Ramadan 1444 h Hijriah sudah memasuki hari keenam. Umat Islam menjalankan kewajiban berpuasa sebagai ikhtiar membentuk pribadi bertakwa sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, Surat Al Baqarah ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
183. Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
Allah mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka agar mereka menjadi orang yang bertakwa. Puasa sungguh penting bagi kehidupan orang beriman. Puasa juga menjadi salah satu ajaran di hampir semua agama dan kepercayaan untuk menahan hawa nafsu dan lain sebagainya.
Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya‘ban tahun kedua Hijriyah. Saat itu, Nabi Muhammad SAW sedang membangun pemerintahan yang berwibawa dan mengatur masyarakat baru. Dari sini bisa dipahami bahwa puasa sangat penting artinya dalam membentuk manusia yang dapat menerima dan melaksanakan tugas-tugas besar dan suci.
Salah satu amalan Ramadan adalah bersikap pemurah atau dermawan. Sedekah dan kedermawanan sejatinya amalan yang tidak dibatasi ruang dan waktu, kapan saja dan di mana saja, ibadah ini bisa dilakukan kepada siapa saja, terutama yang membutuhkan.
Namun, sedekah di bulan Ramadan juga menjadi keutamaan. Rasulullah yang dikenal sangat dermawan juga digambarkan sebagai sosok yang lebih dermawan saat Ramadan. Dalam hadis dijelaskan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ، فَلَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi angin yang berhembus.” (HR. Bukhori)
Puasa melatih umat Islam untuk menjadi insan yang mampu berempati, merasakan derita sesamanya. Hal ini diharapkan melahirkan sikap ta'awun, yakni semangat saling menolong dan bekerja sama dengan orang lain secara tulus dan baik. Orang yang kaya berbagi dengan saudaranya yang fakir dan miskin. Mereka yang berilmu, selayaknya bisa berbagai pengetahuan dengan orang lain. Dan orang yang sedang mendapat amanah kekuasaan, sudah seharusnya menyejahterakan masyarakatnya.
Setidaknya ada dua sikap manusia ketika datang Ramadan. Pertama, memanfaatkan dengan maksimal dengan beribadah sekuat tenaga, sehingga mendapat ampunan.
Kedua, membiarkan berlalu tanpa mengisinya dengan hal-hal yang mendekatkan diri pada Allah.
Orang pertama akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan. Sementara kelompok kedua mendapatkan beban hingga berujung kesengsaraan.
Ketenangan Hidup
Orang yang beribadah dan memaksimalkan ketaatan pada saat Ramadan,
maka dia akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan hidup yang hakiki.Wulan Sofia saat memberikan pelayanan kesehatan untuk korban gempa Banten pada Januari 2022.
Allah menjanjikan bahwa siapa pun yang mendekatkan diri kepada-Nya secara maksimal, maka akan mendapatkan keuntungan besar.
Allah pun menegaskan bahwa orang kafir tidak akan mendapatkan ketenangan. Ketenangan itu hanya diberikan orang beriman saja.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
هُوَ الَّذِيْۤ اَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَا دُوْۤا اِيْمَا نًا مَّعَ اِيْمَا نِهِمْ ۗ وَلِلّٰهِ جُنُوْدُ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۗ وَكَا نَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Dan milik Allah-lah bala tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana,” (QS. Al-Fath : 4)
Orang yang berorientasi dunia, maka kehidupan akhiratnya akan terlewat begitu saja.
Ibnu Qayyim menjelaskan, pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal. Pertama, rasa sedih yang terus menerus. Sedih karena apa yang dikejar terkadang sulit diraih.
Kedua, letih yang berkelanjutan. Setelah bekerja yang melelahkan maka capek akan menghantuinya, dan malas untuk beribadah.
Ketiga, takut rugi. Orang yang bekerja ekstra keras, maka akan dihantui rugi atas apa yang dilakukannya.
