Indonesia, negeri tropis yang kaya akan musim. Selain musim hujan dan
kemarau yang akhir-akhir ini seakan lupa akan jadwalnya, kini kita
punya musim baru yang tak kalah rutin: musim penilaian mandiri.
Sepanjang tahun instansi pemerintah di seluruh pelosok negeri “dipaksa”
untuk melakukan ritual tahunan yang disebut “muhasabah berjamaah.”
Sebuah proses introspeksi massal di mana pegawai yang beruntung
tergabung dalam derap langkah pasukan palugada, tenggelam dalam tumpukan
dokumen pembuktian dan layar penuh bobot dan angka.
Ketika Angka Lebih Suci dari Makna
Secara etimologis, “muhasabah” berasal dari bahasa Arab: hasaba–yuhasibu–hisaban, yang berarti menghitung, mengevaluasi, atau mengoreksi. Menukil Umar bin Al-Khattab RA: “Hasibu anfusakum qabla antuhasabu“~ Adakanlah perhitungan kepada dirimu sebelum kamu diperhitungkan kelak.
Dalam tradisi spiritual, muhasabah adalah praktik mendalam untuk
menilai diri secara jujur dan tulus—sebuah upaya kontemplatif untuk
memperbaiki diri secara berkelanjutan sebagai bekal menuju kehidupan
abadi.
Namun ketika konsep luhur ini dibawa paksa masuk ke dalam ranah birokrasi, ruhnya sering kali terlepas dari raga. Penilaian mandiri yang bertubi menjelma menjadi beban administratif yang kering makna.
Seperti hujan intensitas tinggi tak kunjung henti, pola penilaian
semacam ini awalnya menyegarkan, namun lama-lama menenggelamkan. Dan
layaknya bencana pada umumnya, banjir self-assessment menyita
energi, waktu, dan sumber daya yang besar, bahkan untuk sekedar
mempertahankan kewarasan aparatur negara yang dikorbankan.
Pemicu banjir ini dapat diatribusikan pada banyaknya instansi yang
latah berlomba mengabadikan ego sektoral dalam balutan bilangan.
Masing-masing menerbitkan kitab suci birokrasi modern yang wajib dihafal
dan diamalkan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Sebut saja: penilaian kematangan sistem, tata kelola pengadaan,
akuntabilitas, hingga transformasi birokrasi. Peraturan dan maklumat
datang menerjang lengkap dengan pasal-pasal kriteria, ayat-ayat
indikator, dan bobot penilaiannya sendiri. Tak jarang, buku tafsir
panduan lebih tebal dari realisasi pelaksanaan.
Konon, semakin tinggi skor metrik,
semakin tinggi pula derajat sebuah instansi di mata otoritas pembina.
Predikat “A” atau “Level 3” tak ubahnya gelar kesalehan birokrasi. Dan
sebagaimana layaknya ibadah, kesalehan ini harus ditunjukkan secara
rapi, lengkap, dan sesuai mazhab.
Setiap kebijakan, prosedur, laporan, hingga foto kegiatan harus
tersedia sesuai daftar uji yang termaktub dalam lampiran. Tak peduli
apakah dokumen itu benar-benar mencerminkan praktik atau hanya kosmetik.
Yang penting, bukti fisik sesuai narasi yang ingin ditampilkan ke
publik.
Misalnya, demi meraih level tinggi dalam pengendalian internal,
sebuah instansi bisa jadi lebih sibuk menyusun dokumen kebijakan,
prosedur, dan laporan risiko tanpa memastikan apakah kebijakan itu
benar-benar dipahami dan dijalankan oleh pegawai di lapangan, atau
apakah risikonya dikelola secara aktif, bukan hanya reaktif ketika ada
masalah.
Penilaian akuntabilitas pun tak luput dari pola serupa. Demi predikat
BB atau A, instansi berlomba membuat pohon kinerja yang menjulang
tinggi namun rapuh di akar substansi. Indikator dirancang rapi, terukur,
terstruktur, tapi sering tak menyentuh inti mandat, apalagi menyentuh
rakyat. Dalam dunia yang terobsesi angka, relevansi jadi korban pertama.
Begitu pula dengan metrik transformasi, di mana perhatian utama kerap
tersedot pada kelengkapan rencana aksi dan laporan aktualisasi. Atau
indeks tata kelola pengadaan, yang sering kali tak bisa dicapai tanpa
menggunakan aplikasi buatan instansi pembina, terlepas dari apakah
aplikasi itu cocok dengan kebutuhan organisasi, dan bebas dari penyakit
bawaan aplikasi jebolan proyek perubahan.
