Mengapa meski al-Qur’an secara
tegas melarang kita untuk tidak bersedih dan bersusah hati namun para pengidung
tetap saja menyebarkan kesedihan dan kepiluan. Bukankah firman Allah Swt, Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un atau menyampaikan ungkapan duka bagi Ahlulbait
dan mereka tidak menjadi orang-orang berjaya? Namun seluruh Imam Maksum As pada
masanya tidak dikenal dan asing bagi masyarakat demikian juga Imam Mahdi Ajf!
Lantas mengapa para pengidung tidak menghabiskan sedemikian energinya untuk
memenuhi harapan-harapan para nabi dan Imam Maksum As. Sekiranya Imam Husain As
hidup di tengah-tengah kita dan bertanya kepadanya apakah tindakan nyata dan
kesetiaan pada janji yang diinginkan atau tangisan dan pukulan ke kepala?
Kira-kira jawaban apa yang akan diberikannya? Tentu saja beliau akan berkata
kesetiaan kepada janji karena beliau memilih kesyahidan untuk menunjukkan jalan
Allah sehingga menjadi teladan sempurna bagi kita dari manusia yang setia pada
janjinya kepada Tuhan (Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in), penuntut kebenaran
dan penentang kezaliman sehingga kita dapat menjadikannya sebagai teladan dan
pelita jalan kita bukan sekedar menepuk kepala dan dada untuk kesyahidannya
yang penuh kehormatan. “Ala inna awliya Allahi la khawfun ‘alaihim wa lahum
yahzanun” (QS. Yunus [10]:62) Ketahuilah! Sesungguhnya para wali Allah tidak
ada ketakutan pada diri mereka juga tiada mereka bersedih.” Al-Baqarah (2):38,
62, 112, 262, 247 dan 277. Ali Imran (3):170; Al-Maidah (5):69; Al-An’am
(6):48; Al-A’raf (7):35; Al-Zumar (39):61; Al-Ahqaf (46):13; Seluruh ayat ini
adalah larangan untuk bersedih dan bersusah hati yang pada umumnya dilanggar
oleh para pengidung. Allah Swt juga tidak memberikan pengecualian bahkan bagi
Ahlulbait As. Barangsiapa yang ingin menjadi wali Allah atau orang beramal,
“laa hum yahzanun” bukan menyebarkan kesedihan dan kepedihan.
Sedih dan pilu adalah sebuah
kondisi yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Setiap manusia
sepanjang hidupnya berulang-ulang merasakannya. Sedih dan nestapa secara mutlak
tidak tertolak dari sudut pandang al-Qur’an, melainkan terkadang ideal dan pada
sebagian urusan tidak ideal dan tiadanya kesedihan merupakan salah satu sifat
wali Allah. Ayat-ayat al-Qur’an tidak menafikan inti kesedihan dan kepiluan
melainkan apa yang dinafikan atau dipuji pada ayat-ayat al-Qur’an adalah
sebab-sebab dan faktor-faktor kesedihan dan nestapa yang menjadikan konsekuensi
kesedihan dan kepiluan itu adalah terpuji atau tercela.
Manusia adalah sebuah entitas dan
makhluk multi dimensional. Salah satu dimensi eksistensialnya adalah dimensi
afeksi dan perasaan. Dengan dimensi ini manusia terkadang merasakan kegembiraan
dan keceriaan. Terkadang terkejut dan takut. Terkadang juga lantaran beberapa
faktor, dirundung kesedihan dan kepiluan.
Sedih dan pilu merupakan sebuah
kondisi yang terdapat pada seluruh manusia. Setiap orang merasakan kesedihan
dan kepiluan sepanjang hidupnya. Sebagian orang dengan peristiwa sekecil apa
pun atau kehilangan sesuatu akan dirundung kesedihan dan kepedihan. Sebagian
lainnya mampu menahan kesedihan dan kepedihannya. Sebagian lainnya berada pada
tataran untuk memenuhi tujuan-tujuan transendental kemanusiaan.