Dengan kata lain, orang yang berorientasi dunia, maka gundah dan gelisah akan dominan sehingga ketenteraman hatinya terganggu.
Sebaliknya orang yang berorientasi akhirat maka dunia akan didapatkannya. Orang yang berpuasa di pagi hingga petang hari, salat tarawih, dilanjut dengan ibadah membaca Alquran di bulan Ramadan, maka dia mendapatkan keberkahan hidup di dunia.
Sementara akhiratnya otomatis diperolehnya. Kepuasan dalam beribadah mendatangkan kasih sayang Allah, sehingga hidupnya berkah. Berbeda dengan orang yang berorientasi pada kehidupan dunia, maka dunianya akan menyengsarakan hidupnya dan akhiratnya lenyap.
Ibadah dan Beban Hidup
Orang yang tidak memaksimalkan ibadahnya dalam ketaatan di bulan Ramadan, maka dia akan membebani dirinya sebagaimana kehidupan orang kafir.
Allah menjelaskan bahwa orang yang tidak memaksimalkan ibadahnya, maka ibadah yang dilakukan justru bebani dirinya sendiri. Hal ini merupakan siksaan sebagaimana yang dialami oleh orang-orang kafir.
Allah mengabadikan realitas ini sebagaimana firman-Nya:
فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِ سْلَا مِ ۚ وَمَنْ يُّرِدْ اَنْ يُّضِلَّهٗ يَجْعَلْ صَدْرَهٗ ضَيِّقًا حَرَجًا كَاَ نَّمَا يَصَّعَّدُ فِى السَّمَآءِ ۗ كَذٰلِكَ يَجْعَلُ اللّٰهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
“Barang siapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia
akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barang siapa
dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak,
seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan
siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am: 125)
Allah menjelaskan bahwa orang yang mendapat hidayah Islam, maka dia mendapatkan kemudahan dalam ketaatan. Hidupnya dimanfaatkan secara maksimal untuk mendekatkan diri pada Allah.
Sebaliknya, orang-orang yang melalaikan hatinya dari ketaatan, dan bahkan melalaikan dirinya dari beribadah, maka dia condong untuk melakukan menyimpang.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
وَا صْبِرْ نَـفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِا لْغَدٰوةِ وَا لْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْ ۚ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَ لَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَا تَّبَعَ هَوٰٮهُ وَكَا نَ اَمْرُهٗ فُرُطًا
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)
Keberkahan akan diperoleh bagi mereka yang memanfaatkan Ramadhan dengan berbagai amalan yangmendekatkan pada Allah.
Allah pun melipatgandakan balasan amal, sehingga meninggikan derajatnya dan memuliakan kedudukannya di sisi-Nya.
Berikut kisah keberkahan hidup seseorang yang memanfaatkan hidupnya dalam ketaatan. Dia mencapai kedudukan tinggi dengan mengalahkan saudaranya yang sibuk dalam ketaatan, dan mati lebih dulu di medan perang.
