![]() |
Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” (Al-Baqarah |
MERENUNGI bencana tsunami yang pernah
terjadi di Aceh, marilah kita maknai dan ambil iktibar bencana itu
sebagai teguran agar kita kembali ke jalan Islam. Aqidah Islam
mengajarkan kita bahwa suatu bencana yang terjadi tidaklah berlangsung
tanpa sebab. Begitu juga dengan bencana Tsunami yang terjadi di Lampung dan Anyar Banten. Ada akibat pasti ada sebabnya.
Pasti ada ulah manusia sebagai
pengundang bencana. Ini dibuktikan dengan banyaknya ayat-ayat dalam
Alquran yang menjelaskan adanya korelasi antara terjadinya bencana
dengan pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan oleh manusia. Inilah
kebenaran yang seringkali diingkari oleh kebanyakan manusia.
Satu
bencana kadangkala juga dimaksudkan sebagai ujian bagi iman kita. Jika
kita adalah orang-orang yang beriman, yang menjalan syariat Allah Swt
dan menjauhi laranganNya, maka jalan terbaik untuk menghadapinya suatu
bencana atau musibah adalah dengan sabar. Allah Swt berfirman: “Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan)
sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” (Al-Baqarah: 214).Nabi Muhammad saw dalam satu hadis juga bersabda: “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Dia timpakan bencana kepada-Nya.” (HR. Al-Bukhari).
Pertanyaan kemudian, ketika kita telah menganggap sebuah bencana, termasuk tsunami yang pernah terjadi di Aceh memiliki korelasi dengan pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan oleh manusia, lalu bagaimana dengan kajian akademik atau ilmu pengetahuan modern yang meninjau sebab terjadinya suatu bencana dengan ukuran empirik?
Banyak manusia yang mempertentangkan korelasi terjadinya bencana dengan pengingkaran-pengingkaran terhadap aturan Allah Swt yang dilakukan manusia. Padahal, sebagai seorang Muslim seharusnya kita menempatkan kebenaran religi di atas kebenaran empirisme. Guru saya, Prof Al Yasa’ Abubakar dalam suatu pertemuan perkuliahan membuka jalan pikiran saya. Menurut beliau (2010), kebenaran dalam ilmu metodelogi kajian Islam dibagi ke dalam empat jenis kebenaran, yakni: kebenaran religi (akidah), kebenaran logik (logika), kebenaran etik (etika/moral), dan kebenaran empirik (data/fakta).
Saat kita melihat suatu bencana yang terjadi lewat kajian empirik (kebenaran jenis pertama), bukan berarti saat itu kita harus memungkiri kebenaran religi (kebenaran jenis keempat). Sehingga analisa sebab-sebab terjadinya bencana secara empirik tidak perlu dipertentangkan dengan sebab terjadinya bencana dalam analisa religi. Maksudnya, terjadinya suatu bencana yang disebabkan faktor alam misalnya, memang bisa dibenarkan secara empirik, namun sebagai Muslim, kita harus yakin bahwa kebenaran yang lebih tinggi tetaplah dengan memakai perspektif akidah Islam(kebenaran religi).
Kisah kaum yang ingkar
Alquran menceritakan, ketika manusia melanggar aturan-aturan Allah Swt, maka kemudian ditimpakanlah bencana ke atas mereka. Kita bisa membaca kisah kaum Nabi Nuh as yang mendapat bencana banjir besar yang menenggelamkan mereka yang ingkar, termasuk anak dan istri Nabi Nuh (QS. Al-Ankabut: 14).
Kemudian kaum Nabi Hud yang ingkar. Lalu Allah mendatangkan bencana angin yang dahsyat disertai dengan bunyi guruh yang menggelegar hingga mereka tertimbun pasir dan akhirnya binasa (QS Attaubah: 70, Alqamar: 18, Fushshilat: 13, Annajm: 50, Qaaf: 13).
Kemudian Kaum Nabi Saleh (Kaum Tsamud), Kaum Nabi Luth yang ditimpakan kepada mereka azab berupa gempa bumi yang dahsyat disertai angin kencang dan hujan batu sehingga hancurlah rumah-rumah mereka. Dan, kaum Nabi Luth ini akhirnya tertimbun di bawah reruntuhan rumah mereka sendiri (QS. Asy-Syu’ara: 160, An-Naml: 54, Al-Hijr: 67, Al-Furqan: 38, Qaf: 12). Begitu juga kisah kaum Saba’ yang diberi berbagai kenikmatan berupa kebun-kebun yang ditumbuhi pepohonan. Mereka kemudian diazab oleh Allah karena enggan beribadah kepada Allah walau sudah diperingatkan oleh Nabi Sulaiman, akhirnya Allah menghancurkan bendungan Ma’rib dengan al-arim atau banjir besar (QS. Saba: 15-19).
Berdasarkan empat jenis kebenaran di atas, maka akan sangat ironis ketika munculnya berbagai cara berpikir yang mencoba menolak eksistensi Tuhan dalam suatu bencana atau musibah seperi tsunami, gempa bumi dan sebagainya. Misalnya dengan berdalih bahwa suatu bencana yang terjadi seperti gempa hanya karena suatu faktor alam, disebabkan patahnya lempengan bumi atau berbagai alasan lainnya dengan dalih bahwa negara-negara yang non-muslim juga melakukan kemaksiatan yang besar. Ini adalah suatu cara pandang yang bertentangan dengan pesan-pesan kitab suci Alquran.
