Betapa agungnya agama ini. Seluruh sendi dalam kehidupan mendapat porsi perhatian. Ibaratnya, saat kita membuka mata dari lelapnya tidur, ada Islam hadir memberikan tuntunan.
Berturut dari masalah keseharian hingga menentukan bagaimana hukum saat berperang diatur oleh agama ini. Satu hal yang terlihat remeh, tapi memiliki kaidah tuntunan yang mulia dalam Islam adalah menerima tamu.
Menerima tamu tak sekadar menerima orang yang datang ke rumah, membukakan pintu, bercanda ria, lalu menyaksikan punggungnya keluar dari pintu. Atau, bahkan sama sekali tak menjawab salam dan membukakan pintu meski sang tamu memiliki hajat yang besar dengan kita.
Islam sudah mengatur adab dan tuntunan bagaimana seseorang memperlakukan tamunya. Islam sangat memuliakan seorang tamu. Hendaknya seseorang yang kedatangan tamu menerima tamu dengan niat yang benar.
Menerima tamu tak sekadar aspek sosial, tapi ada dimensi pahala di dalamnya. Menerima tamu sama artinya dengan menyambung silaturahim.
Nabi SAW bersabda dalam sebuah hadis qudsi, "Sesungguhnya, rahim itu berasal dari Arrahman lalu Allah berfirman, 'Siapa menyambungmu Aku menyambungnya dan barangsiapa memutusmu Aku memutusnya.'" (HR Bukhari).
Tuan rumah hendaknya menerima tamu dengan baik, dengan wajah senyum dan ceria. Tuan rumah dianjurkan untuk mengucapkan selamat dayang kepada tamunya.
Tak jarang justru di antara kita kerap menyuguhkan senyum ketus atau muka masam alih-alih menyajikan hidangan. Sambutan yang kurang enak tersebut bisa jadi berujung pada putusnya silaturahim karena sang tamu merasa tidak disambut.
Sambutan yang sangat hangat ini sudah dicontohkan oleh Baginda Nabi SAW. Rasulullah SAW begitu baik menerima tamunya. Beliau SAW benar-benar tulus menyambut tamu dan memuliakannya.
Suatu ketika, Rasulullah SAW kedatangan utusan dari Bani Abdul Qais. Beliau SAW bersabda kepada para utusan, "Selamat datang para utusan, yang datang tanpa akan kecewa dan tidak akan menyesal." (HR Bukhari dan Muslim).
Saat menyambut kerabat kelaurga pun, Rasulullah SAW begitu ceria. Suatu kali, putri kandungnya, Fatimah, datang mengunjungi Beliau SAW. Nabi pun bersabda, "Selamat datang wahai putriku." (HR Bukhari dan Muslim).
Kita kadang lupa dengan kaidah ini. Sering saat anak-anak kita pulang atau datang mengunjungi, tak ada sapaan selamat datang. Seolah pulang ke rumah adalah sebuah kejadian yang biasa yang tak perlu diagung-agungkan.
Jika kita melakukan sapaan yang hangat kepada tamu atau keluarga yang datang, minimal kita mendapat dua hal. Pertama, sang tamu merasa dihormati. Kedua, ada nilai pahala dalam sunah yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Selanjutnya, tempatkanlah tamu kita dalam sebuah tempat yang layak bagi mereka. Jika memang tak ada perabot mewah, tak perlu dipaksakan untuk diadakan. Cukup dengan memberikan fasilitas dengan apa yang kita miliki.
Usahakan tempat duduk yang nyaman bagi sang tamu. Jangan sampai auratnya tersingkap karena tidak adanya tempat duduk yang baik. Lalu muliakan tamu dengan menempatkannya di tempat yang tak tercium aroma yang kurang baik.
Menghidangkan makanan atau minuman adalah bagian dari adab memuliakan tamu. Sekali lagi tak perlu memaksakan diri dengan membeli makanan dan minuman di luar kemamapuan kita bahkan sampai berhutang.Menghidangkan air putih sudah bagian dari memuliakan sang tamu. Mari kita simak bagaimana Nabi Ibrahim AS memuliakan tamu mereka. Allah SWT berfirman, "Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) kisah tamu Ibrahim yang dimuliakan. (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, 'Salamun', Ibrahim menjawab 'Salamun', kamu adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar) lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim berkata, 'Silakan kamu makan.'" (QS adz-Dzaariyat 24-27).
Hidangan merupakan hak tamu. Sementara, memuliakan tamu adalah kewajiban tuan rumah. Bahkan, Nabi SAW menggolongkan memuliakan tamu sebagai salah satu bentuk keimanan. "... dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia memuliakan tamu...." (HR Bukhari dan Muslim).
Meski kita dianjurkan untuk memuliakan tamu bukan berarti kita berlebihan dalam menjamu tamu. Dalam hal makanan dan minuman, merujuk kisah Nabi Ibrahim AS dalam ayat di atas, beliau masuk ke dalam rumah secara sembunyi-sembunyi dan menyajikan daging sapi yang beliau miliki.
Artinya Nabi Ibrahim AS berusaha menyajikan hidangan yang hanya ia miliki. Tak perlu juga membebani diri dengan menyajikan hal yang tak ia miliki. Kita juga tidak perlu menyajikan semua hidangan yang kita miliki kepada sang tamu.
Jika hendak pulang, Islam menganjurkan agar tuan rumah mengantarkan sang tamu hingga ke depan pintu. Jangan hanya duduk di tempat semula dan mempersilakan tamunya keluar sendiri. Semoga kita diberikan kekuatan untuk senantiasa memuliakan setiap tamu yang datang kepada kita.
abdul Hasan Sadeli
0 comments:
Post a Comment