JAKARTA – Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy,
menyatakan perlunya penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) untuk membuat
aturan ketat terkait Undang Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
“UU 7/2017 itu berupa panduan agar KPU dan Bawaslu membuat aturan
teknis lapangan. Jadi, UU Pemilu itu mustahil mengatur teknis lapangan
untuk menjawab atau mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
saat pelaksanaan,” ujarnya mengomentari adanya pasal-pasal UU Pemilu
yang bermakna ambiguitas kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/9/2017).
Dicontohkannya, soal Mahar itu seharusnya Komisi Pemilu (KPU) &
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersama-sama menerjemahkan atau memaknai
kata-kata Mahar sesuai panduan UU 7/2017 untuk mengantisipasi politik
uang atau kemahalan Pemilu. Maharnya seorang bakal calon dalam Pemilu
Kepala Daerah atau Legislatif (Pilkada atau Pilleg) dalam meminta
dukungan kepada partai politik. Juga, Balon dibebankan partai politik
untuk mengongkosi “saksi” saat penghitungan suara.
“Kalau perlu, bahkan, KPU-Bawaslu meniadakan saksi dari parpol dan
menggantikannya dengan saksi independen dari KPU-Bawaslu yang berada di
lingkungan dalam area penghitungan suara. Sedangkan saksi Parpol di luar
area penghitungan suara,” ujar mantan Menteri Desa & Daerah
Tertinggal era Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu.
Diakuinya, peraturan yang dibuat KPU bersama Bawaslu masih mengurusi
hal yang remeh temeh alias mencari aman. Seperti mengantisipasi
kata-kata politik uang & mahar maka seorang balon atau kandidat
hanya diperboleh memberi nasi bungkus atau ongkos bensin terbatas bagi
pendukungnya.
“Padahal itu tidak perlu dan urgen. Atau, memang hal itu dibuat untuk
menciptakan peluang main yang lain?” ujarnya seraya mengangkat bahu.
0 comments:
Post a Comment