Salah satu dari perkataan yang umum di masyarakat adalah bahwa jodoh, rezeki, ajal (kematian) dan perceraian adalah takdir dari Allah Ta’ala, benarkah demikian? Jawabannya adalah Ya, betul sekali bahwa semua itu adalah merupakan takdir dari Allah Ta’ala. Akan tetapi keempatnya memiliki karakter masing-masing, yang apabila kita rinci terbagi menjadi dua; Pertama; Rezeki dan Kematian, Kedua; Jodoh dan Perceraian. Permasalahan ini sangat penting untuk dibahas karena terkait dengan Qadha dan Qadar yang masuk ke ranah tauhid atau keyakinan sebagai seorang muslim. Selain itu jangan sampai kita masuk ke dalam aliran Jabariah yang menganggap bahwa manusia hanya seperti wayang yang dipaksa mengikuti takdirNya, atau seperti Qadariah yang meyakini semuanya adalah kehendak manusia tanpa campur tangan Allah Ta’ala.
Beriman dengan Qadha dan Qadar
Dasar keimanan terhadap qadha dan qadar adalah firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, yaitu firmanNya:
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ
Dan
tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan
Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. QS.
Al-Hijr: 21.
Pada ayat yang lainnya disebutkan:
وَكَانَ أَمْرًا مَقْضِيًّا
“Dan ini perkara yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 21).
Riwayat shahih mengenai hal ini adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam :
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Kamu
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan kamu beriman kepada qadar yang baik
maupun yang buruk. HR. Muslim.
Riwayat lainnya menyebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya yang
pertama kali diciptakan Allah ta’ala ialah pena, kemudian Allah
berfirman kepadanya, ‘Tulislah.’ Pena berkata, ‘Tuhanku, apa yang harus
saya tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takaran (takdir) segala sesuatu
hingga hari kiamat.” (H.R. Ahmad dan At-Tirmidzi).
Merujuk pada
beberapa ayat dalam Al-Qur’an dan riwayat shahih dari Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dapat dipahami bahwa Allah Ta’ala telah
menetapkan takdir seluruh makhlukNya. Riwayat lainnya menjelaskan:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.
“Allah
telah mencatat seluruh takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum
Allah menciptakan langit dan bumi” HR. Muslim, Thirmidzi dan Abu Dawud.
Ada
dua istilah yang kemudian dibahas oleh para ulama, yaitu; qadha dan
qadar. Keduanya memiliki makna yang berbeda ketika disatukan dalam satu
pembahasan (qadha-qadar) apabila dipisah maknanya sama yaitu takdir dari
Allah Ta’ala. Secara lebih rinci ada dua pendapat mengenai hal ini;
Pertama, Qadha dan Qadar bermakna Sama.
Mereka menyatakan bahwa
makna qadha dan qadar itu sama maknanya yaitu ketentuan dari Allah
Ta’ala sejak zaman dahulu kala. Pendapat ini dipegang oleh Abdul Aziz
bin Abdullah yang menyatakan:
القضاء والقدر، هو شيء واحد، الشيء الذي قضاه الله سابقاً ، وقدره سابقاً، يقال لهذا القضاء ، ويقال له القدر
Qadha
dan qadar adalah dua kata yang artinya samya, aitu sesuatu yang telah
Allah qadha’-kan (tetapkan) dulu, dan yang telah Allah takdirkan dulu.
Bisa disebut qadha, bisa disebut taqdir.
Persamaaan makna ini sebagaimana tercatat dalam al-Qamus al-Muhith, yaitu;
القدر : القضاء والحكم
Qadar adalah qadha dan hukum.
Merujuk
kepada pendapat ini maka tidak ada perbedaan makna antara qadha dan
qadar yaitu ketetapan dari Allah Ta’ala sejak zaman azali.
Kedua, Berbeda makna antara Qadha dan Qadar.
Pendapat ini memiliki dua pendapat yang berbeda pula, yaitu;
- Qadha lebih dahulu dari pada qadar. Qadha adalah ketetapan Allah
di zaman azali. Sementara qadar adalah ketetapan Allah untuk apapun
yang saat ini sedang terjadi. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,
قال العلماء : القضاء هو الحكم الكلي الإجمالي في الأزل ، والقدر جزئيات ذلك الحكم وتفاصيله
Para ulama mengatakan, al-qadha adalah ketetapan global secara keseluruhan di zaman azali. Sementara qadar adalah bagian-bagian dan rincian dari ketetapan global itu. (Fathul Bari, 11/477).