Untuk penjelasan lebih jauh harus
dikatakan bahwa kesedihan dan kepiluan secara mutlak tidak tertolak dan
tertampik menurut al-Qur’an dan riwayat-riwayat Ahlulbait As. Sebaliknya pada
sebagian perkara sifatnya ideal dan sebagian lainnya tidak ideal dan tiadanya
kedua hal ini merupakan salah satu sifat para wali Tuhan.
Ayat-ayat al-Qur’an tidak menafikan
inti kesedihan dan kepiluan karena kesedihan dan kepiluan sebagaimana yang kami
sebutkan di atas adalah satu kondisi normal yang muncul pada diri manusia tanpa
adanya ikhtiar. Apa yang dinafikan al-Qur’an adalah sebagian sebab-sebab dan
faktor-faktor kesedihan dan kepiluan yang akan kami sebutkan sebagai berikut
sebagai contoh:
1.
Dalam kisah Rasulullah Saw telah dijelaskan bahwa
beliau bersama Khalifah Pertama hijrah meninggalkan Mekkah menuju Madinah.
Keduanya memasuki goa untuk lari dari kejaran orang-orang musyrik. Rasulullah
Saw dengan memperhatikan kekuatan dan kekuasaan Ilahi yang dimiliki untuk
menenangkan orang yang menyertainya bahwa Allah bersama kita dan orang-orang musyrik
tidak akan dapat menemukan kita. Rasulullah Saw bersabda, “Jikalau
kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya
ketika orang-orang kafir mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang
dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu ia berkata kepada
temannya, “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka
Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada Muhammad dan membantunya dengan bala
tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang kafir
itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa
lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Taubah [9]:40)
Karena itu engkau harus memiliki keyakinan dan tawakal yang cukup kepada Allah
Swt. Kesedihan dan duka cita muncul karena
Allah Swt jauh darimu.
2.
Dalam kisah Nabi Musa As terkait dengan kesedihan
dan duka cita bunda Nabi Musa As, Allah Swt berfirman kepadanya, “Maka
Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita.” (QS.
Thaha [20]:40) Pada ayat lain, Allah Swt berfirman kepada bunda Nabi Musa, “Dan
Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir
dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (QS.
Qashash [28]:7) Kesedihan dan kekhawatiran ini kendati boleh jadi bersifat
normal dan natural. Namun, apabila disertai dengan tawakal dan keyakinan kepada
Allah Swt, maka kesedihan, duka cita dan kekhawatiran tidak ada maknanya. Atas
dasar itu, Allah Swt memperingatkan bunda Musa dari kesedihan dan duka cita
seperti ini.
3.
Allah Swt menyatakan firman-Nya kepada orang-orang
yang mendapat petunjuk (hidayah)[1] dan iman kepada Allah Swt dan hari
akhirat serta mengerjakan amal kebaikan[2] atau termasuk bagian dari
sahabat dan wali-wali Tuhan[3], atau tergolong orang yang
berserah diri kepada Allah Swt, “Iya! Barangsiapa yang
menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala
di sisi Tuhan-nya, dan tiada kekhawatiran terhadap mereka serta tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (QS.
