SERANG – Di hari peringatan anti korupsi sedunia, yang jatuh pada 9
Desember, pengamat kebijakan publik Ikhsan Ahmad menilai, Provinsi
Banten belum bebas dari perilaku tindak pidana korupsi. Bahkan, aksi
tersebut kian massif hingga lingkungan pemerintahan terkecil.
Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) ini menilai,
lemahnya pengawasan menjadi salah satu pintu maraknya aksi korupsi.
Oleh karena itu, Pemprov Banten harus bisa melakukan pengawasan secara optimal guna mencegah tindakan tersebut.
Aksi korupsi di Banten, yang tidak lagi menjadi rahasia umum ada pada
pemotongan bantuan sosial (Bansos), meskipun dibalut dengan keikhlasan
dari masyarakat penerima sebagai pengganti uang bensin.
Namun, secara aturan hal itu tidak dibenarkan, dan masuk dalam kategori tindak kriminalitas.
Sedangkan, aksi korupsi skala besar yang biasa dilakukan pejabat
pemerintahan ada pada pembagian jatah pembangunan sarana dan prasarana
infrastruktur.
Dalam kegiatan itu, selalu ada fee proyek antara 20 sampai 30 persen.
Hal itu tentu berdampak terhadap kualitas pembangunan yang tidak bisa
bertahan lama.
Sedangkan aksi korupsi yang halus, terjadi dalam pengambilan
kebijakan, dimana setiap keputusan atau kebijakan yang diberlakukan,
selalu diselipkan uang pelicin yang biasanya dilakukan oleh pemilik
modal. Belum jenis atau praktik korupsi lainnya.
Sekelumit contoh itu, menjadi gambaran belum selesainya Provinsi
Banten dengan persoalan korupsi. Anehnya, tindakan yang bisa dilihat
dengan mata itu justru aman dan seolah tidak tersentuh oleh hukum.
Meskipun, banyak aduan dan laporan disampaikan oleh masyarakat atau
organisasi kemasyarakatan.
Ikhsan menilai, Pemprov Banten harus bisa mengambil tindakan tegas
guna mencegah aksi korupsi terjadi di lingkungan pemerintahan. Paling
tidak, ada upaya pencegahan agar uang negara tidak masuk kekantong
segelintir orang atau golongan, melainkan bisa dimanfaatkan untuk
kemaslahatan masyarakat.
“Korupsi di Banten, seperti halnya di banyak daerah lain, masih
menjadi tantangan besar. Meski ada upaya untuk menanggulangi, seperti
penguatan sistem pengawasan dan transparansi, korupsi tetap terjadi di
berbagai sektor pemerintahan,” katanya, Selasa (9/12/2025).
Ikhsan menilai, meski Banten belum sepenuhnya bebas dari praktik
tersebut, meskipun sudah ada beberapa perbaikan dalam hal penegakan
hukum. Seperti, mulai adanya transparansi pengelolaan anggaran oleh
Pemprov Banten.
“Tolok ukur yang bisa digunakan untuk menilai kemajuan adalah tingkat
transparansi dalam anggaran daerah, frekuensi kasus yang diungkap oleh
aparat penegak hukum, serta partisipasi masyarakat dalam mengawasi
penggunaan dana publik,” tambahnya.
Dia menilai, ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya tindakan
korupsi di Pemprov Banten. Selain dari kekuasan kebijakan dan
penganggaran, adanya kelonggaran pengawasan mejadi persoalan krusial
yang harus segera dibenahi.
“Potensi terjadinya korupsi di Banten bisa muncul dari berbagai
sumber, salah satunya adalah kebijakan yang tidak transparan atau
penganggaran yang tidak akuntabel,” ujarnya.
“Misalnya, perencanaan dan pelaksanaan anggaran yang rentan terhadap
penyalahgunaan, baik itu dalam proyek-proyek infrastruktur maupun
distribusi bantuan sosial,” timpalnya.
Selain itu, kata dia, selama ini terjadi pembiaran atas sedikit celah
dalam regulasi di semua instansi pemerintahan di Banten. Hal itu, kata
dia, dimanfaatkan oleh pegawai atau oknum tidak berkepentingan untuk
mengeruk keuangan daerah.
“Keberadaan regulasi yang lemah atau tidak jelas juga membuka celah
bagi praktik korupsi. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan mekanisme
pengawasan internal dan eksternal untuk meminimalisir potensi tersebut,”
ungkapnya.
Ikhsan mengatakan, sejauh ini Pemprov Banten terus berbenah untuk
mengatasi persoalan korupsi, meskipun belum sepenuhnya berjalan. Oleh
karena itu, dia menyarankan agar Gubernur Banten segera mengoptimalkan
pembenahan.
“Terkait keseriusan Pemprov Banten dalam menangani korupsi, meski
sudah ada beberapa upaya yang patut diapresiasi, seperti peningkatan
koordinasi dengan aparat penegak hukum dan penerapan sistem e-budgeting,
namun masih banyak yang perlu dilakukan,” tuturnya.
Ikhsan mengatakan, semua sektor dilingkungan pemerintahan berpotensi
besar melakukan tindakan korupsi, baik eksekutif maupun legislatif.
Besarnya alokasi anggaran menjadi daya tarik tersendiri untuk memperkaya
diri maupun golongan atau kelompok.
“Tidak hanya eksekutif, legislatif dan sektor lain juga memiliki
potensi yang besar untuk melakukan korupsi, tergantung pada mekanisme
kontrol yang ada,” tandasnya.
“Dalam hal ini, peran APH sangat penting, tetapi kita tidak bisa
menutup mata bahwa kadang-kadang ada ketidaksesuaian antara kebijakan
dan praktik penegakan hukum di lapangan, yang seringkali memperlambat
penindakan,” sambungnya.
Menurut Ikhsan, salah satu hal baik yang bisa dilakukan Pemprov
Banten dalam mengatasi persoalan korupsi, yaitu dengan menjaga
konsistensi dalam melakukan pengawasan terhadap regulasi keuangan dan
kebijakan.
“Pemerintah perlu lebih berani mengatasi masalah ini dengan lebih
konsisten dan tidak terbentur oleh kebijakan-kebijakan yang justru
melemahkan upaya pemberantasan
Ditempat berbeda, Pemprov Banten melakukan kerja sama dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai upaya pencegahan. Penandatangan nota
kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) itu dilakukan oleh
Sekretaris Daerah (Sekda) Pemrpov Banten Deden Apriandhi Hartawan.
Kerja sama ini berfokus pada pelaksanaan percontohan pembelajaran
elektronik atau e-learning bagi Aparatur Sipil Negara (ASN)
berintegritas.
Sekda Pemprov Banten Deden Apriandhi Hartawan menegaskan, kerja sama
yang dilakukan Pemprov Banten merupakan bukti keseriusan pemerintah
dalam membangun budaya birokrasi yang bersih.
“ASN harus terus meningkatkan kapasitas, disiplin, dan integritas
agar pelayanan publik semakin bersih dan profesional,” cetusnya.Penguatan integritas ASN sangat krusial untuk mewujudkan visi
pembangunan Gubernur Banten Andra Soni, dan Wakil Gubernur Achmad
Dimyati Natakusumah yang bertajuk Banten Maju, Adil Merata, Tidak
Korupsi,” tutupnya