KEKUASAAN menurut teori filsuf strukturalisme, Michael Foucoult bukanlah sesuatu yang dapat diukur.
Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dilegitimasikan kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Kekuasaan adalah satu dimensi relasi, dimana ada relasi, disana ada kekuasaan.Foucoult merumuskan sebuah teori kekuasaan yang meruntuhkan monumen kultus pemikiran tentang paradigma kekuasaan konvensional yang bersifat metafisis-tradisional, di mana negara memiliki otoritas penuh untuk menjadikan rakyatnya sebagai objek intruksi di bawah kendali “absolutisme” kekuasaan lembaga negara.
Kekuasaan bukanlah sesuatu yang dilegitimasikan kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhinya. Kekuasaan adalah satu dimensi relasi, dimana ada relasi, disana ada kekuasaan.Foucoult merumuskan sebuah teori kekuasaan yang meruntuhkan monumen kultus pemikiran tentang paradigma kekuasaan konvensional yang bersifat metafisis-tradisional, di mana negara memiliki otoritas penuh untuk menjadikan rakyatnya sebagai objek intruksi di bawah kendali “absolutisme” kekuasaan lembaga negara.
Foucoult merumuskan sebuah teori kekuasaan yang meruntuhkan monumen
kultus pemikiran tentang paradigma kekuasaan konvensional yang bersifat
metafisis-tradisional, di mana negara memiliki otoritas penuh untuk
menjadikan rakyatnya sebagai objek intruksi di bawah kendali
“absolutisme” kekuasaan lembaga negara. Dalam perspektif Foucoult, logika kekuasaan dirumuskan kembali dengan
menggali akar kekuasaan itu sendiri, sebuah tafsir strukturalisme yang
mereduksi hirarki kekuasaan secara radikal; tentang hadirnya unsur
relasi yang menjadikan relasi berinteraksi menyusun koalisi kekuasaan
dalam satu dimensi untuk terbentuknya eksistensi kekuatan personal dan
organisasi di luar hegemoni kendali kekuasaan resmi. Kekuatan relasi
seperti ini semacam antitesa yang beroposisi pada rumus kekuasaan klasik
yang menekankan pada misi utama politik, yakni meraih kekuasaan.
Politik adalah perang. Politik adalah seni bertempur untuk meraih kekuasaan. Meraih kekuasaan memerlukan instrumen vital dalam mendesain manuver politik. Politik adalah seni kemungkinan yang ditunggangi ambisi serta digerakan pola taktik dan strategi dalam mesin pertempuran demi tercapainya misi utama politik, yaitu meraih kekuasaan yang seringkali menjadi tujuan akhir misi politik, bukan menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memperjuangkan cita-cita suci politik; keadilan dalam dunia hukum, menjaga kedaulatan negara dan bangsa serta kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial dan memperbaiki tatanan peradaban yang bermartabat.
Ketika kekuasaan berada dalam genggaman pemenang kontestasi politik, kekuasaan bukan lagi “kendaraan” untuk memanifestasikan program dan realisasi janji. Kekuasaan telah berubah menjadi candu yang menyuntikan toksis ke alam bawah sadar penguasa. Kekuasaan menjadi ruang balas jasa kepada sang konspirator yang mendesain skenario untuk mengantarkan kandidat sebagai pemenang dalam pertempuran politik. Kekuasaan menjelma ajang transaksional mesin partai kepada pihak pemilik modal yang telah membiayai pertarungan politik.
Dalam kamus seni pertempuran politik, ada satu senjata yang mematikan, yaitu politik pencitraan. Menurut pakar marketing politik dari London School of Economic (LSE), Margaret Scammell, politik pencitraan dipahami sebagai upaya memperkenalkan tokoh yang memiliki reputasi baik, dan diartikan sebagai trustworthiness and credibility of the candidates or parties.
