
JAKARTA-Jikalau diadakan survei
sederhana pilih roti dengan jenis dan rasa yang sama. Diminta untuk
membayar atau pilih gratis, maka hampir dapat dipastikan bahwa mayoritas
responden akan memilih gratis. Jikalau ada yang gratis, kenapa mesti
ambil yang bayar paling tidak begitu anggapan sebagian besar responden.
Gambaran umum masyarakat juga menunjukkan gejala serupa, di mana ada
produk gratis, dapat dipastikan akan ramai diperebutkan. Baru diskon
saja masyarakat tidak henti berbelanja, seperti gejala Idul Fitri yang
baru terlalui. Gejala suka produk gratis ternyata tidak seluruhnya
berlaku bagi produk yang bernama pendidikan. Pemberlakuan pendidikan
dasar gratis melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah mampu
meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu.
Yang
sebelumnya tidak sekolah dengan adanya sekolah gratis telah dapat
sekolah. Meskipun banyak juga kendala untuk bisa sekolah, tidak hanya
kendala biaya, tapi juga akses menuju sekolah, kendala biaya di luar
tanggungan BOS, maupun berbagai faktor lain. Tetapi kita sepakat
berlakunya BOS menigkatkan jumlah anak yang mengenyam pendidikan.
Uniknya
dalam kasus pendidikan, akhir-akhir ini mengejala pendidikan swasta,
dua di antaranya yang terus berkembang adalah Sekolah Islam Terpadu
(SIT) sekolah boarding school yang memadukan pengetahuan dengan
keagamaan, juga sekolah berbasis alam. Sekolah Alam. Dua sekolah ini
termasuk sekolah swasta yang banyak diminati oleh orang tua siswa,
padahal tidak sedikit biaya yang diperlukan untuk dapat masuk ke
sekolah-sekolah tersebut. Nyatanya
SIT dan Sekolah Alam juga tidak
pernah kehabisan murid, malah kekurangan lokal dan terus menambah kelas
dan makin merambah berbagai daerah di Indonesia. Gejala ini patut
menjadi perhatian, muncul kalangan yang bersedia membayar mahal yang
walaupun telah tersedia pendidikan gratis.Sebabnya tidak lain tidak bukan tentu masalah kualitas pendidikan gratis
itu sendiri.
Di antara ribuan sekolah gratis tentu ada sekolah yang
memiliki kualitas tidak kalah dengan sekolah swasta berbayar tersebut
hanya jumlah belum maksimal. Sehingga memungkinkan sekolah berbayar
dapat berkembang cepat ke daerah-daerah. Gejala ini hendaknya dapat
menjadi sebagai cerminan untuk memacu kualitas pendidikan gratis,
privatisasi bidan pendidikan boleh saja dilarang, tapi nyatanya sekolah
berbayar tetap juga jalan. Peningkatan kualitas sekolah tak urung juga
menyangkut peningkatan kualitas tenaga pendidik dalam lingkup sekolah.
Kualitas guru adalah kualitas cerminan pendidikan. Adalah keliru apabila
kemudian kualitas guru, disandarkan pada cukupnya fasilitas. Prestasi
sekolah tidak ditentukan dengan megahnya gedung sekolah, akan tetapi
pelaku dalam institusi sekolah itulah yang menentukan. Dan pelaku utama
dalam sekolah adalah guru. Guru adalah penentu hitam dan putih wajah
kualitas pendidikan. Selama guru masih bersedia mengembangkan kualitas
diri, maka kendala fasilitas dapat dielakkan. Fasilitas hanyalah
penunjang bukan kebutuhan utama dalam dunia pendidikan. Disaat sekolah
gratis menuntut pembangunan gedung dan fasilitas penunjang.
Sekolah alam
justru belajar dari lingkungan sekitarnya. Percuma jikalau gedung telah
megah, tapi guru masih juga enggan berubah. Bisa jadi sekolah gratis
kian sepi, sekolah swasta berbayar kian diminati. Karena pendidikan
bukan soal roti. Tapi soal masa depan generasi.
0 comments:
Post a Comment