JAKARTA KONTAK BANTEN Jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Tonny Pangaribuan mengungkapkan dua pengusaha swasta, yakni
Djunaidi Nur dan Aditya Simaputra, didakwa memberikan suap sebanyak 199
ribu dolar Singapura atau setara dengan Rp. 2,55 miliar (kurs Rp. 12.800
per dolar Singapura) terkait kasus dugaan suap dalam korupsi kerja sama
pengelolaan kawasan hutan di lingkungan PT Eksploitasi dan Industri
Hutan (Inhutani) V periode 2024-2025.
Tonny Pangaribuan menyatakan dua pengusaha tersebut memberikan suap kepada Direktur Utama PT Inhutani V Dicky Yuana Rady.
“Suap diberikan dengan maksud supaya Dicky dapat mengondisikan atau
mengatur agar PT PML tetap dapat bekerja sama dengan PT Inhutani V dalam
memanfaatkan kawasan hutan pada register 42, 44, dan 46 di wilayah
Provinsi Lampung,” ujar JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
Selasa (11/11/2025), dilansir ANTARA.
Adapun Djunaidi Nur merupakan salah satu direktur di PT PML,
sedangkan Aditya Simaputra merupakan asisten pribadi Djunaidi serta staf
perizinan di PT SBG.
Atas perbuatannya, Djunaidi dan Aditya terancam pidana yang
diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat
(1) ke-1 jo. Pasal 65 KUHP.
JPU menceritakan perkara bermula saat pada tahun 2009, PT
Inhutani V mengadakan kerja sama pengelolaan hutan tanaman dengan PT PML
atas areal hutan yang izinnya dimiliki oleh PT Inhutani V dengan PT
PML.
Pada 2014 terjadi sengketa antara PT Inhutani V dengan PT PML,
diantaranya PT PML mengajukan gugatan ke Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) yang diputus dengan memenangkan PT PML.
“Putusan BANI tersebut dibatalkan oleh PN Jakarta Pusat, lalu
putusan PN Jakarta Pusat dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA),
sehingga menguatkan putusan BANI,” ujar JPU.
Setelah adanya putusan MA, pada 1 November 2018, PT PML dan PT
Inhutani V sepakat mengakhiri sengketa serta membuat kerja sama yang
baru.
JPU menuturkan pada 6 Juni 2024 di Kota Bandar Lampung,
dilaksanakan rapat bersama PT Inhutani V dengan PT PML membahas
perpanjangan izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT
Inhutani V unit Lampung dan Perpanjangan Rencana Kerja Usaha (RKU) PBPH
PT Inhutani V unit Lampung.
“Selain itu, disepakati bahwa kerja sama tetap dilanjutkan dan PT
PML membayar ganti rugi serta denda sebagaimana putusan MA,” ungkap JPU
menambahkan.
Pada 18 Juli 2024, Dicky mengajukan surat permohonan usulan
revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH) PBPH periode
2018-2027 PT Inhutani V Unit Lampung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) yang telah mengakomodir permintaan PT PML.
Namun surat permohonan diajukan tanpa menyebutkan kondisi tanaman
dan penguasaan kawasan hutan yang sebenarnya, padahal seluruh lahan
tersebut telah dikerjasamakan dengan PT PML dan tidak diberitahukan atau
pun dilaporkan kepada Menteri LHK.
Setelah mengajukan surat permohonan usulan revisi RKUPH PBPH
tersebut, lanjut JPU, Dicky menghubungi Djunaidi dan meminta uang untuk
kepentingan pribadi Dicky.
Terhadap permintaan itu, Djunaidi menyanggupi karena berharap
agar kerja sama dengan PT Inhutani V tetap berlangsung sesuai dengan
keinginannya.
Selanjutnya pada 21 Agustus 2024, Djunaidi dan Dicky bertemu di
mana Djunaidi menyampaikan PT PML telah membayar ganti rugi dan denda
sebesar Rp4,2 miliar dan telah ditransfer ke rekening PT Inhutani V.
Dalam pertemuan, Djunaidi pun memberikan uang senilai 10 ribu
dolar Singapura kepada Dicky dalam bentuk 100 lembar pecahan 100 dolar
Singapura, sebagaimana permintaan Dicky.
Pada 23 Juli 2025, Djunaidi bertemu kembali dengan Dicky guna
membahas kerja sama tanam tebu dan Dicky memberikan lahan seluas 5 ribu
hektare dengan permintaan agar Djunaidi bersedia mengganti mobil
Mitsubishi Pajero Sport milik Dicky dengan mobil tipe Jeep atau SUV
lainnya.
“Atas permintaan Dicky tersebut, Djunaidi menyanggupi dan meminta
agar Dicky menghubungi Aditya terkait permintaan mobil tersebut,” tutur
JPU.
Setelah itu, Djunaidi meminta agar Aditya menyerahkan uang
pembayaran Jeep Rubicon kepada Dicky dalam bentuk dolar Singapura serta
meminta Aditya untuk menghitung kurs dolar Singapura sebesar 188.390
dolar Singapura, yang saat itu sebesar Rp. 12.660 per dolar Singapura.
Atas informasi tersebut, Djunaidi meminta uang dibulatkan menjadi
189 ribu dolar Singapura dan meminta agar Aditya mengambil uang itu di
rumah Djunaidi, yang dibungkus dengan koran bekas dan dimasukkan ke
dalam tas, untuk dibawa dan diserahkan kepada Dicky di Wisma Perhutani.







0 comments:
Post a Comment