Al-Jurjani menyatakan,
والفرق بين القدر والقضاء : هو أن القضاء وجود جميع الموجودات في اللوح المحفوظ مجتمعة، والقدر وجودها متفرقة في الأعيان بعد حصول شرائطها
Perbedaan antara qadar dan qadha, bahwa qadha bentuknya ketetapan adanya seluruh makhluk yang tertulis di al-Lauh al-Mahfudz secara global. Sementara qadar adalah ketetapan adanya makhluk tertentu, setelah terpenuhi syarat-syaratnya. (at-Ta’rifat, hlm. 174) - Kebalikan dari
pendapat sebelumnya, qadar lebih dahulu dari pada qadha. Qadar adalah
ketetapan Allah di zaman azali. Sementara qadha adalah penciptaan Allah
untuk apapun yang saat ini sedang terjadi.
Ar-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat (hlm. 675) menyatakan,
والقضاء من الله تعالى أخص من القدر؛ لأنه الفصل بين التقدير، فالقدر هو التقدير، والقضاء هو الفصل والقطع
Qadha Allah lebih khusus dibandingkan qadar. Karena qadha adalah ketetapan diantara taqdir (ketetapan). Qadar itu taqdir, sementara qadha adalah keputusan.
Pendapat ini dipegang pula oleh Muhammad bin Shaleh yang menyatakan “Maka ketika Allah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya, ketentuan ini disebut Qadar. Kemudian ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan pada sesuatu tersebut, ketentuan tersebut disebut Qadha’”.
Ulama dari kalangan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat bahwa makna qadha dan qadar itu berbeda. Syekh M. Nawawi Banten menyatakan:
اختلفوا في معنى القضاء والقدر فالقضاء عند الأشاعرة إرادة الله الأشياء في الأزل على ما هي عليه في غير الأزل والقدر عندهم إيجاد الله الأشياء على قدر مخصوص على وفق الإرادة
“Ulama tauhid atau mutakallimin berbeda pendapat perihal makna qadha dan qadar. Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah kehendak Allah atas sesuatu pada azali untuk sebuah ‘realitas’ pada saat sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut mereka adalah penciptaan (realisasi) Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya pada azali,” (Kasyifatus Saja, hal. 12).
Beliau memberikan contoh qadha dan qadar menurut kelompok Asyariyyah, Qadha adalah putusan Allah pada azali bahwa kelak kita akan menjadi apa. Sementara qadar adalah realisasi Allah atas qadha terhadap diri kita sesuai kehendak-Nya.
فإرادة الله المتعلقة أزلا بأنك تصير عالما قضاء وإيجاد العلم فيك بعد وجودك على وفق الإرادة قدر
“Kehendak Allah yang berkaitan pada azali, misalnya kau kelak menjadi orang alim atau berpengetahuan adalah qadha. Sementara penciptaan ilmu di dalam dirimu setelah ujudmu hadir di dunia sesuai dengan kehendak-Nya pada azali adalah qadar,” (Kasyifatus Saja, 12).
Sedangkan bagi kelompok Maturidiyyah, qadha dipahami sebagai penciptaan Allah atas sesuatu disertai penyempurnaan sesuai ilmu-Nya. Dengan kata lain, qadha adalah batasan yang Allah buat pada azali atas setiap makhluk dengan batasan yang ada pada semua makhluk itu seperti baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan mudarat, dan seterusnya.
وقول الأشاعرة هو المشهور وعلى كل فالقضاء قديم والقدر حادث بخلاف قول الماتريدية وقيل كل منهما بمعنى إرادته تعالى
“Pandangan ulama Asy’ariyyah cukup masyhur. Atas setiap pandangan itu, yang jelas qadha itu qadim (dulu tanpa awal). Sementara qadar itu hadits (baru). Pandangan ini berbeda dengan pandangan ulama Maturidiyyah. Ada ulama berkata bahwa qadha dan qadar adalah pengertian dari kehendak-Nya,” (Kasyifatus Saja, hal. 12).