Politik pencitraan dengan legitimasi rezim media massa terbukti ampuh memoleskan gincu propaganda, membentuk opini serta menjadikannya sebagai episentrum politik; rekayasa prestasi yang digiring dikembangkan asumsi untuk tumbuh menjadi issu nasional, tranding topic stasiun televisi, berita utama yang menghiasi halaman depan koran, majalah, dan hot news yang diviralkan media sosial juga spanduk dan baliho yang memuat kalimat-kalimat jargon bombastis. Inilah paradoksal kekuasaan ketika unsur “kegilaan” dalam akrobatik politik pencitraan merasuki lapisan irasionalitas kekuasaan.
Rakyat disuguhi tontonan sandiwara dari lensa kamera yang menghasilkan kamuflase visual dengan dramatisasi suasana yang nyaris sempurna; teks retorika yang berdengung di depan mikrofon ideologi seperti pamflet manifesto yang diteriakan parlemen jalanan.
Politik pencitraan dengan injeksi anggaran dana yang besar, bisa mengorbitkan kandidat pemimpin menjadi figur pemimpin masa depan yang bisa menjawab segala bentuk permasalahan dalam kontestasi politik pesta demokrasi. Politik pencitraan harus menjadikan figur kandidat sebagai media darling dengan mengupas semua sisi kehidupannya dari sudut pandang seorang “super star” yang memuaskan dahaga rindu masyarakat pada sosok yang berpihak pada kepentingan rakyat.
***
Politik pencitraan telah tumbuh menjadi sihir visual yang dipertontonkan kepada rakyat bukan sebagai edukasi managemen kepemimpinan, tetapi lebih kepada pesta pora tayangan jargon politik sinema yang memanipulasi realitas sosial. Awal mula politik pencitraan diakui sebagai strategi pemasaran politik yang jitu, ketika pertarungan John F.Kennedy melawan Richard Nixon dalam pemelihan Presiden Amerika tahun 1960.
Kemenangan John F.Kennedy merupakan bukti politik pencitraan yang sukses menjadikan Kennedy sebagai calon pemimpin ideal yang berkualitas yang dilegitimasi jaringan media massa. Padahal debat capres di radio dimenangkan oleh Nixon, tetapi ketika debat capres di televisi yang lebih banyak menjangkau lapisan masyarakat, Kennedy unggul dengan elektabilitas yang membumbung tinggi.
Tim sukses di lingkaran Kennedy membuat skenario politik pencitraan yang dahsyat, di mana Kennedy tampil sebagai aktor politisi dengan performance flamboyan yang mempesona, gesture seorang visioner, retorika orator sampai pada model rambut dan busana diatur secara detail mungkin, karena televisi adalah panggung visual yang merepresentasikan figur dalam tamasya mata penonton yang menjadi target perolehan suara kandidat.
Sejak kemenangan Kennedy yang menggunakan taktik dan srategi pemasaran politik pencitraan, Amerika memelihara kesadaran tentang mangemen politik pencitraan yang lebih sistematis dengan dukungan rezim media massa raksasa dan kekuatan dana fantastis untuk membiayai politik pencitraan global tentang kebijakan politik luar negeri Amerika.
Di Indonesia, politik pencitraan yang sukses secara gemilang dalam pertempuran politik yang digerakan mesin partai dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui iklan layanan masyarakat, dimulai sejak SBY diberhentikan oleh Presiden Megawati dari jabatannya sebagai menteri, lalu maju sebagai capres dari partai demokrat yang didirikan SBY dengan memoles dirinya sebagai figur yang “disakiti” oleh pihak yang tengah berkuasa.
Kemenangan SBY dalam pertarungan pilpres melawan Megawati yang diusung PDI-P memperkokoh momentum politik pencitraan sebagai senjata ampuh yang banyak diadopsi oleh para politisi/pejabat negara. Diakui atau tidak diakui, kepiawaian SBY sebagai politisi elegan memoles dirinya dengan etika prototype politisi santun, retorika yang tertata rapih dan gesture yang sadar kamera di depan kamera para jurnalis, menjadikannya kembali terpilih sebagai Presiden RI selama 2 periode.