Tak heran bila para umbi andalan, yang rutin ditarik ke berbagai
“satgas muhasabah”,perlahan mulai mati rasa. Mereka hafal struktur,
paham kriteria, tahu padanan dan akronim, serta bisa membedakan narasi
berdasarkan selera pemeriksa.
Maklum, yang diminta memang mirip-mirip, tapi harus dikemas berbagai
warna sesuai preferensi masing-masing “kakak pembina”. Maka, pekerjaan
introspeksi organisasi pun bergeser menjadi seni adaptasi dan repetisi.
Repotnya, kadang kita lupa
kalau aturan buatan manusia bukan kitab suci. Bisa jadi ada yang salah
ketika menyusun operasionalisasi definisi. Contoh sederhana ketika kita
bicara tata kelola, harusnya yang diukur itu efektivitas, bukan
maturitas.
Gampangnya, tak semua yang terlihat matang benar-benar enak ketika
dimakan. Contoh yang lebih absurd, reformasi terdefinisi sebagai
perbaikan berkelanjutan, namun yang dinilai hanya akumulasi dokumentasi
serta agregasi dari 29 indeks antara, bukan bagaimana inovasi dapat mencerminkan birokrat yang bersih dan melayani.
Salah konsep cacat logika semacam ini jelas-jelas mengaburkan tujuan
dari muhasabah itu sendiri. Karena, ketika tolok ukurnya tak lagi bisa
dipercaya, bisa kita rasakan bersama bagaimana hasilnya.
Target: Dosa Riya yang Berbahaya
Masalah utama muncul ketika metrik-metrik ini bukan lagi alat ukur,
melainkan target yang harus digapai. Target yang sering kali disertai
insentif atau sanksi, mengubah niat mulia perbaikan berkelanjutan
menjadi sekadar pamer kepatuhan.
Instansi pun berlomba mempercantik laporan, fokus pada indikator yang
mudah dimanipulasi demi predikat di atas piagam penghargaan. Meskipun,
realitasnya masih jauh dari harapan.
Namun ironi paling getir justru terasa di pihak evaluator,para “imam
besar” yang memimpin jalannya muhasabah berjamaah. Apa jadinya ketika
mereka dipaksa menilai anak didiknya sendiri? Ketika keberhasilan
kebijakan yang mereka rancang akan diuji bukan berdasarkan dampak,
melainkan sejauh mana daerah mampu menyesuaikan narasi dan dokumentasi.
Di sinilah dilema bermula. Apakah
mereka akan jujur, menegakkan kriteria apa adanya meski hasilnya
mencerminkan kegagalan program sendiri? Atau akan memilih jalan aman:
melonggarkan tafsir, memberi nilai sesuai pesanan, agar semua pihak
mendapatkan “keselamatan”? Maka muhasabah pun berubah fungsi: dari alat
bantu perbaikan menjadi topeng keberhasilan. Bagaimana jika imam pun tak
lagi percaya kepada khotbah yang ia lantunkan?
Reformasi di atas kertas pun kian menjadi pemandangan lumrah. Grafik
capaian meroket, indeks membubung tinggi, tapi denyut pelayanan publik
tetap datar-datar saja. Integritas yang mestinya jadi fondasi justru
terselip di balik presentasi.
Resistensi birokrasi pun semakin menebal, seperti tembok yang dicat
berkali-kali namun retaknya tak pernah ditambal. Sementara itu,
rekomendasi hasil evaluasi, yang sejatinya bisa menjadi kompas
perubahan, teronggok sunyi dalam lembaran laporan, tanpa ada tangan yang
sungguh ingin menyibak jalur perbaikan.
Mirip lingkaran setan: target memicu formalitas, formalitas mengikis
substansi, dan substansi yang hilang tak terpantau membuat perbaikan
hakiki sulit terwujud.
Kembali ke Fitrah ~ Perbaikan Berkelanjutan
Untuk mengembalikan ruh muhasabah dalam penilaian mandiri organisasi,
kita perlu perubahan paradigma yang radikal, dari sekadar pembangunan
repositori menjadi praktik membumi.
Pertama, setiap penilaian mandiri harus dimulai dengan niat yang tulus untuk perbaikan.
Niat adalah inti dari muhasabah, sebuah fondasi batiniah yang
menentukan arah dan kejujuran proses. Tanpa niat yang lurus, penilaian
hanyalah formalitas yang kehilangan makna, ibadah yang hampa, dan
rutinitas yang tidak melahirkan apa-apa.
