JAKARTA - Kinerja perdagangan Indonesia yang tidak menggembirakan
pada awal tahun ini mesti segera diantisipasi dengan berbagai kebijakan
dengan fokus memacu ekspor dan memangkas impor barang yang tidak
signifikan mendorong perekonomian. Dari sisi ekspor, beberapa hal
mendasar yang mesti dilakukan terutama adalah stabilisasi nilai tukar
rupiah, restrukturisasi industri, dan antisipasi dampak perang dagang.
Sedangkan pemerintah menyatakan akan memperbaiki efisiensi dan daya
saing untuk meningkatkan kinerja ekspor. Ekonom Universitas Brawijaya,
Chandra Fajri Ananda, mengungkapkan ada sejumlah strategi yang
sebenarnya bisa disiapkan pemerintah untuk mendorong ekspor. Sayangnya,
hal tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara optimal. Pertama, dari sisi
kurs rupiah.
Pelemahan nilai tukar rupiah sebenarnya dapat mendorong ekspor.
Namun, faktanya momentum tersebut tidak bisa dimanfaatkan. “Artinya,
kita punya masalah. Bukan bagaimana menjualnya, tapi industri kita tidak
mampu memanfaatkan pelemahan rupiah untuk dorong ekspor,” kata dia, di
Jakarta, Senin (18/2).
Menurut dia, akar persoalan dari hal ini adalah industri, termasuk
ekspor, yang membutuhkan konten impor cukup besar, sehingga kalau rupiah
melemah maka impor itu akan menjadi masalah besar. “Dan tren impor itu
terus naik, makanya kita jadi defisit. Artinya, ada masalah di dalam
industri kita,” tukas Chandra.
Problem utamanya, industri nasional tidak bisa memanfaatkan konten
lokal untuk bahan baku. “Selama industri domestik menjadi sangat
bergantung pada bahan baku dari luar negeri, maka kita tidak bisa
berbuat banyak,” tegas dia.
Chandra menyatakan risiko global seperti perang dagang juga menjadi
ancaman tersendiri bagi ekspor Indonesia. Apabila terjadi perubahan
pertumbuhan ekonomi satu persen dari Tiongkok maupun Amerika Serikat
(AS), maka akan sangat berdampak bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Kalau kasusnya di Tiongkok, kita akan terpengaruh 0,07 persen.
Sedangkan bila kejadiannya di Amerika, itu pengaruhnya lebih besar yakni
0,09 persen. Itu pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Artinya, kita sudah nggak bisa lepas dari pengaruh itu,” jelas dia.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan oleh
pemerintah adalah, stabilisasi kurs, restrukturisasi industri, dan
antisipasi perang dagang. “Intinya, harus ada pembangunan industri di
hulu dan hilir.
Sebab, ternyata ada masalah juga. Misalnya, kita sedang membangun
infrastruktur, tapi anehnya permintaan baja dalam negeri turun. Rupanya,
bajanya banyak yang impor,” ungkap Chandra.
Segera Antisipasi
Sebelumnya, sejumlah kalangan mengingatkan pemerintah harus segera
mengantisipasi buruknya defisit neraca perdagangan Indonesia Januari
2019, agar tidak terus berlanjut dan berkembang menjadi liar. Sebab, hal
itu akan berimbas pada pelemahan kurs rupiah secara konsisten dalam
jangka panjang.
Solusinya, mendorong diversifikasi produk ekspor yang bernilai
tambah, memangkas perizinan dan prosedur ekspor khususnya di daerah,
serta pembangunan infrastruktur untuk sarana pendukung ekspor. Badan
Pusat Statistik (BPS) mengumumkan defisit perdagangan Januari 2019
mencapai 1,16 miliar dollar AS atau terdalam sejak 2014. Ini disebabkan
penurunan ekspor yang signifikan di awal tahun, terutama akibat dampak
perang dagang AS dan Tiongkok.
Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan
pemerintah semakin waspada dengan perlambatan ekonomi global, terutama
di negara target pasar, karena telah berimbas pada ekspor Indonesia awal
tahun. “Risiko dari global meningkat dan tentu destinasi ekspor lebih
sulit,” ujar dia, Senin.
Menurut Menkeu, untuk meningkatkan kinerja ekspor ke depan,
pemerintah akan melakukan perbaikan dalam hal efisiensi dan daya saing,
misalnya perbaikan regulasi, birokrasi, dan aplikasi sistem. “Hal yang
bisa kita kendalikan kami akan terus perbaiki sehingga pengusaha
merasakan bahwa mereka mendapatkan keringanan dan dukungan dari
pemerintah,” ujar Sri Mulyani.
Di saat yang bersamaan, pemerintah juga melakukan diversifikasi
negara tujuan ekspor seperti ke Afrika, Timur Tengah, maupun negara
berkembang lain. “Meskipun untuk destinasi pasar baru ini kami tetap
harus hati-hati mengenai nilai tukar karena kemampuan mendapatkan dollar
atau kalau dia menggunakan mata uang lokal berarti ada persoalan
kepastian biaya,” jelas dia.
0 comments:
Post a Comment