Politik pencitraan berhasil dibangun konsultan politik yang tergabung dalam tim sukses Cikeas telah berhasil membentuk opini publik dan empati massal serta sukses memasarkan figur SBY sebagai typikal “jenderal yang berpikir”; konseptor, ahli strategi, negarawan serta memiliki kapasitas intelektual yang mempuni. SBY dalam format politik pencitraan adalah seorang maharesi politik yang pandai bermanuver meski cenderung bermain di zona aman lewat sikap politiknya yang ambigu.
Disamping SBY, Presiden Jokowi tampaknya lebih sadar betul tentang politik pencitraan yang dipoles lebih sistematis dimulai ketika Jokowi menjabat sebagai walikota Solo; mesin politik pencitraan bergerak agresif dan terstruktur menjadikan sosok Jokowi layak diorbitkan untuk maju sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta dengan target prioritas politik calon Presiden RI yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang oleh tim sukses dalam lingkaran kolaborasi; konglomerat, purnawirawan jenderal yang memiliki pengaruh besar, politisi senior dan rezim media massa di bawah komando majalah Tempo dan sekutu-sekutunya.
Meski terkadang politik pencitraan yang dilakukan Jokowi “over dosis” bahkan seringkali menjadi boomerang dan berbalik arah menjadi serangan bullying nitizen dengan berbagai meme dan komentar-komentar pedas yang menjadi viral di jejaring sosial media.
Hal ini harus menjadi evaluasi bagi pemerintahan Jokowi dalam merepresentasikan konsep nawacita yang telah berhenti di wilayah konseptual ide/ gagasan besar. Nawacita mesti dijewantahkan dalam bentuk kebijakan arah pembanguan kedaulatan ekonomi, supremasi hukum dan keputusan politik yang menjadikan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Politik pencitraan memiliki implikasi negatif yang krusial sekaligus menampilkan positivisme visual dari figur yang dibentuk konsultan politik. Implikasi negatif dari politik pencitraan adalah pemberhalaan terhadap figur yang belum tentu memiliki kredibilitas, integritas, kapasitas intelektual yang masih diragukan, wawasan multidisipliner keilmuan sebagai modal dasar dan managemen kepemimpinan yang harus diuji dalam prestasi real, bukan prestasi yang direkayasa, kemudian mendapatkan beatifikasi dari media massa yang sudah terkooptasi oleh kepentingan politik jangka pendek dibawah kendali para pemilik modal.
Positivisme politik pencitraan menghadirkan mozaik biografis-minimalis dari figur yang harus diketahui masyarakat bahwa figur yang tengah diusung adalah figur yang memiliki program, visi dan misi yang berakar di lapisan masyarakat. Politik pencitraan sesungguhnya mulai lepas dari koridor moral dan etika politik.
Dengan bius informasi dari berita media massa, politik pencitraan menjelma berhala bagi para politisi yang dikultuskan rezim media massa dengan daya sihir kekuatan audio/ visual-nya, bahkan rezim media massa sanggup untuk memoles “seorang mafia” yang terindikasi tindak pidana korupsi menjadi ketua umum sebuah partai politik dan tampil sebagai pahlawan karbitan yang menduduki kursi terhormat di gedung DPR.
Inilah salah satu dahsyatnya bentuk kehebatan dari politik pencitraan yang sistematis dari revolusi media massa di abad milenium ke 3 sebagai era perang tekhnologi digital yang menyerbu hampir semua sektor kehidupan umat manusia.
Revolusi media massa telah merobohkan dimensi ruang dan waktu. Informasi yang bergerak sangat cepat menghadirkan dunia dalam genggaman tangan. Setiap detik masyarakat bukan hanya kaum urban yang hidup di kota kosmopolitan, tetapi juga di pelosok pedesaan, kaum marginal pun sudah terserang “wabah” virus informasi yang dapat diakses melalui jaringan internet.
