Ini cuma buat bahan renungan aja sih. Gak usah dimasukin ke hati.
Apalagi ke otak. Kalo nonton TV, terus ngikutin seminar. Di sekitar
kita, banyak orang yang pandai bicara. Kadang kita salut pada apa yang
dibicarakannya. Apalagi ditambah retorika, gaya ngomongnya. Woww luar
biasa, makin salut lagi. Ya, itulah yang disebut “pandai bicara
”.Pandai bicara sama artinya dengan jago ngomong. Kita cuma khawatir lagi,
kalo orang yang pandai bicara ternyata tidak pandai berbuat. Ngomong
dimana-mana, di muka umum, bilang “harusnya gini”, “semestinya ini”.
Padahal, dia sendiri gak pernah melakukannya? Terus, siapa yang bisa
buktikan “yang diomongin” sama persis dengan “yang diperbuat”?
Lihat saja, di negeri ini. Berapa banyak masalah yang terlalu mudah
diperdebatkan. Didiskusikan di depan publik. Disorot media. Dipakein
mic, tiap ditanya dijawab. Hebat, pandai bicara banget. Seakan, semuanya
beres dengan dibicarakan, diomongin. Ketika seseorang mau atau
dinyatakan tersangka, masih aja diperdebatkan.
Alasan nyari 2 alat
bukti. Sungguh, negeri ini sudah terjebak pada retorika belaka. Lalu,
akal sehat dan hati nurani diabaikan. Parahnya setiap kali diskusi akan mensejahterakan Masyarakat ternyata masih banyak yang kurang makan ...? dan anehnya hanya juga dianggap
angin lalu. Kalo sudah nyata benar atau salahnya, pakai dong ukuran
moral, ukuran hati nurani. Gak usah berdebat, gak usah pandai bicara.
Seolah yang salah bisa jadi benar atau sebaliknya. Belajar dimana sih
pada?
Pandai bicara lagi. Negeri ini, kita jangan-jangan sudah terperangkap
pada kebiasaan berdebat. Sudah jelas salah masih didiskusikan. Nontonin
orang-orang yang hanya pandai bicara. Lalu, kita berteriak ini benar dan
itu salah. Saya benar kamu salah. Setelah itu apa? Kita biarkan
berlalu, tanpa perbuatan. Kalo salah ya tangkap, kalo benar ya bebaskan.
Gitu aja kok repot.
Giliran orang miskin salah, langsung disidang dan mendekap di
tahanan. Sementara orang kaya masih dicari dalilnya, belum ada alat
bukti. Kita ini terlalu banyak bicara. Kita ngomong takut melanggar HAM.
Tapi berani menghukum orang kecil yang gak jelas salahnya.
Terus,
kalo masih ada anak-anak di kampung yang gak mau sekolah dan ada Jembatan Rusak kaya tali jemuran siapa yang salah dan ada orang
tuanya gak punya uang, melanggar HAM gak? Lihat tuh, banyak Puskesmas
udah dibangun kemarin, sekarang berhenti dan gak selesai-selesai. Apa
itu tidak melanggar HAM? Ngomong aja pada.Kita bela rame-rame kedaulatan negeri ini saat dilecehkkan bangsa lain.
Tapi kita sendiri melemahkannya. Kita selalu berikrar dengan sombongnya,
SATU bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Tapi kita juga senang
tercerai-berai gara-gara beda pendapat, beda idole pemimpin. Lagi-lagi,
pandai bicara ….
Pandai bicara itu bagus, jika diikuti dengan perbuatan. Apa yang diomong
harus sama dengan yang diperbuat. Jangan jadi orang yang pandai bicara,
tapi sedikit mendengar. Bicara menunjukkan kesalahan orang lain, tapi
gak bisa menyadari kesalahan diri sendiri. Salah dan benar, akhirnya cuma retorika. Ilmu dari mana kayak gitu ?
Pandai bicara. Mahir dalam menangkis pertanyaan. Memang itu anugerah
yang patut disyukuri. Tapi bukan jaminan adanya kebaikan, kebenaran,
bahkan kejujuran. Seperti kata hadits, "Yang paling aku takuti atas kamu
sesudah aku tiada adalah orang munafik yang pandai bersilat lidah."
Mari kita renungkan
Saya juga ngeri, jangan-jangan tulisan ini juga cuma pandai bicara.
Merasa sok jago bertutur kata. Tapi setidaknya, saya sudah mengingatkan
diri saya sendiri. Alias sadar. Minimal sudah berbuat dengan
menuliskannya. Agar tidak hanya pandai bicara. Karena, banyak orang yang hanya pandai bicara. Tapi prakteknya NOL BESAR.
#BelajarBeraniBenar
0 comments:
Post a Comment