Al-Baqarah [2]:112)[4] Karena orang-orang yang
“memiliki derajat tertinggi iman di dunia dan memandang dirinya sebagai hamba
Tuhan sejati dan tidak meyakini kepemilikan pada dirinya, tidak memiliki
sesuatu dari dirinya sehingga harus takut kehilangannya atau bersedih hati karenanya;
karena takut bersumber dari hal ini bahwa manusia merasakan kerugian dan
kesedihan memasuki relung hatinya bahwa manusia kehilangan sesuatu yang
disenangi atau berbenturan dengan sesuatu yang tidak senangi. Singkatnya, rasa
takut, kesedihan, duka cita dapat dibayangkan tatkala manusia memandang dirinya
memiliki sesuatu atau merasa berhak atas sesuatu sehingga ia merasa takut dan
bersedih hati.”[5] Karena itu, kalau orang meyakini
bahwa seluruh makhluk dan entitas alam semesta dan wujudnya sendiri adalah
kepunyaan Allah Swt, tentu saja ia tidak akan memandang dirinya sebagai pemilik
sesuatu sehingga harus bersedih atau bersusah hati kehilangannya. Kondisi
sedemikian ini yang diilustrasikan Allah Swt sebagai wali-Nya dan orang-orang
yang mendapatkan petunjuk (hidayah) serta beramal saleh. Karena itu, kesedihan
dan duka cita dari orang-orang seperti ini mentah dengan sendirinya, lantaran
adanya penolakan faktor penyebab kesedihan dan duka cita berupa keterikatan dan
kebergantungan terhadap urusan-urusan materi; artinya para wali Allah dan
orang-orang beriman, orang-orang saleh karena tidak memiliki tempat pengaduan
selain-Nya, maka dengan kehilangan urusan-urusan materi mereka tidak akan
dirundung kesedihan dan kesusahan.
Pada
hakikatnya, ayat-ayat ini memberikan kabar gembira kepada orang-orang beriman
dan wali-wali Allah bahwa dalam hal-hal remeh-temeh seperti ini tiada alasan
untuk bersedih dan bersusah hati.
Al-Qur’an tidak mencela kesedihan
dan duka cita yang dialami oleh orang-orang beriman dan budiman. Misalnya
al-Qur’an menyebutkan ucapan Ya’qub yang terpisah dari putranya yang saleh,
Yusuf, “Ya‘qub menjawab, “Sesungguhnya
hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku
mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.”
(QS. Yusuf [12]:86) Atau menyatakan, “Dan
Ya‘qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai duka citaku
terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia
adalah seorang yang menahan amarahnya.”
(QS. Yusuf [12]:84) Kita tahu bahwa kesedihan lantaran berpisah dari Yusuf
bukan hanya disebabkan karena jauhnya seorang anak dari ayahnya melainkan
karena Ya’qub tahu bahwa Yusuf merupakan salah seorang nabi besar Tuhan, orang
saleh dan beriman. Perpisahan ini baginya sangat menyusahkan hatinya dan pada
hakikatnya berharap bertemu dengan salah seorang wali dan nabi Allah Swt.
Kesedihan dan kesusahan ini tidak dicela oleh satu pun ayat dalam al-Qur’an
terkait dengan Nabi Ya’qub karena faktor munculnya kesedihan dan kesusahan
sebagaimana yang disebutkan di atas adalah salah satu faktor Ilahi.
Pada ayat lainnya Allah Swt
mengilustrasikan kondisi sebagian mujahid di jalan Allah yang memiliki niat
berjihad untuk mereguk cawan syahadah, namun lantaran kurangnya alat tempur dan
kendaraan perang mereka terpaksa menarik mundur pasukannya. Sebagian orang ini
kembali dari medan peperangan dengan perasaan berkecamuk, sedih dan mata mereka
penuh dengan air mata serta hati yang sarat dengan kesedihan dan kesusahan.
Allah Swt berfirman, Dan tiada (dosa pula)
atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya kamu memberi mereka
kendaraan, kamu berkata, “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” Lalu
mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan,
lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan (di jalan
jihad). (QS. Al-Taubah [9]:92)
Kesedihan dan kesusahan hati ini
yang bersumber dari adanya perasaan ingin berkorban dan berjuang di jalan Allah
Swt bukan hanya tidak tercela melainkan menunjukkan kejujuran dan kebenaran
mereka. Kesedihan dan kesusahan yang tercela adalah karena faktor pemicunya
adalah selain-Ilahi.
Kesimpulannya adalah bahwa
al-Qur’an tidak mencela secara mutlak kesedihan dan kesusahan atau juga tidak
secara mutlak menyokongnya, melainkan bergantung pada hal-hal yang menyertai
dan yang menjadi faktor pemicu kemunculannya.
