Sungai Ciujung kerap tercemar limbah industri. Akibatnya, penghasilan
sejumlah nelayan di Desa Tengkurak, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten
Serang, berkurang. Sedikitnya 200 kepala keluarga menggantungkan
hidupnya dari hasil mencari ikan. Pantauan Kabar Banten, saat sampai di
sekitar aliran Sungai Ciujung tercium bau menyengat seperti air got.
Setelah didekati, tampak air tersebut berwarna hitam pekat dan berminyak
di permukaannya. Selain itu, tampak pula bangkai-bangkai ikan yang
mengambang di permukaan sungai.
Tak banyak aktivitas nelayan yang mencari ikan sore itu.
Kapal-kapalnya pun lebih banyak bersandar di pinggiran sungai. Beberapa
nelayan yang memaksa mencari ikan tampak pulang dengan wajah kecewa,
sebab penghasilan mereka jauh berkurang. Bergeser sedikit memantau ke
Kecamatan Tanara, aliran Sungai Cidurian pun kondisinya tidak jauh
berbeda.
Nelayan asal Kampung Tengkurak, Desa Tengkurak, Kecamatan Tirtayasa,
Aspari mengatakan, jika jumlah ikan di aliran Sungai Ciujung kini sudah
jauh berkurang. Bahkan bisa dikatakan sudah tidak ada ikan di sungai
tersebut. “Sudah enggak ada ikan mah sekarang di sungainya (muara).
Sudah pada mati, soalnya banyak limbah dari pabrik,” ujar Aspari saat
ditemui di lokasi, Rabu (9/8/2017).
Dia lebih memilih tidak melaut dan berkumpul bersama teman-teman
nelayan lainnya. Ia mengatakan, saat ini jika ingin mendapatkan ikan,
nelayan harus menempuh jarak yang cukup jauh ke tengah laut. Padahal
dahulu, nelayan tidak perlu sampai ke tengah laut untuk bisa mendapatkan
ikan. “Ke laut itu lumayan sekitar 3 kilometer dari kampung kami ini,”
ucapnya.
Menurutnya, dulu para nelayan bisa mendapatkan ikan puluhan kilogram.
Penghasilan bersih sekali melaut dahulu bisa mencapai Rp
200.000-300.000 setelah dikurangi solar. “Kalau sekarang paling 2-3
kilogram dapat ikannya. Kalau dijual itu palingan dapat Rp 30.000.
Turunnya drastis sekarang mah,” katanya.
Cemas penghasilannya yang terus merosot, pihaknya pun sudah
menyampaikan keluhan kepada pemerintah setempat. Bahkan sudah berulang
kali pihak pemerintah datang ke kampungnya untuk sekadar mengambil
sampel air, namun tak ada tindak lanjutnya. “Sampai sekarang airnya
tetap saja hitam. Kena limbah itu bukan baru kali ini tapi sudah puluhan
tahun, tapi akhir-akhir ini yang paling parah. Di sini ada sekitar 200
kepala keluarga, dan dominannya nelayan,” tuturnya.
Nelayan lainnya, Siman mengaku sangat terganggu dengan limbah yang
mencemari Sungai Ciujung. “Ini sudah ada seminggu mah, sampai enggak
tahu ini yang ke berapa karena sering sekali,” kata Samin.
Menurutnya, sejak limbah sering mengalir ke sungai, warga sekitar sudah tidak berani mandi di sungai. Mereka lebih memilih mandi di areal pelelangan ikan, sebab di sana ada sumur yang dibuat oleh pemerintah, meski harus antre karena jumlahnya terbatas. “Takut gatal-gatal kalau mandi di sini. Orang dicium saja sudah bau, ikan pada mati, apalagi buat mandi,” tuturnya.
Menurutnya, sejak limbah sering mengalir ke sungai, warga sekitar sudah tidak berani mandi di sungai. Mereka lebih memilih mandi di areal pelelangan ikan, sebab di sana ada sumur yang dibuat oleh pemerintah, meski harus antre karena jumlahnya terbatas. “Takut gatal-gatal kalau mandi di sini. Orang dicium saja sudah bau, ikan pada mati, apalagi buat mandi,” tuturnya.
Siman mengenang, sebelum limbah masuk ke sungai, ikan sangat mudah
ditemukan di sana. Bahkan warga pun sering menggunakan air sungainya
untuk memasak, mencuci beras, baju dan lainnya. “Dulu mah cari ikan
dapat 1 kuintal sekali melaut. Sekarang sudah enggak ada ikannya. Pada
mati, ada yang ke laut juga,” ucapnya.
Warga lainnya, Yani, menuturkan hal yang sama. Dirinya pun tak habis
pikir mengapa perusahaan-perusahaan tega membuang limbahnya ke sungai.
Padahal air sungai saat ini sedang dangkal, sehingga sudah tidak mampu
mengalirkan lagi ke laut. “Pengennya sih kaya dulu lagi, jernih dan
banyak ikannya. Sejak ada limbah, penghasilan mencari ikan juga
berkurang. Mau gimana lagi,” tuturnya.
0 comments:
Post a Comment