abangan menurut Geertz adalah masyarakat kaum tani di jawa. Abangan itu adalah kaum tani jawa. Agama abangan menggambarkan sintesa petani antara hal-hal yang berasal dari kota dan warisan kesukuan, satu sinkretisme sisa-sisa lama dari selusin sumber yang tersusun menjadi satu konglomerat untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang berjiwa sederhana. Yang menanam pad di teras-teras yang diairi .Varian agama Santri, deskripsi yang terperinci mengenai varian santri menurut Geertz adalah sebagai berikut: ia dimanifestaikan dalam pelaksanaan yang cermat dan teratur, ritual-ritual pokok agama islam, seperti kewajiban shalat lima kali sehari, shalat jumat di mesjid, berpuasa selama bulan ramadhan, dan menunaikan haji ke Mekah. Ia dimanifestasikan dalam satu kompleks organisasi-organsisasi sosial, amal, dan politik seperti Muhammadiyah, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Nilai-nilainya bersifat antibirokratik, bebas dan egaliter. Orang-orang santri sendiri hidup berkelompok-kelompok, sekarang hal itu sudah berkurang dibandingkan dengan sebelum perang, namun masih nampak juga pengelompokan-pengelompokan mereka. Dan akhirnya ketaatan melakukan ibadah salatlah yang pada tingkat tertentu merupakan ukuran santri. Priyayi dan abangan hampir tidak pernah melakukannya. Varian santri ini dimanifestasikan sebagai pedagang. Di desa terdapat unsur santri yang kuat, yang seringkali dipimpin oleh petani-petani kaya yang telah naik haji ke Mekah dan setelah kembali mendirikan pesantren-pesantern. Kemudian, menurut Geertz untuk santri di kota diidentifikasikan sebagai berikut: Di kota kebanyakan santri adalah pedagang atau tukang, terutama penjahit . Varian Agama Priyai Geertz berasumsi nahwa kaum priyai kaum elit yang sah memanifestasikan satu tradisi agama yang disebut sebagai varian agama priyai daris istem keagamaanpadaumumnyadijawa. Geertz melukiskan mereka sebagai satu golongan pegawai birokrasi yang menurut tempat tinggal mereka, merupakan penduduk kota. Mereka memiliki gelar-gelar kehormatan yang merupakan bagian dari birokrasi aristokrasi kraton.
Setelah itu, Clifford Geertz menerapkan istilah santri pada kebudayaan muslimin yang memegang peraturan dengan keras dan biasanya tinggal bersama di kota dalam perkampungan dekat sebuah mesjid. Istilah abangan ia terapkan pada kebudayaan orang desa yaitu para petani yang kurang terpengaruh oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan lain di antara penduduk. Sedangakan istilah priyayi diterapkanya pada kebudayaan kelas-kelas tertinggi yang ada pada umumnya merupakan golongan bangsawan berpangkat tinggi atau rendah. Dalam bukunya Geertz memerinci bahwa setiap golongan menitikbertakan pada salah satu diantara segitiga khusus pada sinkretisme religius Jawa, yaitu: Animisme, Budhisme, Hindu, Islam.
Berbeda dengan pendapat Geertz, dalam kenyataanya masyarakat Jawa lama hanya dapat dibagi menjadi 3 bagian: raja, bangsawan dan petani. Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa sendiri membedakan 4 tingkat sosial yaitu: ndara (bangaswan), priyayi (birokrat), wong dagang (pedagang), wong cilik (masyarakat kecil).
Berbeda dengan stratifikasi sosial secara horizontal, ada pula klasifikasi masyarakat Jawa yang didasarkan pada ukuran sampai dimana kebaktian agama islamnya atau tingkat kepatuhan seseorang dalam mengamalkan syariatnya. Pertama pada santri, orang muslim saleh yang memeluk agama islam dengan sungguh-sungguh dan dengan teliti menjalankan perintah-perintah agama islam sebagaimana yang diketahuinya, sambil berusaha membersihkan akidahnya dari syirik yang terdapat di daerahnya. Kedua, terdapatlah abangan yang secara harfiah berarti “yang merah” yang diturunkan dari pangkal kata abang. Istilah ini mengenai orang Jawa yang tidak memperhatikan perintah-perintah agama islam.