Ponsel pintar menjadi bagian gaya hidup yang nyaris tidak bisa dipisahkan dan telah menjadi menu utama dalam daftar pola hidup konsumtif di peradaban abad 21.
Menjamurnya jejaring sosial media di dunia maya menciptakan ruang komunikasi, memperlebar wilayah diskusi/ debat yang memancing pemikiran kritis masyarakat tentang tema sosial-politik-ekonomi yang tengah menjadi tema sentral di media massa. Proses sharing tulisan, gambar dan berita seringkali lolos tanpa proses validitas di level verifikasi yang ketat.
Bahkan dunia jurnalisme pun kebobolan dalam menurunkan berita/ tulisan, mengabaikan cek and balance dengan melakukan konfirmasi, kroscek dan investigasi akurasi data. Suasana kompetitif antar media massa digital yang memacu kecepatan menangkap berita ekslusif telah menjatuhkan kualitas jurnalisme sekelas “jurnalisme buzzer” yang terperangkap sebagai produsen hoax yang destruktif.
Revolusi media massa menjebol tembok pertahanan lintas teritorial. Informasi dari rezim media massa tak ubahnya desing peluru dari mesin senapan canggih yang memuntahkan berbagai amunisi informasi ter-aktual. Revolusi media massa adalah komoditas industri pers dengan liberalisme jurnalistik yang berdiri di atas konsep industri neokapitalisme.
Revolusi media massa sangat efektif untuk merubah kultur, mainset dan tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat. Di tengah hingar bingar jargon politik menjelang pesta demokrasi, rezim media massa memberikan variasi kepada masyarakat pada berbagai pilihan untuk mendapatkan informasi yang yang sesuai selera. Masyarakat secara tidak langsung dididik untuk bersikap cerdas dalam mem-filter informasi variatif yang dikehendakinya.
Mendapatkan informasi adalah hak warga negara Indonesia yang dilindungi konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 tegas menyatakan: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperolah, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
Bunyi pasal 28 F terang dan gamblang menjelaskan tentang hak individual untuk memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dengan berbagai pilihan sarana yang tersedia. Tetapi lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 terutama BAB VII Pasal 27 ayat 3 telah mempersempit ruang demokrasi. Kebebasan berpendapat harus berhadapan dengan delik aduan (klach delic) pasal pencemaran nama baik UU ITE sebagai lex spesialis. Pasal pencemaran nama baik merupakan epigonisme interpretasi gramatikal dari kontruksi teks yuridis Pasal 310 ayat 1 dan ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 27 ayat 3 telah menjelma rezim linguistik yuridis yang dibangun tirani kepada demokrasi atas kontruksi teks hukum yang mencederai azas demokrasi.
Azas demokrasi salah satunya adalah kebebasan menyatakan pendapat di muka umum. Kebebasan berpendapat tentunya berbeda dengan kebebasan bertindak. Kebebasan berpendapat berada dalam tataran pemikiran yang dikemas dalam formula pernyataan, analisa kritik yang berangkat dari perspektif atas realitas sosial dan diekspresikan dalam bentuk tulisan, pidato/ ceramah yang didistribukan oleh media massa atau jejaring sosial media sebagai sebagai alat untuk menyebarkan informasi.
Berbagai kasus pencemaran nama baik telah banyak memakan korban, dimulai dari kalangan agamawan,mahasiswa, aktivis pro demokrasi yang bersikap kritis melontarkan kritik tajam kepada rezim yang tengah berkuasa. Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Revieuw (JR) pasal 27 ayat 3 UU ITE terhadap Pasal 28 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945 lebih didominasi oleh latar karakteristik kultur masyarakat timur yang cenderung masih memelihara watak feodalisme serta alergi pada kritik. Padahal 51 negara yang menganut paham demokrasi sudah meninggalkan pasal pencemaran nama baik karena sudah tidak sesuai dengan semangat dan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Di tengah revolusi media massa yang secepat kilat mengirimkan berbagai informasi, ruang demokrasi telah dikebiri oleh produk hukum yang kontradisi dengan amanat konstitusi. Hukum adalah produk politik. Azas keadilan dan kemanfaatan harus menjadi fondasi bagi kontruksi teks hukum yang dibangun oleh kesepakatan politik. Pemimpin prematur yang dilahirkan dari mesin politik pencitraan seringkali terjebak oleh kepentingan politik jangka pendek.
