“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (TQS. al-Nisaa’ [4]: 58)
Kekuasaan
acapkali diidentikan dengan kemudahan memperoleh fasilitas,
popularitas, harta, bahkan wanita. Akibatnya, banyak orang
mengidamkannya. Persaingan dan perebutan untuk meraih posisi itu pun
menjadi tak terelakkan. Tak sedikit yang menghalalkan segala cara,
taktik, dan strategi untuk meraih kekuasaan. Karena berangkat dari
persepsi demikian, tak aneh jika ketika kekuasaan berhasil digenggam,
kepentingan dirinya menjadi prioritas utama untuk dipenuhi. Sementara
kepentingan rakyat tak hanya terabaikan, tetapi seringkali harus
dikorbankan manakala bertabrakan dengan kepentingan penguasa.
Perilaku
buruk itu tidak perlu terjadi jika kekuasaan dipahami sebagai amanah
yang harus ditunaikan. Sebagai amanah, kekuasaan itu kelak harus
dipertanggungjawabkan di akhirat. Berkaitan dengan hal ini, firman Allah
swt. dalam QS. al-Nisa’ [4]: 58 sangat relevan untuk ditelaah.
Sekalipun ayat ini tidak spesifik ditujukan kepada penguasa, namun
mereka memikul beban amanah lebih berat daripada rakyat yang
dipimpinnya.
Menunaikan Amanah
Dalam ayat itu, Allah swt. berfirman: InnaLlâh ya’murukum an tuaddû al-amânât ilâ ahlihâ (sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,). Frasa ini ditujukan kepada seluruh mukallaf
tanpa terkecuali. Mereka diperintahkan untuk menjaga dan menunaikan
amanah. Amanah adalah semua hak orang lain yang wajib Anda tunaikan,
kata al-Biqa’i dalam tafsirnya Nazhm al-Durar.
Selain
ayat ini, perintah menunaikan amanah ini juga terdapat dalam beberapa
ayat lain, seperti QS. al-Mukminun [23]: 8 dan al-Anfal [8]: 27.
Rasulullah saw. juga bersabda, ”Sampaikanlah amanah kepada yang mempercayakan kepadamu, dan janganlah kamu berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.” (THR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi).
Amanah yang diperintahkan ayat ini meliputi semua jenis amanah. Sebab, kata al-amânât merupakan kata benda jamak yang berbentuk ma’rifah (ditandai dengan huruf al-alif wa al-lâm di depannya). Dalam bahasa Arab, bentuk kata demikian menunjukkan pengertian umum.
Fakhruddin
al-Razi dalam al-Tafsîr al-Kabîr menuturkan, jenis amanah yang wajib
ditunaikan itu menyangkut seluruh interaksi manusia, baik manusia dengan
Tuhannya, sesama hamba, maupun dirinya sendiri.
Amanah
Allah swt. adalah keseluruhan syariah yang dibebankan kepada manusia.
Menunaikan amanah Allah swt. berarti mengerjakan semua perintah-Nya dan
meninggalkan semua larangan-Nya. Sementara amanah sesama manusia
meliputi semua hak orang lain yang wajib ditunaikan. Termasuk di
dalamnya, mengembalikan barang titipan, tidak mengurangi timbangan dan
takaran, dan tidak menyebarkan aib orang lain. Amanah diri sendiri
adalah memilihkan segala sesuatu yang paling bermanfaat dan paling baik
bagi dirinya, di dunia maupun akhirat.
Adanya
sejumlah kewajiban yang harus ditunaikan oleh penguasa menunjukkan,
kekuasaan adalah amanah. Di antara kewajiban dibebankan syara’ kepada
penguasa adalah melakukan ri’âyah (pengaturan dan pelayanan) terhadap rakyat yang dipimpinnya. Rasulullah saw. bersabda, ”Dan imam atau pemimpin adalah râ’in, dan ia dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya itu.” (THR. Muslim)
Kata al-ra’y bentuk mashdar kata râ’in—pada
awalnya berarti menjaga hewan (piaraan), baik dari segi makanannya agar
hewan itu bisa bertahan hidup maupun penjagaannya agar selamat dari
serangan musuh. Dalam perkembangannya, kata ini kemudian digunakan untuk
menyatakan setiap upaya penjagaan, pemeliharaan, dan pengaturan.
Demikian penjelasan al-Ashfahani dalam Mu’jam Mufradât li Alfâdz
al-Qur’ân.
Berdasarkan
Hadits ini, adalah tugas pemimpin untuk menjaga, memelihara, mengatur,
dan melayani rakyatnya. Tentu saja ini bukan pekerjaan ringan. Belum
lagi, besarnya godaan kekuasaan untuk melakukan tindak kezhaliman,
korupsi, dan aneka lain penyalahgunaan kekuasaan. Bila tidak didukung
dengan iman yang kuat, peluang untuk terjatuh kepada kehancuran amat
besar. Maka, bagi yang tidak berkemampuan selayaknya tidak meminta
amanah itu.
