Ketua 1 Bidang Penelitian dan Kajian Ilmiah, Dr. Indayani, M.Pd. dalam sambutannya menyatakan bahwa seminar ini bertujuan untuk memberi wawasan dan yang jelas bagi kelangsungan hidup bangsa negara di masa depan.
Penataan kehidupan berbangsa dan bernegara, kata dosen Universitas PGRI Adi Buana Suarabaya ini, harus berjalan di atas rel kesepakatan bersama, yakni Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila sebagai landasan ideal menjadi dasar bagi memantapkan pemahaman konsepsi Wawasan Kebangsaan; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional yang merupakan sumber hukum tertinggi dari hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam paparan makalahnya Dr. Darsono, M.Si. menyatakan bahwa untuk mempersiapkan dan memperkokoh politik kebangsaan di era milenial yang serba digital perlu memberikan dasar pemahaman bahwa beda pilihan, tetapi tetap satu tujuan berdasarkan semboyan bangsa Indonesia yaitu bhinneka tunggal ika yang artinya berbeda beda tetap satu jua. Hal tersebut menandakan adanya harmonisasi antarsuku, agama, ras, dan adat istiadat.
Sejatinya, kata dosen Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma itu, sejak era filsuf (Plato dan Aristoteles) ditempatkan sebagai ”The Master Science” karena tujuan mulianya untuk menyejahterakan masyarakat. Namun, di era modern dan/atau kontemporer, politik terdegradasi karena sebatas ”who gets what, when and how” sebagaimana ditulis Harold Laswell.
“Pertarungan politik hanya bermuara pada perebutan kekuasaan dan lupa akan etika yang mestinya melekat padanya. Tak mampu hanya dibatasi dan diatur rumusan undang-undang formal, politik wajib dilandasi norma-budaya-adab adiluhung yang terinternalisasi pada diri politisi untuk melahirkan politik berkeadaban. Sebagai multi-nation-state, keragaman menjadi keniscayaan, perbedaan menjadi keseharian, maka politik berkeadaban yang menjadikan keragaman sebagai kekuatan menjadi kebutuhan, meskipun tantangan memang tidak ringan,” tandas Darsono.
Narasumber kedua, Getah Ester Hayatullah lebih menyoroti partisipasi politik generasi muda. Partisipasi, kata Getah, merupakan keterlibatan seseorang, baik secara mental maupun emosional dalam memberikan respon terhadap suatu kegiatan, serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggungjawab atas keterlibatannya tersebut.
Lebih lanjut dosen Universitas Krisna Dwipayana ini menyatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan sukarela dari masyarakat dalam mengambil bagian dari proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak, terlibat dalam pembentukan kebijakan umum. Pemilu 2024 didominasi pemilih muda berusia 17-40 tahun, jumlah pemilih muda sekitar 107-108 juta orang atau 53-55% dari total jumlah pemilih.
“Indonesia sebagai negara demokrasi yang melibatkan seluruh rakyatnya untuk berperan aktif dalam menyuarakan pendapat. Salah satunya melalui partisipasi politik warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tambah Getah.
Aslinda Hasanudin, M.M., M.Pd. guru SMAN 6 Makassar, sebagai narasumber terakhir menjelaskan bahwa politik kebangsaan seharusnya menjadi garis politik yang mesti bisa menjadi komitmen kita semua yang mengarusutamakan kepentingan bangsa dengan "persatuan bangsa" sebagai fondasi. Karena telah menjadi jalan diraihnya kemerdekaan oleh bangsa Indonesia di masa lalu, kini dan nanti.
Acara yang berlangsung pukul 09.00-12.00 ini dipandu oleh moderator Erna Cahyawati, S.S., M.Hum., dosen Universitas Jember. (wan)
0 comments:
Post a Comment