Intervensi kekuatan pemilik modal mengendalikan pandangan politik pemegang kekuasaan dan memburamkan pandangan sosial; krisis multidimensi yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa yang demokratis. Pemikiran kritis selayaknya diapresiasi sebagai proses untuk memperbaiki kehidupan berdemokrasi. Sejarah membuka kitabnya; tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang bisa memenjarakan kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat sekalipun tirani kekuasaan mengancamnya dengan todongan senjata dan sel penjara.[***]
Gan-Gan R.A
Penulis adalah Koordinator Divisi Komunikasi Eksternal Satgas Advokasi#GRTW
Politik adalah perang. Politik adalah seni bertempur untuk meraih kekuasaan. Meraih kekuasaan memerlukan instrumen vital dalam mendesain manuver politik. Politik adalah seni kemungkinan yang ditunggangi ambisi serta digerakan pola taktik dan strategi dalam mesin pertempuran demi tercapainya misi utama politik, yaitu meraih kekuasaan yang seringkali menjadi tujuan akhir misi politik, bukan menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk memperjuangkan cita-cita suci politik; keadilan dalam dunia hukum, menjaga kedaulatan negara dan bangsa serta kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial dan memperbaiki tatanan peradaban yang bermartabat.
Ketika kekuasaan berada dalam genggaman pemenang kontestasi politik, kekuasaan bukan lagi “kendaraan” untuk memanifestasikan program dan realisasi janji. Kekuasaan telah berubah menjadi candu yang menyuntikan toksis ke alam bawah sadar penguasa. Kekuasaan menjadi ruang balas jasa kepada sang konspirator yang mendesain skenario untuk mengantarkan kandidat sebagai pemenang dalam pertempuran politik. Kekuasaan menjelma ajang transaksional mesin partai kepada pihak pemilik modal yang telah membiayai pertarungan politik.
Dalam kamus seni pertempuran politik, ada satu senjata yang mematikan, yaitu politik pencitraan. Menurut pakar marketing politik dari London School of Economic (LSE), Margaret Scammell, politik pencitraan dipahami sebagai upaya memperkenalkan tokoh yang memiliki reputasi baik, dan diartikan sebagai trustworthiness and credibility of the candidates or parties.
Politik pencitraan dengan legitimasi rezim media massa terbukti ampuh memoleskan gincu propaganda, membentuk opini serta menjadikannya sebagai episentrum politik; rekayasa prestasi yang digiring dikembangkan asumsi untuk tumbuh menjadi issu nasional, tranding topic stasiun televisi, berita utama yang menghiasi halaman depan koran, majalah, dan hot news yang diviralkan media sosial juga spanduk dan baliho yang memuat kalimat-kalimat jargon bombastis. Inilah paradoksal kekuasaan ketika unsur “kegilaan” dalam akrobatik politik pencitraan merasuki lapisan irasionalitas kekuasaan.
Rakyat disuguhi tontonan sandiwara dari lensa kamera yang menghasilkan kamuflase visual dengan dramatisasi suasana yang nyaris sempurna; teks retorika yang berdengung di depan mikrofon ideologi seperti pamflet manifesto yang diteriakan parlemen jalanan.
Politik pencitraan dengan injeksi anggaran dana yang besar, bisa mengorbitkan kandidat pemimpin menjadi figur pemimpin masa depan yang bisa menjawab segala bentuk permasalahan dalam kontestasi politik pesta demokrasi. Politik pencitraan harus menjadikan figur kandidat sebagai media darling dengan mengupas semua sisi kehidupannya dari sudut pandang seorang “super star” yang memuaskan dahaga rindu masyarakat pada sosok yang berpihak pada kepentingan rakyat.