Padahal, terdapat perbedaan antara kemaksiatan
dan kekafiran. Kemaksiatan adalah ketidak patuhan atau pelanggaran
orang-orang yang beriman kepada syari’at Allah. Sedangkan kekafiran
merupakan keingkaran yang nyata terhadap ketuhanan, bencana yang
ditujukan kepada suatu negeri yang penduduknya mayoritas kafir, maka ini
merupakan azab Allah di dunia bagi mereka.
Sedangkan, bagi orang beriman yang bermaksiat maka ini merupakan sebuah teguran, peringatan atau musibah(cobaan) bagi mereka yang dengan hal tersebut mereka diharapkan ke jalan yang lurus, sebagaimana petunjuk yang terdapat dalam Alquran dan hadis. Sebagaimana firman Allah; “Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30).
Sebagai contoh, sebab terjadinya bencana gempa bumi berulang kali disinggung dalam Alquran. Misalnya ayat yang berbunyi; “Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan merekapun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka (Q.S. Al A’raf; 78).
Selain itu, menurut surat Az-Zalzalah, terjadinya kiamat juga diawali dengan terjadinya gempa dahsyat, seperti firman Allah Swt: “Apabila digoncangkan bumi dengan goncangan yang dahsyat, dan bumi pun mengeluarkan segala isinya...” (QS. Az-Zalzalah: 1 dan 2)
Yang paling jelas adalah firman Allah Swt berikut ini: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41).
Marilah kita jadikan seluruh musibah dan bencana yang menimpa diri kita, keluarga atau bangsa kita ini sebagai momentum untuk mengingatkan diri kita untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Sebagai momentum untuk intropeksi diri bagi kita untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu (musyrik). Tidak sombong dan merasa aman dari azab Allah. Tidak munafik. Senatiasa beristighfar, berdoa, berzikir dan bershalawat.
Tidak meninggalkan shalat. Berpuasa di bulan Ramadhan. Membayar zakat. Pergi haji ke Baitullah. Begitu juga, hendaknya kita terus mewarnai hidup kita dengan amal-amal yang bersifat sunnatiah yang dengan itu akan bisa menutup “bolong” ibadah wajib kita. Sembari itu, marilah tiada hentinya kita terus berupaya mendekatkan diri dan tawakkal kita kapada-Nya, meningkatkan kualitas iman, amal dan taqwa kita untuk mendapatkan ampunan dan surga-Nya. Dengan demikian, kita berharap negeri kita menjadi benar-benar menjadi negeri impian menuju baldatun thibatun wa rabbun ghafur, negeri yang baik dan penduduknya penuh dengan ampunan Allah Swt. Amiin.
Sedangkan, bagi orang beriman yang bermaksiat maka ini merupakan sebuah teguran, peringatan atau musibah(cobaan) bagi mereka yang dengan hal tersebut mereka diharapkan ke jalan yang lurus, sebagaimana petunjuk yang terdapat dalam Alquran dan hadis. Sebagaimana firman Allah; “Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30).
Sebagai contoh, sebab terjadinya bencana gempa bumi berulang kali disinggung dalam Alquran. Misalnya ayat yang berbunyi; “Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan merekapun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka (Q.S. Al A’raf; 78).
Selain itu, menurut surat Az-Zalzalah, terjadinya kiamat juga diawali dengan terjadinya gempa dahsyat, seperti firman Allah Swt: “Apabila digoncangkan bumi dengan goncangan yang dahsyat, dan bumi pun mengeluarkan segala isinya...” (QS. Az-Zalzalah: 1 dan 2)
Yang paling jelas adalah firman Allah Swt berikut ini: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41).
Kembali ke jalan Islam
Maka, marilah sejenak kita renungkan tentang sebab-sebab terjadinya suatu bencana. Di tengah berbagai bencana dan musibah lainnya yang sering terjadi di negeri kita, seberapa banyak pengingkaran kita kepada Allah dibalik suatu bencana itu? Dengan demikian, marilah kita kembali ke jalan Islam dengan jalan mengerjakan perintah Allah Swt da RasululNya (baca: Syarat Islam) dengan menjauhi segala larangan Allah Swt dan RasulNya.Marilah kita jadikan seluruh musibah dan bencana yang menimpa diri kita, keluarga atau bangsa kita ini sebagai momentum untuk mengingatkan diri kita untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Sebagai momentum untuk intropeksi diri bagi kita untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu (musyrik). Tidak sombong dan merasa aman dari azab Allah. Tidak munafik. Senatiasa beristighfar, berdoa, berzikir dan bershalawat.
Tidak meninggalkan shalat. Berpuasa di bulan Ramadhan. Membayar zakat. Pergi haji ke Baitullah. Begitu juga, hendaknya kita terus mewarnai hidup kita dengan amal-amal yang bersifat sunnatiah yang dengan itu akan bisa menutup “bolong” ibadah wajib kita. Sembari itu, marilah tiada hentinya kita terus berupaya mendekatkan diri dan tawakkal kita kapada-Nya, meningkatkan kualitas iman, amal dan taqwa kita untuk mendapatkan ampunan dan surga-Nya. Dengan demikian, kita berharap negeri kita menjadi benar-benar menjadi negeri impian menuju baldatun thibatun wa rabbun ghafur, negeri yang baik dan penduduknya penuh dengan ampunan Allah Swt. Amiin.
0 comments:
Post a Comment