Merujuk pada berbagai pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa qadha dan qadar adalah takdir dan ketetapan dari Allah Ta’ala. Pada dasarnya ia bersifat azali sejak penciptaan Qalam (pena) yang telah dititahkan oleh Allah Ta’ala untuk menuliskan takdir semesta. Ketetapan ini tidaklah meniadakan adanya usaha dari ikhtiar manusia, dengan kata lain takdir dari Allah Ta’ala terkait dengan usaha maksimal dari manusia.
Iman dengan Takdir: Rezeki dan Kematian
Kembali pada pembahasan di
awal, bahwa rizki dan ajal merupakan takdir dari Allah Ta’ala, maka
tidak bisa seorangpun untuk menolaknya. Terkait dengan rizki Allah
Ta’ala berfirman:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’: 24).
Pada ayat yang lainnya Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki.” (QS. An Nahl: 71).
Merujuk
pada ayat-ayat ini maka jelas sekali bahwa rizki dari Allah Ta’ala
sudah ditetapkan, namun demikian manusia memiliki usaha untuk menjemput
rizki tersebut. Semakin dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
menjemput rizki tersebut maka ia akan mendapatkan apa yang dia usahakan.
Sehingga jika ada orang yang mengatakan bahwa rizki itu sudah
ditentukan, jadi kita tidak perlu usaha maka perkataan ini tidak tepat.
Karena perintah untuk berikhtiar sendiri sangat jelas, seperti dalam
firmaNya:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dia-lah
yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. QS. Al-Mulk:15.
Pada ayat yang lainnya juga disebutkan secara jelas:
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ
اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila
telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung. QS. Al-Jumu’ah: 10.
Merujuk pada pemahaman dari ayat ini
adalah bahwa, rizki itu sudah ditetapkan Allah Ta’ala akan tetapi
manusia juga diperintahkan untuk mencarinya, menjemputnya dan
mendapatkan rizki yang halal.
Adapun berkaitan dengan ajal maka Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di
mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu
di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’: 78).
Selain
dua ayat ini, banyak sekali ayat dan juga hadits yang menunjukan bahwa
ajal atau kematian itu sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala waktu dan
tempatnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
إنَّ
أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا
نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً
مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ
الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ،
وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ، فَوَاللهِ الَّذِيْ لاَ
إِلَهَ غُيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ
عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا،
وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا
يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
”Sesungguhnya seorang dari kalian
dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk
nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah
(segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal
daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya
untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat
hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau
bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian
beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan
surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu
ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya.
Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli
neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal
sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan
amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya”. HR. Bukhari dan
Muslim.
Sebagaimana berkaitan dengan rizki yang sudah ditentukan maka
ajal atau kematian juga sudah ditentukan. Namun ia tidak meniadakan
ikhtiar manusia, maksudnya dalam konteks kematian jika ada orang yang
buhun diri kemudia dia beralasan bahwa itu adalah takdir maka bisa
dikatakan bahwa ketika seseorang bunuh diri dan meninggal dunia maka itu
adalah takdir. Tetapi ia berdosa karena telah membunuh dirinya sendiri,
sehingga ia akan disiksa di neraka, sebagaimana ayat dan juga sabda
Nabi yang mulia:
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ
نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar
hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa: 29-30).
من قتل نفسه بشيء عذب به يوم القيامة
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan di adzab dengan itu di hari kiamat”. HR. Bukhari dan Muslim.
Ayat
dan hadits ini menunjukan larangan untuk bunuh diri serta ancaman bagi
yang melakukannya. Walaupun mati adalah takdir, tetapi manusia memiliki
kontrisbusi (kehendak) dalam prosesnya. Kehendak inilah yang kemudian
menjadi sebab ia mendapatkan siksa.
Iman dengan Takdir: Jodoh dan Perceraian.
Berikutnya terkait
dengan jodoh dan perceraian, bahwa keduanya adalah merupakan takdir dari
Allah Ta’ala. Jodoh seseorang sudah ditentukan, sebagaimana firmanNya:
الْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ
لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ
مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji
adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari
apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan
dan rezeki yang mulia (surga). QS. An-Nur: 26.