Dalam perjalanan zaman, arti santri dan abangan telah berubah. Di Jawa Tengah, sampai tahun 20an semata-mata berarti siswa atau murid sebuah pesantren, sementara dikota istilah tersebut mengacu pada muslimin Jawa yang tinggal dalam permukiman sekitar mesjid yang dinamakan kauman.sebaliknya istilah abangan di Jawa Timur dan Jawa Tengah mengacu kepada golongan yang pandangan dunia, kepercayaan dan gaya hidupnya berlainana para muslimin yang saleh. Lagi pula di Jawa Tengah kata abangan cenderung menjadi ungkapan sinis yang merendahkan derajat.
4.Islam santri dan abangan dalam kepercayan dan amal perbuatan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bahwa kaum abangan sangat tidak mempedulikan doktrin-doktrin agama dan lebih senang melarutkan diri dalam detail ritual. Sedangkan santri sebaliknya menjadikan doktrin sebagai pegangan utama dalam kehidupan dan memberikan sikap yang tak toleran secara tegas kepada praktik uparaca.
Setelah zaman prasejarah berlalu di Pulau Jawa, agama Hindu-Budha pun masuk dan berkembang ditandai dengan muncul dan berkembangnya kerajaan dimulai abad ke-8 sampai awla abad ke-16. Keruntuhan kerajaan Majapahit sebagai kerajaan yang besar, menjadi akhir dari masa Hindu-Budha di Jawa. Setelah itu, masuklah pengaruh Islam di Nusantara, terkhususnya islamisasi di Pulau Jawa dan islam itu sendiri menjadi agama yang terkemuka di pulau Jawa selama 350 tahun terakhir.
Konsep dasar Jawa mengenai dunia gaib didasarkan pada gagasan bahwa semua perwujudan dalam kehidupan disebabkan oleh makhluk berfikir yang berkepribadian dan yang mempunyai kehendak sendiri. Gagasan animism yang menganggap nyawa atau roh tinggal dalam benda mampu meninggalkannya untuk mengembara sekehendaknya atau untuk menduduki tubuh atau benda lain. Adapun praktek-praktek fetisyisme, spritisme, syanamisme bertalian erat dengan konsep. Kepercayaan religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsure-unsur alamiah secara animis yang berakar dalam agama-agama Hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh ajaran Islam.
Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut Hyang atau yang berarti”tuhan. Tuhan dalam bahasa Jawa terkadang dinamakan Hyang Maha Kuwasa. Salat sehari-hari dalam bahasa Jawa disebut dengan sembahyang. ‘Kata sembahyang sendiri berasa dari kata sembah yang berarti “penyembahan” dan yang artinya “tuhan”. Bagi orang Jawa tidak ada seorang pun dapat menghitung jumlah para yang tersebut.
Penggunaan Jimat begitu jelas tampak pada masyarakat Jawa. Kebanyak dari jimat tersebut berisi ayat-ayat al-quran atau salah satu rumus Arab lainnya. Tujuan jimat biasanya bertujuan agar segala sesuatu berjalan lancer, dan supaya orang dapat menempuh kehidupan yang tentram dan damai. Berbagai sarana pelindung diletakkan di atas pintu-pintu bertuliskan rapal dalam perumusan bahasa Arab yang kesemuanya itu berguna untuk menolak roh jahat.
Dalam kepercayaan orang abangan, mereka melakukan ibadah-ibadah berupa upacara, diantaranya adalah: upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam dan tara cara pengobatan yang semuanya didasarkan pada kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara yang terpenting dalam bagi orang abangan adalah slametan. Slametan ini merupakan acara agama yang paling umum di antara para abangan, dan melambangkan persatuan mistik dan sosial orang-orang yang ikut serta dalam slametan tersebut. berbicara lebih jauh mengenai slametan, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, hari raya Islam resmi, seperti: lebaran, maulud, ganti nama, panen, sakit, dll. Selain selametan dalam kesempatan khusus, orang Jawa setiap tahun penduduk desa mengadakan kenduri bagi roh pelindung yang terkenal sebagai sedekah. Ini dirayakan di luar rumah, dibawah pohon atau di sawah. Adapun tujuan utama dari slametan tersebut adalah mencari keadaan slamet atau selamat. Selamat di sini adalah tidak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib. Dalam slametan orang Jawa bukan hanya minta kesenangan, kemakmuran, melainkan semata-mata agar jangan terjadi apa-apa yang dapat membinggungkan, menyedihkan, memiskinkan atau membuat dia sakit juga agar seseorang terhindar dari persaan hendak menyerang orang lain atau dari gangguan emosional.
Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang resmi. Dan bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya. Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.
Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia . Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun . Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain, itu semua tergantung konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan (cocog).
Gerakan-gerakan modrenis, sangat menolak sajian dan slametan yang sifatnya bukan-Islam karena 2 sebab. Pertama, gerakan ini menentang pembacaan donga oleh ikyai atau santri, sebab doa ini membahayakan bagi tauhid. Seharusnya berdoa kepada allah itu dilakukan secara langsung bukan melalui perantara. Kedua, slametan merupakan beban bagi upacara semahal itu, orang yang bersangkutan terpaksa mengorbankan anggaran belanjannya.
Bagi orang abangan keris memiliki merupakan suatu benda yang sangat dikeramatkan dan seirng dipuja. Hal ini terjadi karena keris memiliki kesaktian yang dapat dipindahkan kepada seseorang yang memegangnya atau memakainya dan bagi orang abangan keris adalah lambang yang membawa keuntungan. Selain itu, orang abangan juga percaya pada kemampuan dukun, yaitu orang-orang yang mampu mengendalikan roh-roh dan menjadikannya alat-alat bagi keinginan dan hasrat seseorang.
Bagi orang santri upacara bukanlah hal yang penting. Bagi orang santri yang mestinya ajaran agamalah yang harus dipentingkan. Bagi santri nilai-nilai agama yang di yakini ini tidak berhenti pada tataran epistemologis saja, melainkan sampai pada tataran aksiologis yakni menjalankan apa yang diperintahkan oleh ajaran Islam. Bagi orang santri, hal terpenting dalamkehidupan adalah menjalankan sholat dan mengaji. Seperti pernyataan sebelumnya, santri sangat berlawanan dengan orang abangan. Dari hal upacara ini orang santri memiliki kehidupan upacara sendiri yang diatur sepanjang waktu oleh shalat lima waktu sehari-semalam yang berulang setiap hari dalam bentuk yang sama yang dilakukan di rumah, di langgar, mesjid. Iman dan amal sholeh dalam melakukan shalat sehari-ahri dan shalat jumat hanya terbatas pada kaum santri saja. Hal ini dikarenakan oleh prinsip dari kaum abangan yang tidak pernah menjalankan shalat lima waktu sehari-semalam dan shalat jumat. Pada dasarnya, pola ibadah santri itu menarik garis antara golongan dalam dan golongan luar, yaitu antara ummah dan bukan ummah.
Bagi santri, pendidikan agama harus dilakukan pada anak pada 10 tahun kelahirannya. Pendidikan agama pada awalnya dimulai dalam lingkungan keluarga. Kemudian dalam perkembangan pendidikan agama tersebut banyak yang diserahkan pada ustadz yang menggunakan musholla, langgar dan mesjid untuk belajar ilmu agama dan mengaji. Namun, tidak hanya mesjid, langar yang digunakan oleh para ustadz atau kiyai untuk mengajarkan ilmu agama, keberadaan pesatren kemudian sedikit demi sdikit menggantikan peran mesjid sebagai prasarana untuk belajar agama.
5. Pesantren dan kaum kaum santri
Pendidikan agama adalah pendidikan dasar yang berikan kepada anak bagi orang santri. Sebagaimana tuntutan dari ajaran agama islam yang menyuruh manusia untuk belajar serta hadist nabi Muhammad yang menyuruh kita juga untuk menuntu ilmu. Karena dalam agama islam ada 3 prinsip yang tidak bisa dipisahkan dan saling melengkapi, yaitunya: iman, amal dan ilmu. Karena iman, amal tapi tidak didasri dengan ilmu pengetahuan yang kuat akan menyebabkannya sia-sia.