***
Politik pencitraan telah tumbuh menjadi sihir visual yang dipertontonkan kepada rakyat bukan sebagai edukasi managemen kepemimpinan, tetapi lebih kepada pesta pora tayangan jargon politik sinema yang memanipulasi realitas sosial. Awal mula politik pencitraan diakui sebagai strategi pemasaran politik yang jitu, ketika pertarungan John F.Kennedy melawan Richard Nixon dalam pemelihan Presiden Amerika tahun 1960.
Kemenangan John F.Kennedy merupakan bukti politik pencitraan yang sukses menjadikan Kennedy sebagai calon pemimpin ideal yang berkualitas yang dilegitimasi jaringan media massa. Padahal debat capres di radio dimenangkan oleh Nixon, tetapi ketika debat capres di televisi yang lebih banyak menjangkau lapisan masyarakat, Kennedy unggul dengan elektabilitas yang membumbung tinggi.
Tim sukses di lingkaran Kennedy membuat skenario politik pencitraan yang dahsyat, di mana Kennedy tampil sebagai aktor politisi dengan performance flamboyan yang mempesona, gesture seorang visioner, retorika orator sampai pada model rambut dan busana diatur secara detail mungkin, karena televisi adalah panggung visual yang merepresentasikan figur dalam tamasya mata penonton yang menjadi target perolehan suara kandidat.
Sejak kemenangan Kennedy yang menggunakan taktik dan srategi pemasaran politik pencitraan, Amerika memelihara kesadaran tentang mangemen politik pencitraan yang lebih sistematis dengan dukungan rezim media massa raksasa dan kekuatan dana fantastis untuk membiayai politik pencitraan global tentang kebijakan politik luar negeri Amerika.
Di Indonesia, politik pencitraan yang sukses secara gemilang dalam pertempuran politik yang digerakan mesin partai dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui iklan layanan masyarakat, dimulai sejak SBY diberhentikan oleh Presiden Megawati dari jabatannya sebagai menteri, lalu maju sebagai capres dari partai demokrat yang didirikan SBY dengan memoles dirinya sebagai figur yang “disakiti” oleh pihak yang tengah berkuasa.
Kemenangan SBY dalam pertarungan pilpres melawan Megawati yang diusung PDI-P memperkokoh momentum politik pencitraan sebagai senjata ampuh yang banyak diadopsi oleh para politisi/pejabat negara. Diakui atau tidak diakui, kepiawaian SBY sebagai politisi elegan memoles dirinya dengan etika prototype politisi santun, retorika yang tertata rapih dan gesture yang sadar kamera di depan kamera para jurnalis, menjadikannya kembali terpilih sebagai Presiden RI selama 2 periode.
Politik pencitraan berhasil dibangun konsultan politik yang tergabung dalam tim sukses Cikeas telah berhasil membentuk opini publik dan empati massal serta sukses memasarkan figur SBY sebagai typikal “jenderal yang berpikir”; konseptor, ahli strategi, negarawan serta memiliki kapasitas intelektual yang mempuni. SBY dalam format politik pencitraan adalah seorang maharesi politik yang pandai bermanuver meski cenderung bermain di zona aman lewat sikap politiknya yang ambigu.
Disamping SBY, Presiden Jokowi tampaknya lebih sadar betul tentang politik pencitraan yang dipoles lebih sistematis dimulai ketika Jokowi menjabat sebagai walikota Solo; mesin politik pencitraan bergerak agresif dan terstruktur menjadikan sosok Jokowi layak diorbitkan untuk maju sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta dengan target prioritas politik calon Presiden RI yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang oleh tim sukses dalam lingkaran kolaborasi; konglomerat, purnawirawan jenderal yang memiliki pengaruh besar, politisi senior dan rezim media massa di bawah komando majalah Tempo dan sekutu-sekutunya.
