JAKARTA -- Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin
(30/11), mulai menggelar sidang gugatan praperadilan penghentian
penyidikan secara materil dan tidak sahnya dalam perkara pembelian lahan
Cengkareng oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dengan agenda
pembacaan permohonan.
Sidang tersebut dihadiri kedua belah
pihak, yakni pemohon dari Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) dan para
termohon, yakni Polda Metro Jaya, Bareskrim Polri, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI.
Sidang dengan
nomor perkara nomor perkara 128/Pid.Pra/2020/Pn.Jaksel itu dipimpin oleh
hakim tunggal, yaitu Yusdhi. Sedangkan materi permohonan dibacakan oleh
Kurniawan Adi Nugroho selaku kuasa hukum MAKI dan Lembaga Pengawas dan
Pengawal Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI).
Materi permohonan yang dibacakan, terdapat 16 poin, salah satunya adalah, hingga permohonan praperadilan aquo
diajukan ke PN Jaksel, termohon II (Bareksrim Polri) tidak menetapkan
tersangka dan termohon III (Kejati DKI) tidak segera mengajukan berkas
perkara untuk dilakukan penuntutan ke Pengadilan Tidak Pidana Korupsi
(Tipikor) Jakarta.
Dengan berlarut-larutnya penetapan atas
perkara pokok korupsi pembelian tanah Cengkareng, sudah seharusnya
diambil alih oleh termohon IV, yakni KPK. Namun, hal yang sama juga
tidak dilakukan oleh lembaga antirasuah tersebut.
Koordinator
MAKI Boyamin Saiman, menambahkan, sidang kembali dilanjutkan pada Selasa
(1/12), dengan agenda mendengarkan jawaban dari para termohon. Gugatan
praperadilan tersebut diajukan oleh MAKI ke PN Jaksel pada 13 Oktober
2020.
Sidang pembacaan permohonan sempat ditunda sebanyak dua
kali, yakni pada 3 November dan 16 November 2020, karena termohon dari
Bareskrim Polri tidak hadir. Boyamin menyebutkan, pihaknya mengajukan
gugatan praperadilanmangkraknya kasus penyidikan perkara pembelian lahan
di Cengkareng, Jakbar untuk rumah susun (rusun) oleh Pemprov DKI
Jakarta yang ditangani Bareskrim Polri.
Kasus tersebut telah
bergulir sejak 2015, yakni pembelian lahan seluas 46 hektare dengan dana
sebesar Rp 668 miliar lebih pada masa Gubernur DKI Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok.
Lahan yang dibeli oleh Dinas Perumahan dan
Gedung Perkantoran Provinsi DKI Jakarta dengan dana bersumber dari APBD
DKI tersebut diduga kuat telah terjadi tindak pidana korupsi. "Ternyata
tanah yang dibelanjakan sudah milik Pemprov DKI, sudah jadi aset. Jadi,
sama dengan membeli barangnya sendiri," kata Boyamin.
Dugaan
korupsi ini diperkuat dengan hasil klarifikasi yang dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan bahwa pembayaran yang
dilakukan oleh Pemprov DKI kepada orang yang mengaku pemilih lahan
bersertifikat adalah salah.
Selain itu, PN Jakbar memutuskan
pelapor yang mengaku memiliki sertifikat atas lahan yang dibeli, tidak
berhak menerima pembayaran karena tanah tersebut sudah menjadi milik
negara. "Diduga sertifikat yang dimilikinya asli tapi palsu," kata
Boyamin.
Berdasarkan temuan tersebut, Bareskrim Polri menelusuri
perkara tersebut dan pada 2015 penyidikan telah dilakukan dan beberapa
pihak telah diperiksa termasuk Gubernur Ahok dan wakilnya Djarot Saiful
Hidayat.
Hingga 2018 perkara tersebut dilimpahkan oleh Bareskrim
ke Polda Metro Jaya. Menurut Boyamin, hingga kini, MAKI menilai tidak
ada pergerakan apa-apa yang dilakukan penyidik kepolisian.
"Nah
di Polda Metro jaya tidak ada pergerakan apa-apa, padahal di Bareskrim
sudah ada, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada
Kejaksaan Agung. Atas mangkraknya perkara inilah makanya MAKI
menggugat," kata Boyamin.
0 comments:
Post a Comment