Kapan saja kesedihan muncul karena
perkara yang terpuji maka kesedihan itu dengan sendirinya adalah terpuji karena
menjadi penyebab terjalinnya hubungan intens antara manusia dan sumbernya dan
dengan pengenalannya menjadikan manusia melangkah di jalan-Nya. Kesedihan
semacam ini membimbing manusia untuk berpikir positif dan bergerak secara
dinamis dan progresif. Imam Shadiq As, terkait dengan kesedihan seperti ini,
bersabda, “Kesedihan dan duka cita merupakan slogan para arif.”[6]
Kesedihan dan kesusahan yang timbul
karena mengingat pelbagai musibah Ahlulbait As dan Imam Husain As termasuk
jenis kesusahan dan kesedihan ini. Terdapat banyak riwayat yang memuji dan
memandang positif jenis kesusahan dan kesedihan semacam ini.[7] Karena kesedihan dan kesusahan ini
muncul lantaran mengingat musibah atas kehilangan salah seorang wali Allah dan
kezaliman yang ditimpakan kepadanya dan keluarganya. Kesedihan ini pada hakikatnya
untuk mengenang kebebasan, iman, pengorbanan yang sangat penuh dengan
nilai-nilai. Imam Shadiq As bersabda, “Nafas seseorang yang bersedih dan
bersusah hati atas pelbagai musibah yang menimpa kami adalah tasbih dan
kesedihannya atas penderitaan kami adalah ibadah.”[8] Karena kesedihan ini apabila
diarahkan dengan baik akan menuai keberkahan yang banyak di antaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Dapat mengenalkan manusia tiran, bengis dan keji
kepada mereka dan sebagai hasilnya menolak untuk mentirani dan ditirani.
2.
Memelihara jalan, pesan dan tujuan-tujuan tinggi
Ahlulbait As.
3.
Kesedihan seperti ini merupakan pendahuluan untuk
meniru akhlak (mutakhalliq) Ahlulbait As. Lantaran kesedihan bertitik
tolak dari makrifat dan kecintaan, maka dengan sendirinya akan menimbulkan
kecintaan dan makrifat. Syahid Muthahhari terkait dengan hal ini berkata,
“Apabila mereka bertanya kepada kita bahwa mengapa Anda pada hari Asyura
senantiasa berkata Husain…Husain dan memukul kepala dan dada? Jawaban apa yang
hendak Anda berikan? Harus kita katakan kepada mereka bahwa, “Kita ingin
menuturkan sabda-sabda pemimpin kita. Setiap tahunnya kita ingin memperbaharui
kehidupan kita. Harus kita katakan Asyura adalah hari pembaruan hidup (tajdid
al-hayat) kita.. Kita ingin belajar lagi prinsip-prinsip Islam dari
awal. Kita tidak ingin rasa amar makruf dan nahi mungkar (baca: sense
of social control), rasa kesyahidan (sense of martyrdom), rasa ingin
berkorban (sense of sacrifice) di jalan kebenaran terlupakan. Kita tidak
ingin spirit untuk berkorban di jalan Allah berlalu dari kami.”[9]
Benar! Membuat orang menangis,
menciptakan kepiluan dan duka nestapa tidak cukup. Melainkan kita harus
menghidupkan falsafah kebangkitan Asyura dalam kepribadian umat dan komunitas
Islam. Majelis duka, nestapa, ratapan dan kesedihan tidak boleh dijadikan
tujuan bagi pengikut Ahlulbait As. Syahid Muthahhari menuturkan, “Namun amat
disayangkan sebagian orang tidak mengenal hal ini. Mereka menyangka bahwa tanpa
harus mengenalkan maktab Imam Husain kepada masyarakat, kita mengenalkan
falsafah kebangkitannya. Sudah memadai untuk menjadikan mereka mengetahui
kedudukan Imam Husain. Bahwa orang-orang datang, duduk dan menangis telah cukup
tanpa mengetahui untuk apa mereka datang, duduk dan menangis telah memadai
untuk menebus dosa-dosa!.”[10] [IQuest]
0 comments:
Post a Comment