JAKARTA — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo
menegaskan bahwa KPK tidak pernah asal menyadap. Ia mengatakan, ada
mekanisme berjenjang yang harus dilakukan sebelum melakukan menyadap.
Bahkan, KPK tak langsung menyadap pihak yang dilaporkan.
“Kalau kami terima laporan kami langsung menyadap ? Itu tidak. Kemudian mengidentifikasi apakah yang dilaporkan benar,” kata Agus dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/9).
Terlebih, kata dia, sumber daya penyadapan yang dimiliki KPK terbatas. Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), proses penyadapan KPK selalu diaudit oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Ia juga mempersilakan DPR memeriksa audit proses penyadapan KPK
kepada Kementerian Kominfo.” Silahkan bila DPR ingin memeriksa hasil
audit proses penyadapan KPK, kami dengan senang hati membukanya,” tegas
Agus.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif. Ia menyatakan, mesin sadap KPK hanya bisa menyadap selama 30 hari dan berhenti secara otomatis.
“Mesin distel 30 hari. Setelah itu tak tersadap. Kalau ada laporan lagi, baru dijalankan lagi. Kalau pengen tahu tata caranya, teman di belakang bisa memperlihatkan itu. Jangan ada ketakutan bapak-bapak disadap, endak sama sekali,” lanjut Laode.
Dalam RPDU itu, Komisi III DPR masih mempermasalahkan kewenanangan penyadapan yang dimiliki KPK. Padahal, permasalahan itu sudah ditanyakan berulang-ulang seperti dalam rapat pada Rabu (13/9) lalu.
Tetapi hal itu kembali dipertanyakan dalam Rapat Komisi III dengan pimpinan KPK, Selasa.
Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman selaku pimpinan rapat menyatakan, ada orang yang sudah disadap meski status hukumnya belum jelas. “Seseorang belum jelas statusnya apakah tingkat penyidikan atau penyelidikan tapi dia sudah jadi target penyadapan,” kata Benny. rag/P-4
0 comments:
Post a Comment