Monday 1 October 2018

Indonesia Minim Sistem Canggih Pendeteksi Tsunami


JAKARTA-Gempa besar bermagnitude 7,5 SR mengguncang wilayah Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat, 28 September 2018 pukul 17.02 WIB. Merujuk pada rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pusat gempa berada di 26 kilometer utara Donggala, pada kedalaman 11 kilometer.

Gempa tersebut menyebabkan tsunami di beberapa wilayah di Palu dan Donggala, yang mengakibatkan hilangnya ratusan nyawa. Infrastruktur rusak, komunikasi lumpuh, dan padamnya aliran listrik menjadi paket lengkap situasi pasca bencana di Palu dan Donggala.

Sejumlah ahli dari ITB, LIPI, dan BPPT melakukan analisis terhadap penyebab tsunami yang menerjang Jumat sore itu. Menurut mereka, di bagian Teluk Palu, ada longsoran sedimen dasar laut di kedalaman 200-300 meter.

Sedimen dari sungai-sungai yang bermuara di teluk tersebut, belum berkonsolidasi kuat sehingga runtuh/longsor saat gempa, kemudian memicu tsunami. Indikasi yang menguatkan teori ini adalah naik turunnya gelombang dan air keruh.

Ahli dari luar negeri juga tak ketinggalan menyoroti tsunami yang menghancurkan Palu dan Donggala. Dilaporkan New York Times, 1 Oktober 2018, para ilmuwan dunia bahkan terkejut pada ukuran gelombang tsunami.   Kami menilai bisa saja terjadi tsunami, tapi tak sebesar itu," kata Jason Patton, ahli geofisika dari perusahaan konsultan Temblor, yang mengajar di Humboldt State University di California, dikutip dari New York Times, Senin, 1 Oktober 2018.

Patton menambahkan, “Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kami justru menemukan hal-hal yang belum pernah kami amati sebelumnya.”

Tingginya jumlah korban jiwa, dikatakan para ahli, mencerminkan kurangnya sistem canggih di Indonesia untuk deteksi dini dan peringatan tsunami.

Sementara itu, Kepala Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Tsunami BMKG,
Daryono membenarkan, banyaknya korban jiwa akibat tsunami disebabkan oleh ketiadaan alat deteksi yang memadai.

“Nah, kalau saja BMKG punya alat pemantau tsunami di Teluk Palu, maka kejadian itu akan kita ketahui sehingga kita akan akhiri peringatan dini sampai sekitar 1 jam atau 2 jam,” katanya.

Seperti diwartakan sebelumnya, tak lama setelah gempa yang berlangsung pukul 17.02, BMKG mengeluarkan peringatan dini tsunami pada pukul 17.07.  Kemudian, tsunami tiba di Teluk Palu pukul 17.22 dengan ketinggian sekitar 53 centimeter. Karena BMKG tidak memiliki monitoring tsunami di Teluk Palu, maka pihaknya mencari referensi untuk mengonfirmasi keadaan muka laut, yang terletak di Mamuju.

“Ternyata di Mamuju pada pukul 17.27, mencatat ada tsunami setinggi 6 cm. Operator kita menilai tsunaminya cuma 6 cm, sehingga itu berarti tidak signifikan,” kata Daryono.

Sampai pukul 17.36, BMKG masih terus memantau situasi. Sebelum akhirnya mengakhiri peringatan dini pada 17.37. Namun, tak disangka, usai mengakhiri peringatan dini itu, air bah dari samudera menerjang daratan dengan ketinggian 6 meter dan menyebabkan meninggalnya ratusan nyawa.

Meski begitu, BMKG mengklaim pihaknya telah berhasil menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. “Tugas BMKG adalah memberi informasi, dalam konteks ini sudah berhasil. Kita disebut gagal apabila tidak mampu mengeluarkan peringatan dini tsunami,” kata Daryono.

Daryono menegaskan, diakhirinya peringatan dini tsunami sekitar 30 menit pasca diumumkan, karena menilai gelombang tsunami yang menimpa daratan tidak signifikan. Tujuannya, agar bantuan dan suplai logistik bisa segera masuk ke Palu. Hal tersebut merupakan standar operasional prosedur yang harus dilakukan.

No comments:

Post a Comment