JAKARTA ( KONTAK BANTEN Jaksa Agung ST Burhanuddin meminta para penegak hukum termasuk jajaran kejaksaan harus berani menggeser paradigma dan melakukan gebrakan dengan merampas aset-aset pelaku kejahatan yang terbukti merugikan perekonomian negara dan dibebankan untuk memulihkannya seperti pada kasus tindak pidana korupsi.
Menurut Jaksa Agung pembebanan kepada pelaku kejahatan sebagai langkah progresif atas pengembalian kerugian perekonomian negara bukan hanya menjadi suatu angan-angan belaka.
“Namun harus menjadi suatu keniscayaan,” tegas Jaksa Agung diwakili Wakil Jaksa Agung Feri Wibisono saat menjadi “Keynote Speech” sekaligus membuka kegiatan Focus Group Discussion bertemakan “Konstruksi Pemidanaan Tindak Pidana yang Merugikan Perekonomian Negara” yang diselenggarakan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) di Jakarta, Senin (05/08/2024).
Jaksa Agung sebelumnya mengatakan tema FGD sesuai dengan semangat Kejaksaan dalam melakukan pemberantasan korupsi belakangan ini yang tidak hanya fokus merugikan keuangan negara, tapi juga merugikan perekonomian negara dengan berbagai jenis tindak pidana sebagai pemicunya.
Antara lain, kata dia, yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana penipuan keuangan, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perbankan, tindak pidana penyelundupan dan perdagangan narkotika, tindak pidana perdagangan ilegal, tindak pidana penggelapan pajak dan lain sebagainya.
“Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan tindak pidana yang merugikan perekonomian negara pada dasarnya dapat mengakibatkan efek merusak yang sangat luas,” tuturnya.
Jaksa Agung pun menuturkan efek tersebut tidak hanya menyangkut keuangan negara. Namun lebih dari itu dicontohkan hilangnya dana publik, penurunan kepercayaan investor, penurunan pendapatan fiskal, dan ketidakstabilan ekonomi yang berimbas pada keadaan perekonomian Indonesia.
Dia mengatakan juga Kejaksaan telah beberapa kali menangani kasus korupsi yang merugikan perekonomian negara, seperti dalam perkara importasi tekstil, importasi baja dan perkara korupsi Crude Palm Oil (CPO).
Adapun, ujarnya, fokus utama Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana yang merugikan keuangan negara maupun perekonomian negara saat ini yaitu bagaimana cara untuk menyelamatkan dan memulihkannya.
Jaksa Agung pun menuturkan selain menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption, 2003 (UNCAC), melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC).
“Dalam aturan itu Indonesia menyetujui adanya peningkatan hubungan kerja sama pada sektor internasional dalam hal pelacakan, penyitaan, pembekuan, dan pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang disimpan pelaku korupsi ke luar negeri,” ucapnya.
Oleh karena itu, ujarnya, Kejaksaan patut bersyukur atas lahirnya Badan Pemulihan Aset (BPA) sebagai bagian dari Kejaksaan. “Karena dapat membantu Kejaksaan dalam merestorasi dampak merusak akibat kerugian keuangan negara dan atau perekonomian negara akibat dari tindak pidana,” ujarnya.
Mengalami Transformasi
Jaksa Agung menyebutkan paradigma Kejaksaan dalam penanganan perkara korupsi saat ini juga telah mengalami transformasi. “Dari semula follow the suspect atau hanya mengejar pelakunya menjadi follow the money and follow the asset. Atau lebih kepada mengejar uang dan asetnya demi mengoptimalkan pemulihan dan pengembalian aset dan kerugian negara.”
Dia mengatakan berbagai upaya pun dilakukan untuk optimalisasi pemulihan terhadap kerugian perekonomian negara dengan salah satunya pemberlakuan “asas pencemar membayar” yang diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam aturan itu, katanya, dijelaskan bahwa “asas ‘pencemar membayar’ adalah setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
Sebenarnya, ungkap dia, ada dua instrumen dapat digunakan memulihkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yaitu Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti.
“Namun kedua instrumen belum mampu mengembalikan kerugian keuangan negara dengan maksimal,” ujar Jaksa Agung seraya menyebutkan setidaknya ada tiga penyebab tidak optimalnya pemulihan kerugian negara yaitu:
– Pertama, adanya pergeseran klasifikasi delik tindak pidana korupsi, dari awalnya merupakan delik formil menjadi delik materil, pasca putusan MK
– Kedua, ialah penyembunyian aset hasil korupsi dan berkembangnya modus operandi para pelaku tindak pidana yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan
– Ketiga, adanya perbedaan terhadap penjatuhan hukuman penjara bagi pelaku tindak pidana, yang dianggap terlalu ringan dibandingkan jumlah kerugian yang ditimbulkannya.
Dibagian lain Jaksa Agung mberpesan kepada jajaran kejaksaan untuk bersiap diri menyongsong pemberlakuan KUHP Nasional yang secara efektif berlaku pada 2 Januari 2026 dengan berbagai ketentuan baru yang diatur dalam beleid tersebut.
Dia menyebutkan salah satu yang menjadi sorotan adalah adanya instrumen pemulihan kerugian perekonomian negara melalui pembayaran ganti kerugian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d KUHP Nasional.
“Konsepsi ini sebenarnya sama dengan restitusi tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang membedakan hanya adressat-nya, dimana Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban fokus pada saksi dan korban. Sedangkan dalam KUHP Nasional lebih luas, termasuk ganti kerugian terhadap negara,” ucapnya.
Jaksa Agung menambahkan konsep ganti rugi untuk kerugian perekonomian negara juga dapat ditempuh melalui mekanisme gugatan perdata. Namun baginya hal tersebut memberi kesan sistem peradilan pidana saat ini tidak mampu mewujudkan salah satu tujuan pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 huruf c KUHP Nasional yakni memulihkan keseimbangan.
Dia beralasan terobosan atas pemidanaan yang mengakibatkan kerugian perekonomian negara merupakan perwujudan dan komitmen negara dalam menjaga stabilitas dan kesejahteraan negara.
“Salah satu bentuk perwujudan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat adalah dengan mengonstruksikan pemidanaan yang tepat bagi pelaku korupsi yang telah merugikan perekonomian negara,” tuturnya,
0 comments:
Post a Comment