SERANG KONTAK BANTEN Ombudsman RI Perwakilan Banten menyoroti tingginya risiko bencana lingkungan akibat aktivitas pertambangan ilegal yang masih marak di sejumlah wilayah Provinsi Banten. Aktivitas tersebut dinilai meninggalkan kerusakan lingkungan serius dan berpotensi mengancam keselamatan masyarakat sekitar.
Ombudsman mengaku menerima laporan terkait bekas galian tambang yang ditinggalkan tanpa pengamanan memadai. Bahkan, di sejumlah lokasi bekas galian tersebut membentuk danau dengan kedalaman tertentu yang disebut telah menelan korban jiwa.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Banten, Fadli Afriadi, mengatakan persoalan tambang ilegal akan menjadi salah satu fokus pengawasan lembaganya pada tahun 2026 mendatang.
“Tahun ini kami menerima satu laporan terkait bekas galian tambang. Kami turun langsung ke lokasi, bekasnya memang sudah ada dan sebagian ditutup. Namun karena aktivitasnya ilegal, menjadi pertanyaan besar: siapa yang bertanggung jawab?” ujar Fadli, Jumat (19/12/2025).
Menurut Fadli, perbedaan mendasar antara tambang legal dan ilegal terletak pada kewajiban reklamasi. Tambang yang berizin masih memiliki tanggung jawab untuk memulihkan kondisi lingkungan pasca-operasi, sementara tambang ilegal justru meninggalkan kerusakan tanpa ada upaya pemulihan sama sekali.
Selain bekas galian, Ombudsman juga menyoroti aktivitas pemapasan bukit dan tebing yang menyisakan permukiman warga di sekitarnya. Kondisi tersebut dinilai sangat berisiko memicu longsor, terlebih di tengah perubahan iklim dan meningkatnya intensitas curah hujan ekstrem.
“Itu baru satu titik yang kami pantau. Kami belum mengecek secara menyeluruh berapa banyak titik di Banten yang kondisinya serupa,” katanya.
Ia menegaskan, berbagai bencana yang terjadi di daerah lain seharusnya menjadi pelajaran penting. Salah satunya banjir bandang yang pernah menelan ratusan korban jiwa di wilayah pagar laut.
Ombudsman menilai pengelolaan pertambangan harus menempatkan negara sebagai pihak yang aktif dalam mitigasi risiko lingkungan. Pemerintah, kata Fadli, tidak bisa lepas tangan hanya dengan alasan aktivitas pertambangan tersebut ilegal.
“Pelajaran dari berbagai bencana itu jelas, mau tidak mau pemerintah harus aktif. Tidak bisa hanya mengatakan ini ilegal lalu pelakunya tidak ada. Dampak ke masyarakat tidak bisa ditampik,” tegasnya.
Untuk itu, Ombudsman mendorong pemerintah melakukan pemetaan wilayah pertambangan ilegal guna menentukan prioritas penanganan. Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dengan catatan harus melalui kajian lingkungan yang ketat.
“Kalau memang berbahaya, jangan dilakukan. Tapi jika risikonya bisa dikendalikan, silakan berjalan selama semua persyaratan terpenuhi,” pungkas Fadli.




