Dalam konteks birokrasi, niat ini kerap terdistorsi oleh berbagai
kepentingan duniawi: insentif menggiurkan, hukuman menakutkan, atau
ambisi untuk terlihat berhasil di mata atasan.
Maka, segala sesuatu yang
berpotensi mengganggu kemurnian niat, termasuk penargetan indeks dalam
kontrak kinerja atau tekanan untuk mendapatkan predikat tertentu, harus
dikaji ulang, kalau perlu dihilangkan.
Kedua, tak semua yang bisa diukur layak dijadikan ukuran.
Ketika terlalu banyak metrik dijadikan target, birokrasi justru
kehilangan arah. Energi tersedot untuk mengelola tabel, bukan
menyelesaikan masalah. Maka, perlu konsolidasi nasional untuk
menyederhanakan, menyatukan, dan memfokuskan indikator ke hal-hal yang
benar-benar bermakna.
Dengan fokus yang lebih tajam, niat baik tadi bisa lebih mudah
diterjemahkan dalam arah kebijakan dan pelaksanaan yang berdampak.
Ketiga, niat baik akan menjadi gerak nyata bila dipimpin oleh teladan.
Pimpinan instansi harus menjadi imam dalam “muhasabah berjamaah” ini. Walk the talk,
bukan sekadar omon-omon. Keteladanan ini lebih krusial lagi bagi
instansi pembina, yang selama ini menjadi arsitek dari berbagai sistem
penilaian. Jangan sampai justru terkesan jarkoni, iso ngajar, ora iso nglakoni (bisa ngajarin, ngga bisa ngelakuin).
Keempat, investasi dalam kompetensi dan integritas.
Reformasi sejati tak akan lahir tanpa peningkatan kapasitas evaluator
dan pelaksana di semua tingkatan. Evaluasi yang bermakna harus cermat,
jujur, kontekstual, dan paham betul makna di balik definisi. Tanpa
kompetensi, evaluasi hanya menjadi cermin buram,memantulkan angka, tapi
gagal menunjukkan wajah asli birokrasi.
Kelima, kita perlu alat ukur yang bebas dari cacat logika.
Evaluasi harus lebih menekankan pada dampak dan hasil nyata yang
dirasakan oleh masyarakat atau pemangku kepentingan, bukan hanya pada
kelengkapan dokumen atau rekaman aktivitas. Kesadaran ini sebenarnya
mulai tumbuh, misal terlihat dari jargon “RB berdampak”.
Sayangnya, kertas kerja muhasabah malah ditambah, bukan diubah. Ke
depan, kriteria dan pembuktian harus disederhanakan, disesuaikan dengan
tujuan perbaikan dan konteks masing-masing instansi, agar tidak menjadi
daftar uji administratif yang mudah dimanipulasi.
Keenam, muhasabah menuntut istiqomah
Atau dengan kata lain, ketekunan, komitmen, dan konsistensi. Alat
ukur paling canggih dan kekinian pun niscaya kehilangan daya jika tidak
diiringi dengan mekanisme tindak lanjut yang nyata, sistematis, dan
berkelanjutan.
Untuk itu, dibutuhkan alat bantu pelacakan substantif: memastikan
janji perbaikan benar-benar ditunaikan, bukan sekedar centang
hijau,sudah, belum, atau dalam proses perbaikan. Dan misalnya ada salah
desain hingga perubahan tidak membawa hasil yang diharapkan, maka
diperlukan keberanian untuk mengubah haluan sesuai pencerahan empiris
yang terpetakan.
Banjir indeks memang fenomena yang
tak terhindarkan dalam aliran reformasi birokrasi negeri ini. Tapi di
tengah derasnya arus itu, kita selalu punya pilihan: membiarkannya
menjadi ritual penanggulangan bencana tahunan yang melelahkan dan
kehilangan makna, atau mengubahnya menjadi hujan rahmat,yang menyuburkan
tanah kesadaran, menyemai benih-benih perubahan.
Jadikan tulisan ini sebagai panggilan bagi semua yang terlibat dalam
denyut nadi birokrasi: mari kita kembalikan ruh penilaian mandiri sesuai
dengan semangat asli muhasabah. Untuk lebih jujur melihat diri, lebih
rendah hati menerima kritik, dan lebih berani melangkah ke depan. Bukan
sekadar mengumpulkan bukti, tapi membuktikan perbaikan.
Meski perlahan, meski tidak langsung mendapat tepuk tangan.
oleh by Ditya Permana