![]() |
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng (tengah) menilai para elit politiklah penyebab perpecahan |
JAKARTA – Perpecahan masyarakat saat pelaksanaan dan
pasca pemilu langsung, baik Pilkada maupun Pilpres bukan disebabkan
karena sistem pemilihan. Polarisasi di masyarakat diciptakan oleh elit
politik yang sengaja memakai isu identitas dalam memenangkan pasangan
calon yang diusungnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah,
Robert Endi Jaweng menilai para elit politik belum dewasa dalam
berpolitik sehingga mengedepankan isu personal dibandingkan dengan isu
berbasis kinerja.
“Kalau elit tidak menggiring isu-isu yang memecah belah saya pikir
rakyat tidak akan terbelah. Memang fakta, iya hari ini pasca pilkada,
kita melihat pembelahan seperti itu,” ujarnya dalam sebuah diskusi di
kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/10/2018).
“Tapi siapa yang menyebabkan itu? Kalau elit kita dewasa matang, yang
dipakai adalah alasan rasional, kinerja dan sebagainya, bukan alasan
personal dan primordial saya kira publik akan redam juga,” imbuhnya.
Robert menerangkan sistem pemilu langsung adalah bentuk kedaulatan
rakyat untuk dapat memilih secara langsung pemimpinnya, berbeda ketika
kepala daerah dipilih oleh DPRD. Terkait tingginya biaya pilkada, baik
yang ditanggung pemerintah maupun peserta pemilu langsung, Robert
memandang bukan alasan agar sistem pemilihan kepala daerah dikembalikan
ke legislatif.
“Kalau bicara demokrasi itu bicara apa kata rakyat. Dan pilkada untuk
kita melihat apa kata rakyat. Diatas pertimbangan efisiensi isu-isu
Memang bukan harga mati tapi ketetapan untuk memilih pilkada karena
penghargaan s-setinggi-tingginya untuk rakyat. Kalau kemudian banyak
ongkos yang hrus dikeluarkan, ongkos sosial, dan sebagainya ini adalah
bagian dari pembelajaran,” tandasnya.
0 comments:
Post a Comment