Dalam pendidikan agama bagi kaum islam santri, pesantren adalah sarana yang sangat dominan pada dahulu-sekarang adalah pesantren. Pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran –an, berarti tempat tinggal santri. santri diduga berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, tetapi juga disebut berasal dari kata India, shastri yang berarti buku-buku suci. lembaga serupa pondok pesantren di Jawa pada awal Islam adalah mandala, sebuah pranata pendidikan kuno di daerah pedesaan. Terdapat kemiripan antara pesantren dan mandala, karena kekhasan pranata ini sama-sama mengajarkan mistik. Pesantren merupakan sistem pendidikan yang pertama kali dan khas pendidikan Islam di Jawa, dan dalam perkembangannya istilah pesantren juga berlaku bagi pendidikan Islam di berbagai wilayah Nusantara. Karena itu pesantren menjadi pranata pendidikan Islam, yang di dalamnya memadukan pola pendidikan keislaman di daerah-daerah penyebaran Islam di Timur Tengah dengan tradisi pendidikan masyarakat Nusantara pra Islam.
Pesantren adalah lembaga yang cirri-cirinya dipenagruhi oleh pribadi para pendiri dan pimpinannya dan cenderung tidak mengikuti suatu pola jenis tertentu. Pesantren sangat kaitanya dengan peran dari seorang kiyai di pulau Jawa. Pondok pesantren itu sendiri berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai.Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri.Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana.Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai.Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.
Jika berbicara mengenai pesantren, dalam pesantren tradisional santri tinggal bersama kiyainya yang memberikan sandang pangan kepadanya membimbingnya memasuki ajaran-ajaran rahasia. Sebagai balasanya, maka santri patuh kepada kiyai tanpa syarat dan melayaninya dengan membantu mengerjakan tanahnya atau dengan menjalankan tugas lain mana pun yang dapat dibebankan kepadanya oleh kiyai. Dari hal ini kita dapat melihat bagaimana hubungan yang erat antara murid dengan kiyai(gurunya). Rasa hormat yang ditunjukkan oleh murid kepada gurunya merupakan suatu kewajiban bagi setiap pribadi. Ini terjadi karena di Jawa kedudukan kiyai adalah lanjutan dari kedudukan yang dinikmati oleh guru di Jawa zaman Hindu, sisa dari rasa hormat pada dukun, orang yang mampu mengendalikan roh yang ampuh yang telah membuat dia melakukan perbuatan yang ajaib-ajaib dalam zaman animism. Ucapan kiyai tidak dapat dibantah dan fatwa dari kiyai dianggap menentukan. Dilain pihak, bagi kaum santri ulama dan kiyai adalah inti dari peradaban islam santri. Sehingga kiyai dan ulama begitu dihormati dan dihargai oleh orang-orang santri.
