RIBUAN tahun lalu Alquran telah mewanti-wanti. "Hai orang-orang
yang beriman," demikian Alquran menegaskan," apabila datang seorang
fasik dengan membawa informasi maka periksalah dengan teliti, agar
kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena suatu
kebodohan, sehingga kalian menyesali perbuatan yang kalian
lakukan."(al-Hujurat:6)
Menurut Ibnu Abbas ra, ayat ke-6 Al Hujurat itu turun dengan
asbabun nuzul, sebab turunnya ayat, peristiwa Al Walid bin Uqbah. Al
Walid bin Uqbah bin Abi Muid diutus Rasulullah SAW mendatangi kabilah
Bani Mustalib untuk memungut zakat dari mereka. Takkala sampai berita
kepada Bani Mustalibbahwa akan datang seorang utusan Rasulullah untuk
memungut zakat dari mereka, mereka yang baru memeluk Islam itu merasa
sangat gembira.
Kegembiraan itu meraup dan mewujud dengan beramai-ramai keluar
kampung menjemput kedatangan Al Walid sang utusan. Entah karena melihat
banyaknya orang datang menghampirinya, atau dapat bisikan seseorang, Al
Walid menyangka orang-orang Bani Mustalib itu telah murtad, menolak
membayar zakat dan bahkan berdemonstrasi atau mungkin pula bermaksud
mencelakainya.
Tanpa ba bi bu lagi, Al Walid langsung ngacir kembali ke Madinah
dan melaporkan apa yang ada di benak kepada Rasulullah. Sempat
Rasulullah SAW marah mendengar berita buruk itu, bahkan menyiapkan
pasukan untuk menghadapi Kabilah Bani Mustalibyang dianggap membangkang
itu. Untunglah, turun ayat tersebut.
Kehati-hatian dan waspada akan berita menjadi hal yang teramat
penting. Apalagi bagi seorang pemimpin. Pemimpin di era politik gaduh
seperti saat ini, tampaknya bukan hanya memerlukan kriteria sebatas
ajaran Tao bahwa ia harus laiknya danau: tenang berkedalaman, anggun,
dan menampung. Menampung, tetapi bila yang ditampung di dasar kedalaman
hati dan benaknya adalah informasi sampah, sekadar info asal babe senang
(ABS), atau bahkan kebohongan yang disengaja dengan tujuan
menjerumuskan suatu pihak, tentu tak lebih dari menampung sumber
penyakit.
Kalau pun seorang pemimpin perlu pembisik, kawan-kawan dekat yang
ia percayai, seharusnya ia memilih berdasarkan kriteria ideologi. Ia
harus percaya, langkah praksis seseorang sangat bergantung kepada
ortodoksi atau katakanlah doktrin ideologi yang ia anut dan yakini. Itu
sebabnya mengapa para sultan Turki di era Utsmani hanya mempekerjakan
orang-orang non-Islam paling tinggi di barisan bersenjata pengawal
Sultan, atau janissary. Tidak sebagai penasihat utama sultan.
Kalau pun seorang pemimpin perlu pembisik, ia harus yakin apa yang
dibisikkan orang kepercayaan itu benar adanya. Jangan menutup data,
membaik-baikkan segala yang degil sebenarnya. Bila tidak, si pemimpin
bahkan tak tahu melambungnya harga-harga kebutuhan dasar warga seperti
beras, gas rumah tangga, minyak goring, dan sebagainya. Karena sebagai
pemimpin, ia tak bisa berkata bahwa dirinya tak dilapori, atau
mengatakan,"Bukan urusan saya," yang sebenarnya menegaskan kondisi yang
lebih parah.
Bila seorang pemimpin berani menjanjikan, seyogyanyasebagaimana
dikatakan islamolog Phillip H Stoddard, ia harus selalu meyakinkan
dirinya sendiri bahwa ia sadar. Ia selalu terjaga dan tak melupakan misi
terpenting manusia ketika mendapatkan amanah kepemimpinan, yakni
sebagaimana kata cendikiawan Fazlur Rahman, membela, menyelamatkan,
membebaskan, melindungi dan memuliakan kelompok dhuafa dan mustadafin.
Memanusikan mereka yang selama ini lemah dan dilemahkan.
Seorang pemimpin, mungkin seharusnya adalah Harry Potter ketika ia
selamat dari serangan musuhnya, Lord Voldemore, dan dinasihati gurunya,
Dumbledore. "Someday, you will have to choose between what is right and
what is easy."
Pilihan pemimpin hanyalah memetik mana yang benar, tetapi walaupun
sulit, berhasil di jangka panjang atau gampang tetapi tidak akan pernah
membuat yang dipimpinnya ke mana mana. Pujangga Jawa, Yasadipura-- kakek
Ranggawarsita, mengatakan: "Waniya ing gampang, wediya ing pakewuh,
sabarang nora tumeka. Sukailah kemudahan, takutilah kesulitan, maka
tidak ada yang akan diperoleh."
Di akhir zaman ini, sebenarnya para pemimpin pun bukan tak punya
sejarah untuk becermin. Becermin kepada waktu, mengaca kepada masa dan
mendapatkan hikmah di dalamnya. Sayangnya, cermin para banyak pemimpin
kita tak lebih dari cermin Sang Ratu pada cerita Putih Salju. Cermin
yang sekadar sarana mematut diri untuk mengolah citra.Padahal tanpa
sadar, selain menerungku diri, mereka pun membelenggu rakyat pada
kejumudan dan kondisi rawan.
Pemimpin memang bisa turba, blusukan, berbaur bersama rakyat atau
apa pun namanya untuk mendapatkan info. Tetapi seberapa banyak waktu ia
punya? Akhirnya, informasi mau tak mau akan dimonopoli para pembisik.
Kalau saja para pembisik itu baik, makmur dan sejahteralah warga. Bila
tidak? [Ustaz Abu Fata Atqia Al-Khadaifataini]
0 comments:
Post a Comment