Meski terkadang politik pencitraan yang dilakukan Jokowi “over dosis” bahkan seringkali menjadi boomerang dan berbalik arah menjadi serangan bullying nitizen dengan berbagai meme dan komentar-komentar pedas yang menjadi viral di jejaring sosial media.
Hal ini harus menjadi evaluasi bagi pemerintahan Jokowi dalam merepresentasikan konsep nawacita yang telah berhenti di wilayah konseptual ide/ gagasan besar. Nawacita mesti dijewantahkan dalam bentuk kebijakan arah pembanguan kedaulatan ekonomi, supremasi hukum dan keputusan politik yang menjadikan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Politik pencitraan memiliki implikasi negatif yang krusial sekaligus menampilkan positivisme visual dari figur yang dibentuk konsultan politik. Implikasi negatif dari politik pencitraan adalah pemberhalaan terhadap figur yang belum tentu memiliki kredibilitas, integritas, kapasitas intelektual yang masih diragukan, wawasan multidisipliner keilmuan sebagai modal dasar dan managemen kepemimpinan yang harus diuji dalam prestasi real, bukan prestasi yang direkayasa, kemudian mendapatkan beatifikasi dari media massa yang sudah terkooptasi oleh kepentingan politik jangka pendek dibawah kendali para pemilik modal.
Positivisme politik pencitraan menghadirkan mozaik biografis-minimalis dari figur yang harus diketahui masyarakat bahwa figur yang tengah diusung adalah figur yang memiliki program, visi dan misi yang berakar di lapisan masyarakat. Politik pencitraan sesungguhnya mulai lepas dari koridor moral dan etika politik.
Dengan bius informasi dari berita media massa, politik pencitraan menjelma berhala bagi para politisi yang dikultuskan rezim media massa dengan daya sihir kekuatan audio/ visual-nya, bahkan rezim media massa sanggup untuk memoles “seorang mafia” yang terindikasi tindak pidana korupsi menjadi ketua umum sebuah partai politik dan tampil sebagai pahlawan karbitan yang menduduki kursi terhormat di gedung DPR.
Inilah salah satu dahsyatnya bentuk kehebatan dari politik pencitraan yang sistematis dari revolusi media massa di abad milenium ke 3 sebagai era perang tekhnologi digital yang menyerbu hampir semua sektor kehidupan umat manusia.
Revolusi media massa telah merobohkan dimensi ruang dan waktu. Informasi yang bergerak sangat cepat menghadirkan dunia dalam genggaman tangan. Setiap detik masyarakat bukan hanya kaum urban yang hidup di kota kosmopolitan, tetapi juga di pelosok pedesaan, kaum marginal pun sudah terserang “wabah” virus informasi yang dapat diakses melalui jaringan internet.
Ponsel pintar menjadi bagian gaya hidup yang nyaris tidak bisa dipisahkan dan telah menjadi menu utama dalam daftar pola hidup konsumtif di peradaban abad 21.
Menjamurnya jejaring sosial media di dunia maya menciptakan ruang komunikasi, memperlebar wilayah diskusi/ debat yang memancing pemikiran kritis masyarakat tentang tema sosial-politik-ekonomi yang tengah menjadi tema sentral di media massa. Proses sharing tulisan, gambar dan berita seringkali lolos tanpa proses validitas di level verifikasi yang ketat.
Bahkan dunia jurnalisme pun kebobolan dalam menurunkan berita/ tulisan, mengabaikan cek and balance dengan melakukan konfirmasi, kroscek dan investigasi akurasi data. Suasana kompetitif antar media massa digital yang memacu kecepatan menangkap berita ekslusif telah menjatuhkan kualitas jurnalisme sekelas “jurnalisme buzzer” yang terperangkap sebagai produsen hoax yang destruktif.