Pada awal pendiriannya, pesantren sebuah pranata keagamaan tradisional yang terbaik yang berguna mempersiapkan pemuda yang sedang muncul dalam masyarakat. Namun, karena tempatnya di pesantren, aktivitas pendidikan tersebut biasanya mengandung konotasi atau berkaitan dengan agama Islam, maka dapat ditarik pengertian bahwa pesantren adalah tempat berkumpulnya murid-murid atau santri untuk belajar atau menuntut ilmu agama Islam dengan cara mondok atau menetap berasrama. Dapat pula diartikan, bahwa pesantren adalah tempat penyelenggaraan atau lembaga pendidikan Islam dengan arti khas mondok bagi para murid atau santrinya. Muatan inti dari istilah pesantren memang terletak pada kata tempat belajar santri, atau mondok, atau tinggal di asrama. Sebagai tempat belajar para santri, maka ciri khas pesantren adalah terciptanya atmosfir keberagamaan sedemikian rupa, disamping atmosfir keilmuan dalam wujud kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian, kegiatan belajar mengajar di pesantren berjalan seiring atau bahkan selalu diliputi suasana religiousitas, sehingga tidak bersifat semata-mata pengembangan intelektualitas yang nihil atau kering dari sentuhan nilai-nilai keagamaan seperti yang sering terjadi dalam dunia persekolahan umum sebagai akibat pengaruh budaya barat yang merambah ke berbagai aspek kehidupan pada zaman modern ini. Pesantren dalam pengertian tempat bermukimnya para santri, kendatipun sudah terjadi perubahan di sana-sini, namun pada umumnya masih tetap merefleksikan nafas ke-Islamannya yang kental. Begitu kentalnya dunia pesantren dengan nafas dan perilaku ke-Islamannya, antara lain juga tercermin dari konotasi pengertian santri yang bukan saja mengacu kepada orang yang sedang belajar atau menekuni ilmu-ilmu keagamaan di lingkungan komplek pendidikan yang berasrama melainkan juga mengandung pengertian sebagai orang yang memiliki kualitas sedemikian rupa dalam hal pengetahuan, sikap dan amal perbuatan yang semaksimal mungkin selaras dengan ajaran Islam. Jadi, istilah santri memiliki dua pengertian sekaligus, sebagai murid atau siswa di pesantren, dan bisa pula berarti orang yang taat atau patuh dalam menjalankan ajaran Islam. Dua pengertian tersebut, kelihatannya sangat berkaitan. Logikanya adalah karena begitu tekun mempelajari agama di pesantren, maka jadilah santri itu orang yang taat menjalankan ajaran Islam.
Pesantren juga berperan sebagai “benteng” kebudayaan lokal dan masyarakat awam pedesaan dari paham-paham radikal dan puritan yang selalu berusaha untuk menggerus dan bahkan menghilangkan paham Islam tradisonalis yang direpresentasikan oleh masyarakat pedesaan dan pesantren. Selain memahamkan masyarakat awam tentang kebudayaan lokal dan agama Islam, pesantren juga memegang kendali di dalam penguatan paham keagamaan tradisionalis tersebut sehingga kebudayaan lokal tetap terjaga. Penguatan tersebut tercermin di dalam kegiatan-kegiatan seperti pengajian, tahlilan, slametan, dan sebagainya.
Selain itu, pesantren berpotensi mencetak generasi penerus yang memahami pluralisme atau pluralitas dan integrasi antara kebudayaan lokal dengan agama Islam. Generasi tersebut yang tercermin oleh santri dan santri wati yang diajarkan berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam, nahwu, sharaf, tajwid, balaghah, fiqh, tafsir Al Quran, tafsir Hadits, akhlaq, tarikh, bahasa Arab, dan diajarkan dengan berbagai metode, seperti sorogan, bandongan, pasaran, musyawarah, hapalan, dan demostrasi, membuat mereka sangat menguasai di dalam pengetahuan agama dan mempunyai bekal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan agama yang timbul di dalam realita masyarakat di kemudian hari.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kyai dan ulama, melalui pesatrennya merupakan inti dari peradaban islam santri di Pulau Jawa.
6.Politik Kaum santri
Di kalangan kaum santri, kyai dan tokoh pesantren menjadi pilar kultural utamanya, muncul beberapa partai politik yang masing-masing mengklaim sebagai representasi politik komunitas ini. Masing-masing juga berupaya menempatkan beberapa kyai dan tokoh pesantren sebagai motor penggerak ataupun sekedar legitimasi. Misalnya, pada masa Orde Baru, posisi kyai dalam kancah politik nasional semakin terpinggirkan, bahkan tidak jarang dicurigai pemerintah, meski demikian, para kiyai tetap eksis dengan perjuangan dan pilihan politiknya.
Dalam kasus-kasus pemilihan kepala daerah, kyai dan tokoh pesantren banyak terlibat dalam upaya membangun dukungan politik bagi calon-calon tertentu. Para calon kepala daerah sendiri, bupati ataupun gubernur, juga tak henti berupaya melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan para politisi partai. Terbelahnya dukungan politik kyai tak terhindarkan lagi dalam meloloskan calon tertentu dalam proses pilkada. Dalam hal ini kedekatan atau keberhasilan masing-masing calon meraih dukungan kyai atau tokoh-tokoh pesantren tertentu menjadi penentu afiliasi dukungan, yang mengakibatkan dukungan politik kyai terbelah kepada beberapa calon berbeda. Dalam beberapa kasus hal ini bahkan diwarnai ketegangan politik antara tokoh-tokoh partai berbasis NU dengan mereka yang berada pada jajaran pengurus Ormas.
