JAKARTA - Meskipun telah menembus level terendah sejak krisis 1998,
pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS dinilai masih akan berlanjut
hingga akhir tahun ini. Faktor utama yang menekan pergerakan rupiah
adalah tren menguatnya harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak
mengakibatkan ancaman langsung bagi Indonesia yang mengimpor minyak
mentah dan bahan bakar minyak (BBM) sekitar 775 ribu barel sehari.
Permintaan BBM diperkirakan tidak menurun mengingat tidak terjadi
penyesuaian harga BBM yang diatur pemerintah. Akibatnya, defisit
perdagangan akan meningkat sehingga turut menekan nilai tukar rupiah.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengemukakan harga minyak mentah
diprediksi akan melanjutkan rally meski sempat turun tipis untuk jenis
Brent.
Boikot Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terhadap minyak
Iran membuat berkurangnya pasokan minyak dunia, sehingga memicu harga
menembus 85 dollar AS per barrel atau melonjak 28 persen secara tahun
kalender. Menguatnya harga minyak, lanjut dia, membuat defisit minyak
dan gas (migas) Indonesia melebar dan pada akhirnya memperburuk defisit
transaksi berjalan.
“Makanya, faktor utama pelemahan kurs rupiah hingga akhir tahun
adalah kenaikan harga minyak mentah dan tingginya volume impor khususnya
menyambut perayaan musiman yakni Natal dan Tahun Baru, di mana
penggunaan transportasi meningkat,” papar Bhima, di Jakarta, Minggu
(7/10). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor migas
pada Agustus 2018 mencapai 1,6 miliar dollar AS.
Nilai tersebut merupakan yang tertinggi selama 13 bulan terakhir.
Akibatnya, defisit migas Agustus melebar hingga mencapai 8,3 miliar
dollar AS atau naik tiga miliar dollar AS dibandingkan posisi yang sama
tahun lalu. Sedangkan dari faktor domestik, menurut Bhima, pelaku pasar
menunggu rilis data neraca perdagangan bulan September 2018 sekitar
tanggal 16 Oktober mendatang.
Selain itu, kebijakan pemerintah juga dinilai belum berdampak pada
penurunan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
Salah satunya kebijakan Biodisel 20 atau B20. “Bahkan diakhir 2018, CAD
bakal tembus tiga persen dari PDB (produk domestik bruto) jadi salah
satu yang terburuk di dunia.
Turki dan Argentina krisis salah satunya karena CAD yang melebar,”
imbuh dia. Bhima memperkirakan nilai tukar rupiah akan kembali
bergejolak dalam sesi perdagangan pekan ini di kisaran 15.110-15.240
rupiah per dollar (AS). Pelemahan rupiah terjadi secara konsisten sampai
akhir September, kendati Bank Inonesia (BI) telah menaikkan bunga acuan
dan intervensi cadangan devisa.
Akhir pekan lalu, kurs rupiah ditutup pada 15.183 rupiah per dollar
AS. Dari faktor global, tekanan terhadap rupiah juga dipengaruhi oleh
imbal hasil (yield) USTreasury 10 tahun atau surat utang pemerintah AS
yang telah mencapai 3,23 persen. Hal ini menandakan ekspektasi pelaku
pasar terhadap ekonomi dunia dalam jangka panjang cenderung memburuk.
“Makanya, investor memburu instrumen utang AS sebagai flight to quality
atau mencari aset investasi yang dinilai aman, yakni dollar AS,” jelas
Bhima.
Pemburukan Struktural
Terkait cadangan devisa, BI pekan lalu mengumumkan cadangan devisa
per akhir September 2018 sebesar 114,8 miliar dollar AS, merosot 3,08
miliar dollar AS dibandingkan sebulan sebelumnya sebesar 117,9 miliar
dollar AS.
Ekonom senior, Faisal Basri, mengemukakan penurunan cadangan devisa
sudah berlangsung selama delapan bulan berturut-turut tanpa jeda sejak
Februari 2018, dari aras tertinggi pada Januari 2018 sebesar 132 miliar
dollar AS. “Sejauh observasi penulis, ini adalah penurunan
berturut-turut terlama. Kinerja eksternal Indonesia yang terus memburuk
sedemikian lama mencerminkan pemburukan strutural yang membutuhkan
penanganan saksama,” papar Faisal di blog-nya, akhir pekan lalu.
Dia mengingatkan kondisi ini tidak boleh dipandang sebelah mata,
sekalipun BI menilai cadangan devisa sebesar 114,8 miliar dollar AS pada
akhir September 2018 masih cukup tinggi. Sejauh ini, menurut Faisal,
pemerintah lebih mengedepankan pengendalian impor untuk memperbaiki
transaksi perdagangan luar negeri.
“Kita mendukung upaya ini jika menyasar ke pembasmian pemburuan
rente. Di luar itu, tampaknya cara ini bakal kurang efektif dan
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Jauh lebih ampuh dengan
menggenjot ekspor,” tukas dia.
0 comments:
Post a Comment