Revolusi media massa menjebol tembok pertahanan lintas teritorial. Informasi dari rezim media massa tak ubahnya desing peluru dari mesin senapan canggih yang memuntahkan berbagai amunisi informasi ter-aktual. Revolusi media massa adalah komoditas industri pers dengan liberalisme jurnalistik yang berdiri di atas konsep industri neokapitalisme.
Revolusi media massa sangat efektif untuk merubah kultur, mainset dan tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat. Di tengah hingar bingar jargon politik menjelang pesta demokrasi, rezim media massa memberikan variasi kepada masyarakat pada berbagai pilihan untuk mendapatkan informasi yang yang sesuai selera. Masyarakat secara tidak langsung dididik untuk bersikap cerdas dalam mem-filter informasi variatif yang dikehendakinya.
Mendapatkan informasi adalah hak warga negara Indonesia yang dilindungi konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 tegas menyatakan: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperolah, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
Bunyi pasal 28 F terang dan gamblang menjelaskan tentang hak individual untuk memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dengan berbagai pilihan sarana yang tersedia. Tetapi lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 terutama BAB VII Pasal 27 ayat 3 telah mempersempit ruang demokrasi. Kebebasan berpendapat harus berhadapan dengan delik aduan (klach delic) pasal pencemaran nama baik UU ITE sebagai lex spesialis. Pasal pencemaran nama baik merupakan epigonisme interpretasi gramatikal dari kontruksi teks yuridis Pasal 310 ayat 1 dan ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 27 ayat 3 telah menjelma rezim linguistik yuridis yang dibangun tirani kepada demokrasi atas kontruksi teks hukum yang mencederai azas demokrasi.
Azas demokrasi salah satunya adalah kebebasan menyatakan pendapat di muka umum. Kebebasan berpendapat tentunya berbeda dengan kebebasan bertindak. Kebebasan berpendapat berada dalam tataran pemikiran yang dikemas dalam formula pernyataan, analisa kritik yang berangkat dari perspektif atas realitas sosial dan diekspresikan dalam bentuk tulisan, pidato/ ceramah yang didistribukan oleh media massa atau jejaring sosial media sebagai sebagai alat untuk menyebarkan informasi.
Berbagai kasus pencemaran nama baik telah banyak memakan korban, dimulai dari kalangan agamawan,mahasiswa, aktivis pro demokrasi yang bersikap kritis melontarkan kritik tajam kepada rezim yang tengah berkuasa. Putusan Mahkamah Konstitusi atas Judicial Revieuw (JR) pasal 27 ayat 3 UU ITE terhadap Pasal 28 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945 lebih didominasi oleh latar karakteristik kultur masyarakat timur yang cenderung masih memelihara watak feodalisme serta alergi pada kritik. Padahal 51 negara yang menganut paham demokrasi sudah meninggalkan pasal pencemaran nama baik karena sudah tidak sesuai dengan semangat dan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Di tengah revolusi media massa yang secepat kilat mengirimkan berbagai informasi, ruang demokrasi telah dikebiri oleh produk hukum yang kontradisi dengan amanat konstitusi. Hukum adalah produk politik. Azas keadilan dan kemanfaatan harus menjadi fondasi bagi kontruksi teks hukum yang dibangun oleh kesepakatan politik. Pemimpin prematur yang dilahirkan dari mesin politik pencitraan seringkali terjebak oleh kepentingan politik jangka pendek.
Intervensi kekuatan pemilik modal mengendalikan pandangan politik pemegang kekuasaan dan memburamkan pandangan sosial; krisis multidimensi yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa yang demokratis. Pemikiran kritis selayaknya diapresiasi sebagai proses untuk memperbaiki kehidupan berdemokrasi. Sejarah membuka kitabnya; tidak ada satu pun kekuatan di dunia ini yang bisa memenjarakan kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat sekalipun tirani kekuasaan mengancamnya dengan todongan senjata dan sel penjara.[***]
Gan-Gan R.A
Penulis adalah Koordinator Divisi Komunikasi Eksternal Satgas Advokasi#GRTW
0 comments:
Post a Comment