Kecenderungan menarik dukungan kyai dan tokoh-tokoh pesantren tersebut memperlihatkan bahkan nilai politik kyai di hadapan para politisi dalam upaya mereka membangun basis dukungan ataupun sekedar legitimasi bagi kepentingan politiknya masih cukup tinggi. Komunitas elit keagamaan ini, meminjam istilah Masdar, masih dipercaya mampu memberikan sumbangan signifikan bagi sukses tidaknya sebuah misi politik kelompok politik maupun perorangan. Padahal terbelahnya afiliasi politik kyai pada politik partisan tentunya menimbulkan persoalan berkenaan dengan sikap kaum santri yang sebelumnya dikenal memiliki respektasi dan ketaatan tinggi pada kyai.
Dalam wacana politik di Indonesia, peran kiyai sangat strategis tetapi juga dilematis. Sebagai elit politik, sesuai dengan paham Sunni, kiyai wajib mentaati pemerintah. Sebagai elit agama, kiyai mempunyai kewajiban untuk menegakkan nilai-nilai agama dengan cara amar makruf nahi munkar. Pada saat yang sama, kiyai sebagai interpreteter ajaran agama yang pandangan dan pemikirannya menjadi referensi. Sebagai elit sosial, kiyai menjadi panutan dan sekaligus pelindung masyarakat dari tindakan kesewenang-wenangan pemerintah. Multi peran seperti inilah yang seringkali menjadikan kiyai bersikap serba salah dan dilematis. Peran dan tanggung jawab kiyai terhadap agama, negara dan masyarakat secara bersamaan, tidak jarang menimbulkan benturan kepentingan yang menjadikan pada posisi sulit. Pada saat hubungan pemerintah dengan rakyat tidak harmonis, di mana dominasi negara sangat kuat, kiyai yang tidak membela dan memperjuangkan kepentingan masyarakat akan dijauhi oleh masyarakat dan santrinya. Hal ini berarti kiyai akan kehilangan sumber otoritas, kewibawaan dan legitimasi sebagai kiyai, yang apabila tidak dimanaj dengan baik, kiyai akan kehilangan posisi daya tawarnya, tidak hanya di hadapan pemerintah, tetapi di hadapan masyarakat. Meski tidak sekeras fragmentasi politik era 1950-an, sikap partisan kyai dan tokoh-tokoh pesantren dalam politik praktis telah memetakan masyarakat Islam ke dalam beberapa kelompok politik yang tidak sepaham. Pada era 1950-an peran kyai masih sangat berpengaruh dalam menentukan sikap politik pengikutnya dari kalangan santri. Masih menyatunya misi politik mereka vis a vis kelompok politik komunis ataupun nasionalis menjadikan sentimen politik dan ideologis sekaligus dapat dengan mudah dieksploitasi tokoh-tokoh keagamaan dengan dalih memperjuangkan misi politik Islam. Kuatnya imperasi situasi politik yang diliputi kentalnya kepentingan ideologis menempatkan kyai dan tokoh-tokoh pesantren sebagai acuan sikap politik ataupun sumber opini bagi kalangan Islam.
Masa orde Baru juga berusaha dengan segala fasilitas birokratik dan politiknya untuk membudayakan minimalisasi konsep”umat islam” sebagai internalisasi islam walaupun kepada pemeluk islam sendiri. Hal ini disebabkan oleh sikap fundamentalistis satu segmen santri dipandang dapat mengganggu pola utama stabilitas politik.
Begitu banyak hal tentang perpolitikan kaum santri, namun pada akhirnya dapat disimpulkan kaum santri pada dahulunya sampai saat ini sangat berperan dalam perpolitikan Indonesia melalui ajaran-ajaran yang disalurkan melalui partai politik yang berlandaskan islam.
0 comments:
Post a Comment