Keberkahan umurnya dilakukan dengan beribadah dan setahun kemudian meninggal menyusul saudaranya. Sahabat Thalhah bin Ubaidillah meriwayatkan hal itu sebagaimana kisah berikut:
أنَّ رجلينِ قدِمَا على رسولِ اللهِ صلى الله عليه وعلى آله وسلم وكان إسلامُهُما جميعًا ، وكان أحدُهما أشدَّ اجتهادًا مِنْ صاحبِهِ ، فغَزا المجتهدُ مِنهما فاستُشهدَ ، ثمَّ مكثَ الآخرُ بعدَهُ سنةً ثمَّ توفيَ . قال طلحةُ : فرأيتُ فيما يَرى النائمُ كأَني عندَ بابِ الجنةِ ، إذا أنا بِهما وقدْ خرجَ خارجٌ مِنَ الجنةِ ، فأذنَ للذي توفيَ الآخر َمِنهما ، ثمَّ خرجَ فأذنَ للذي استشهدَ ، ثمَّ رَجعا إليَّ فقالا لي : ارجعْ فإنَّهُ لمْ يأنِ لكَ بعدُ . فأصبحَ طلحةُ يحدثُ بهِ الناسَ ، فعجبُوا لذلكَ ، فبلغَ ذلكَ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وعلى آله وسلم فقال : مِنْ أيِّ ذلك تعجبونَ ؟ قالوا : يا رسولَ اللهِ هذا كان أشدَّ اجتهادًا ، ثمَّ استشهدَ في سبيلِ اللهِ ، ودخلَ هذا الجنةَ قبلَهُ ! فقال : أليسَ قدْ مكثَ هذا بعدَهُ سنةً ؟ قالوا : بَلى . وأدركَ رمضانَ فصامَهُ ؟ قالوا : بلى . وصلَّى كذا وكذا سجدةً في السنةِ ؟ قالوا : بَلى . قال رسولُ اللهِ : فلمَا بينَهُما أبعدُ ما بينَ السماءِ والأرضِ
Ada dua orang laki-laki dari Suku Baliy datang menemui Rasulullah dan secara bersamaan menyatakan masuk Islam di hadapan Nabi. Setelah keislamannya, dikatakan bahwa salah seorang dari keduanya lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dan berbuat kebaikan daripada yang satunya.
Kemudian orang yang lebih giat beribadah tadi ikut berangkat berjihad dan akhirnya gugur sebagai syahid.
Ada pun yang satunya lagi masih diberi umur hingga satu tahun setelah kesyahidan saudaranya. Setelah satu tahun kemudian dia pun meninggal.
Thalhah berkata, “Kemudian aku bermimpi seakan-akan aku berada di pintu surga. Tiba-tiba aku berada di sisi kedua laki-laki tersebut. Setelah itu Malaikat keluar dari surga. Malaikat itu kemudian mengizinkan laki-laki yang meninggal dunia belakangan untuk memasuki surga. Kemudian ia keluar lagi dan mempersilahkan kepada laki-laki yang mati syahid. Lalu malaikat itu kembali kepadaku dan berkata, ‘Kembalilah kamu, sebab belum saatnya kamu memperoleh hal ini.”
Keesokan harinya Thalhah menceritakan mimpinya tersebut kepada orang-orang, mereka pun merasa heran. Mereka lalu memberitahukannya kepada Rasulullah dan menceritakan mimpi tersebut. Maka beliau bersabda:
“Perkara yang mana yang membuat kalian heran?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, laki-laki (yang pertama meninggal) adalah orang yang paling bersemangat dalam berjihad dari yang satunya, lalu dia mati syahid. Tapi mengapa orang yang satunya (laki-laki yang meninggal belakangan) justru masuk surga terlebih dahulu darinya?”
Rasulullah menjawab: “Bukankah orang ini hidup setahun setelahnya?” mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda: “Bukankah ia mendapatkan bulan Ramadan dan berpuasa?
Ia juga telah mengerjakan salat ini dan itu dengan beberapa sujud dalam setahun?” mereka menjawab, “Ya.” Rasulullah kembali bersabda: “Sungguh, sangat jauh perbedaan antara keduanya (dalam kebajikan) bagaikan antara langit dan bumi.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis ini memberi motivasi kepada kita untuk memanfaatkan Ramadan dalam ketaatan, sehingga akan mengangkat derajat kita. Sisa umur yang dimanfaatkan dengan memaksimalkan dalam beribadah. Terlebih dalam bulan Ramadan bisa mengalahkan orang-orang yang lebih dahulu meninggal.
Sibuk dalam ketaatan di bulan Ramadhan merupakan jalan terindah dekat kepada Allah, dan akan mengangkat derajat kita di sisi-Nya.
Penulis: Dr. SLAMET MULIONO REDJOSARI,
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
0 comments:
Post a Comment