Ketika Abu Dzar al-Ghifari ra. meminta Rasulullah saw. suatu jabatan, Rasulullah saw. pun memukul bahunya seraya bersabda, ”Hai
Abu Dzar kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanah, yang
di hari kiamat kelak akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi
orang yang dapat menunaikan kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya.” (THR Muslim)
Bertindak Adil
Selanjutnya Allah swt. berfirman, ”Wa idzâ hakamtum bayna al-nâs an tahkumû bi al-‘adl” (dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil).
Menurut Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin Aslam, ayat ini ditujukan kepada umara’
dan para wali. Tatkala menetapkan hukum, mereka diperintahkan untuk
bertindak adil. Tindakan adil itu bukan hanya berlaku bagi Muslim, namun
juga orang kafir yang sedang diadili. Sebab, kata al-nâs dalam frasa ini menunjukkan makna umum, meliputi seluruh manusia, baik Muslim maupun kafir.
Yang
dimaksud dengan adil adalah menetapkan keputusan hukum yang bersandar
kepada ketentuan al-Kitab dan al-Sunnah. Apabila tidak ditemukan nash
yang sharih, bisa dengan hasil ijtihad dari seorang hakim yang
mengetahui hukum Allah swt. dan yang paling dekat dengan kebenaran.
Demikian penjelasan al-Syaukani dalam tafsirnya, Fath al-Qadîr.
Penjelasan
al-Syaukani itu tepat sekali. Mengingat, hanya hukum Allah swt-lah yang
adil. Hal ini dapat disimpulkan dari perpaduan dua jenis perintah Allah
swt. Dalam ayat ini, kita diperintahkan memutuskan perkara dengan adil.
Sementara dalam ayat lainnya kita diperintahkan memutuskan perkara
hanya dengan hukum yang berasal dari-Nya (QS. al-Nisaa’ [4]: 59;
al-Maidah [5]: 48, 49; al-Nur [24]: 58). Dari dua jenis perintah itu
dapat disimpulkan, hukum yang adil hanyalah hukum syariah. Sementara
selain hukum adalah hukum batil dan tidak adil. Al-Quran menyebutnya
sebagai hukum jahiliyyah (QS. al-Maidah [5]: 5).
Allah swt. berfirman: InnaLlâh ni’immâ ya’izhukum bihi
(sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu).
Frasa ini mengingatkan kewajiban menunaikan amanah dan berlaku adil
dalam menetapkan keputusan adalah sebaik-baik perkara yang dinasihatkan
Allah swt. Bahkan bukan hanya dua perintah itu, semua perintah dan
larangan dalam syariah-Nya yang agung, sempurna, dan menyeluruh
merupakan nasihat terbaik bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Allah swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: InnaLlâh kâna samî'[an] bashîr[an]
(sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Penutup
ayat ini memberikan lecutan semangat kepada manusia untuk menjalankan
perintah-Nya.
Manusia
tidak boleh merasa aman ketika tidak menunaikan amanah. Sebab, kendati
yang berhak menerima tidak bisa mengetahui pengkhianatan itu, Allah swt.
mengetahuinya. Seorang penguasa juga tidak boleh merasa tenteram ketika
tidak menetapkan keputusan yang tidak adil. Meskipun pihak yang
dizalimi tidak mampu menuntutnya, Allah swt. mendengar dan mengetahui
ketidakadilan itu.
Nasihat untuk Penguasa
Seharusnya
setiap muslim—terutama yang menjadi penguasa—memiliki pemahaman yang
benar tentang kekuasaan. Sekalipun secara kasat mata tampak menggiurkan,
namun kekuasaan sebenarnya merupakan amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. kelak.
Siapa
pun yang mampu yang mengembannya dengan baik, dijanjikan kepadanya
pahala besar. Di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan,
salah satu dari tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan dari Allah
swt. di di hari kiamat kelak adalah imam yang adil. Yakni pemimpin yang
mampu menjalankan kewajibannya sebagaimana ditetapkan syara’.
Sebaliknya,
para pemimpin yang tidak menjalankannya dengan baik, yakni melenceng
dari ketentuan syariat Islam, mereka diancam dengan siksa yang pedih.
Kepada penguasa yang menipu rakyatnya, misalnya, Rasulullah saw.
bersabda. ”Tiada
seorang yang diamanati Allah swt. memimpin rakyat, lalu ia mati dalam
keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah telah mengharamkan baginya surga.” (Muttafaq alaih).
Jelaslah,
kekuasaan tidak hanya dapat mengantarkan kesenangan dan kebahagiaan,
namun sebaliknya juga dapat menggelincirkan seseorang kepada
kesengsaraan dan penderitaan. Anda berminat jadi penguasa? Ukur dulu
kemampuan Anda!
WaLlâh a’lam bi al-shawâb.
0 comments:
Post a Comment