Istilah ini begitu populer. Bahkan masyarakat luas pun banyak yang tahu dan mengerti istilah itu dalam bahasa aslinya.
Ya,
istilah dalam bahasa Latin vox populi vox dei sudah begitu mendunia.
Dalam bahasa Indonesia,
kalimat sakti ini memiliki makna ‘suara rakyat
adalah suara Tuhan’. melihat fonomena Capres Koalisi Perubahan NasDem, PKS dan Demokrat yang masing masing Koalisi memiliki Jargon perubahan dan sudah mengusung bakal Calon Presiden Anies Rashid Bawesdan Perubahan yang lebih baik dan sudah beberapa kali mengucapkan siapa pun calon wakil presiden pilihan koalisi akan di usung dan di dukung oleh Partai Koalisi tapi pada saat NasDem mengumumkan Bakal Calon Wakil Presiden Muhaimin Iskandar Lantas Partai Demokrat Keluar dari Koalisi
Semangat Perubahan Rakyat Indonesia yang di wakali Oleh Simpul Relawan yang tidak kurang 15.000 jaringan relawan Anis Bawesdan yang sudah Berjuang tanpa di biayai oleh pertai Politik seharus menjadi landasan siapa pun wakil nya seharus Partai yang notabene mewakili masyarakat Indonesia seharus mendengar suara rakyat bukan ego ke partai an yang di kedepankan nasi sudah jadi bubur selaku Relawan yang notabene yang tetap mendukung Anies Bawesdan "Jangan Suara Rakyat (Bukan) Suara Partai
Suara rakyatlah yang akan menentukan hitam dan
putihnya panggung politik atau yang menentukan hasil dari kontes
politik/pemilu.2024
Awal mulanya, istilah itu lebih dikenal dalam dunia peradilan. Para
pengadil dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Oleh karena itu
keputusan para hakim harus mencerminkan keadilan, suatu tindakan yang
hanya bisa dimiliki oleh Tuhan.
Agar keputusan hakim mendekati keadilan yang sesungguhnya, maka para
pengadil itu harus memahami benar suara rakyat. Paling tidak, keputusan
hakim ini harus mendekati kehendak atau suara Rakyat banyak.
Dalam konteks inilah suara rakyat dianggap sebagai penyampai kehendak
Illahi. Pengadil yang membawa aspirasi masyarakat luas dianggap
mengusung suara Tuhan.
Dalam perkembangannya, istilah suara ‘rakyat adalah suara Tuhan’ lebih
menempel ke panggung politik. Kehendak rakyat mayoritas akan sangat
menentukan dalam suatu proses politik atau pemilihan umum. Begitu
kuatnya kehendak rakyat itu, maka tak ada kekuatan lain yang secara
moral bisa membendungnya.
Untuk alasan itu pulalah maka proses politik yang melibatkan seluruh
masyarakat secara langsung dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Jika
proses atau keputusan politik itu disampaikan lewat perwakilan yang
sering kali bersifat transaksional alias dagang sapi, maka itu dianggap
tak sesuai dengan kehendak rakyat atau suara Tuhan.
Semula saya sepenuhnya sepakat dengan kalimat sakti yang menjadi
landasan setiap penyelenggaraan pemilu. Namun kali ini, saya tak lagi
percaya kalimat sakti tersebut. Betapa tidak, bau busuk dalam
pelaksanaan pemilu legislatif tanggal 9 April lalu begitu terasa
menyengat.
Saya haqul yakin dalam pemilu sebelumnya pasti juga terjadi
praktik politik uang, yakni caleg maupun tim suksesnya membagi-bagikan
uang pada konstituen menjelang pencoblosan. Hanya saja, temuan banyak
pihak soal politik uang tak semasif dalam pemilu kali ini.
Tak hanya antara caleg dengan konstituen, praktik politik uang yang
sangat marak juga terjadi antara caleg beserta tim suksesnya dengan para
pelaksana pemilu, mulai dari Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), hingga penyelenggara pemilu di
tingkatan yang lebih tinggi. Bahkan kongkalikong untuk memberikan suara
pada caleg tertentu sudah diskenariokan sejak sebelum pelaksanaan
pemilu.
Dua orang teman saya yang menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) di Jakarta dan Jawa Barat mengutarakan hal itu. Menurut cerita
teman saya sebulan menjelang pemilu 9 April, beberapa anggota PPS di
wilayahnya sering tak datang saat diundang untuk rapat sosialisasi oleh
KPUD. Anehnya, mereka justru hampir selalu hadir ketika caleg tertentu
melakukan sosialisasi atau temu kader.
Teman saya yang anggota KPUD itu sempat menanyakan, mengapa hal itu bisa
terjadi? Jawaban mengejutkan justru datang dari petugas PPS tadi. Para
penyelenggara pemilu itu mengutarakan, dengan honor hanya Rp 200 ribu
atau Rp 300 ribu per bulan, apa yang bisa mereka lakukan? Dengan sadar,
sang penyelenggara pemilu itu mengatakan ingin mencari nafkah tambahan.
Dalam praktiknya, tambahan nafkah itu dilakukan dengan ‘bermain mata’
bersama sang caleg. Tak heran utak-atik formulir kertas suara C1 pun
banyak dilakukan meski hasil resminya sudah ditandatangani oleh para
saksi. Tanpa ragu, sang penyelenggara pemilu bahkan menawarkan sejumlah suara
pada si caleg dengan imbalan uang. Per suara ada yang ditawarkan dengan
harga Rp 50.000 hingga Rp 200.000, tergantung untuk kursi DPRD atau DPR.
Untuk kursi DPR, harga per suara yang ditawarkan memiliki nilai lebih
tinggi.
Belum lagi kalau kita lihat lolosnya seorang calon anggota Dewan
Perakilan Daerah meski dia dianggap memiliki rekam jejak tak baik, yaitu
cacat moral. Sang calon anggota DPD itu seorang mantan bupati, yang
pernah dihujat khalayak luas dan akhirnya dicopot dari jabatannya karena
kasus menikah siri yang dijalani hanya dalam hitungan hari.
Bukan
hanya itu, cara dia menceraikan sang istri juga dianggap tak
berperikemanusiaan, yakni hanya lewat pesan singkat (sms) dengan dalih
sang istri dinilai sudah tak perawan. Aneh bian ajaib, sang caleg ini
melenggang lolos sebagai anggota DPD. Perolehan suaranya pun
menakjubkan, lebih dari satu juta orang yang mencoblosnya.
Dengan
kenyataan seperti ini, masihkah kita menganggap suara rakyat adalah
suara Tuhan? Bagi saya tidak, sama sekali tidak. Suara Tuhan tidak bisa
diperjualbelikan. Suara Tuhan tidak akan pernah memilih caleg brengsek.
Bila
fakta seperti itu yang terjadi, maka itu adalah suara setan. Suara
setanlah yang sangat mudah dipengaruhi untuk hal-hal buruk atau
dikomersialkan tetapi tidak pada tempatnya. Suara setan pula yang
memihak atau memilih caleg busuk. Wallahu a’lam.
Oleh Rahma Nindya Ananda Akademisi UI aktif Sebagai Ketua Jaringan Mahasiswa Indonesia
0 comments:
Post a Comment