Ayat ini berbicara secara umum bahwa manusia itu diciptakan secara berpasang-pasangan , sebagaimana firmanNya:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyat: 59). Ibnu Katsir rahimahullah
menyatakan,
جميع المخلوقات أزواج: سماء وأرض، وليل ونهار، وشمس وقمر،
وبر وبحر، وضياء وظلام، وإيمان وكفر، وموت وحياة، وشقاء وسعادة، وجنة ونار،
حتى الحيوانات [جن وإنس، ذكور وإناث] والنباتات
“Setiap makhluk itu
berpasang-pasangan. Ada matahari dan bumi. Ada malam dan ada siang. Ada
matahari dan ada rembulan. Ada daratan dan ada lautan. Ada terang dan
ada gelap. Ada iman dan ada kafir. Ada kematian dan ada kehidupan. Ada
kesengsaraan dan ada kebahagiaan. Ada surga dan ada neraka. Sampai pada
hewan pun terdapat demikian. Ada juga jin dan ada manusia. Ada laki-laki
dan ada perempuan. Ada pula berpasang-pasangan pada tanaman.”
Jika
ada seseorang yang ternyata tidak menikah hingga meninggal dunia maka
bukan berarti ia tidak ada pasangan. Adanya unsur kehendak dalam dirinya
untuk tidak menikah atau hal lainnya yang menjadikan ia tidak berjumpa
dengan pasangannya. Intinya adalah bahwa jodoh itu sudah takdir, namun
manusia juga memiliki kehendakn untuk mencarinya dan menentukannya. Jika
seseorang telah berusaha untuk mencari pasangan kemudian hingga menikah
maka itulah jodohnya. Jika ternyata kemudian ia bercerai dan menikah
dengan orang lain maka itupun takdirNya juga.
Perceraian sebagai
takdir dari Allah Ta’ala juga merupakan ketetapan yang sudah pasti
adanya. Namun ia juga tidak lepas dari kehendak dari manusia, kehidupan
keluarga yang penuh dengan romantika; suka dan duka silih berganti,
gelombang dan prahara rumah tangga yang sering menerjang terkadang
berakhir dengan perceraian. Perceraian itu takdir ketika sudah terjadi,
tetapi manusia memiliki kehendak untuk melakukannya atau bersabar dan
tetap mempertahankan keluarganya.
Kesimpulan:
Pembahasan mengenai jodoh, rizki, ajal dan perceraian
terkait erat dengan tauhid atau keimanan seorang muslim yaitu iman
(percaya/yakin) dengan takdir dari Allah Ta’ala. Semua hal di dunia ini
sudah ditakdirkan, tetap manusia memiliki kehendak dan ikhtiar. Kaya
atau miskin, bahagia atau sengsara, menikah atau tetap sendiri,
mempertahankan keluarga atau bercerai semua itu adalah pilihan bagi
manusia.
Jika kita menganggap bahwa semua itu sudah menjadi takdirNya
dan manusia hanya menjalankannya maka ia terbawa pada pemikiran
Jabariyah atau Jabriah yang menganggap bahwa manusia hanya seperti
boneka (wayang) yang dipaksa mengikuti takdir dari Allah Ta’ala.
Sedangkan bila ia berkeyakinan bahwa manusia memiliki kehendak penuh
untuk melakukan segala sesuatu tanpa takdir Allah, maka ia terjebak ke
dalam pemikiran Qadariah di mana manusia seolah-olah bebas tanpa kuasa
dariNya.
Maka, jalan tengah dari keduanya yang merupakan solusi
terbaik adalah pendapat dari Ahlu Sunnah wal Jamaah yang meyakini
bahwasanya semua takdir semesta telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala sejak
awal mula penciptaan, tetapi manusia memiliki kehendak dan ikhtiar
untuk menentukan dan memilih yang yang terbaik baginya. Istilah lainnnya
menyatakan “Beralih dari satu takdir ke takdir lainnya”, karena kita
tidak tahu yang mana takdir kita. Oleh karena itu tetap yakin dengan
takdir Allah Ta’ala dan terus berusaha untuk menjadi yang terbaik dan
melakukan hal-hal yang baik agar kehidupan kita berakhir dalam kebaikan
yaitu di surga sebagai negeri keabadian. Wallahu a’lam, (Menjelang
tengah hari di Bogor City, 14 04 2024).
0 comments:
Post a Comment