“Dalam mencapai tujuannya, seorang pemimpin harus mendahulukan kepercayaan. Hal itu untuk membina kepercayaan antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Kepercayaan masyarakat hanya dapat diperoleh dari keselarasan dalam perkataan dan perbuatan seorang pemimpin. Begitu tidak ada kepercayaan masyarakat, seorang pemimpin akan kehilangan segalanya. Sebab kepercayaan masyarakat dapat diibaratkan napas seorang pemimpin dalam memimpin”.
Jika kita berani untuk kembali ke belakang dan melihat kenyataan,
masyarakat sangat kecewa karena diberi harapan palsu oleh para elite politik.
Politik kita hampir tidak lagi dilihat sebagai taktik yang baik untuk
memperoleh pemimpin yang berkualitas dalam pelukan demokrasi.
Merakyat tetapi justru menggunakan taktik yang buruk untuk mencapai
kekuasaan. Propaganda, kebohongan, iklan politik dengan penekanan
berlebihan pada penampilan luar, manipulasi, pengerahan massa dan
politik partisan. Inilah realitas politik yang santer terdengar di
tengah arus pusaran politik saat ini.
Hampir setiap dekade, perjalanan politik kita dinilai buruk karena
tidak sesuai dengan keutamaan moral politik. Sebentar lagi Pilkada dan
Pemilu akan berlangsung secara berturut-turut untuk dua tahun ke depan,
yaitu Pilkada serentak 2019, pemilu Legislatif dan Pilpres. Yang pasti
suara berupa janji penuh di telinga setiap rakyat.
Politik yang diisi dengan janji yang mengarah kepada kebohongan. Hal ini menjadi catatan penting untuk para aktor.
Apa gunanya berteriak jika hanya untuk menyebarkan kebohongan?
Janji
Politik dan janji memang tidak dapat dipisahkan, mereka adalah
sepasang “suami-istri” yang tak dapat dipisahkan. Boleh dikatakan, tidak
ada politik tanpa janji.
Pertanyaannya, janji yang mana? Pertanyan ini penting karena tidak semua janji membawa kemajuan (progresif)
dalam demokrasi. Persoalnnya bukan terletak pada ada atau tidaknya
janji melainkan kualitas janji atau dikenal dengan sebutan politik
praktis.
Masyarakat membutuhkan kerja nyata dari seorang pemimpin, sekali
bicara langsung bertindak atau kalau boleh tutup mulut dan bekerja.
Misalnya janji untuk mengadakan infrastruktur jalan, PLN, air dan
lain-lain. Ini menjadi tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi oleh
politisi saat menjabat sebagai pemimpin. Artinya, perealisasiannya jelas
dan mengena di hati masyarakat.
Kebohongan
Kebohongan berawal dari janji yang tidak tepat. Inilah janji yang
tidak berkualitas. Para aktor yang memberikan janji kepada masyarakat
ibarat “balon udara”, menarik perhatian banyak orang, indah, elok, dan
suara angin yang membawa dia ke udara sangat enak didengar tetapi
sifatnya sementara karena sebentar lagi dia akan pecah dan menghilang.
Artinya para aktor memberikan janji kepada masyarakat hanya untuk
menenangkan syaraf, setelah itu ia pergi urus diri sendiri dan
keluarganya. Lupa janji untuk kesejahteraan masyarakat sebagai rahim
yang melahirkan dia. Janji dengan kebohongan terlihat kental.
Bagian dari janji itu tersembunyi dalam kampanye. Kampanye adalah sebentuk iklan yang menampilkan picture
para aktor. Ekspresinya persuasif namun merugikan masyarakat, terjadi
korban penipuan dan kum intelektual pun terjerumus dalam retorika para
aktor yang selalu saja menguburkan kebenaran.
Panggung politik menjadi gudang pameran fisik, menampilkan kinerja
dengan gaya gestikulasi yang penuh kebohongan, janji tidak pernah
memenuhi kepastian.
Para aktor sebetulnya tengah merancang kebobrokan politik itu
sendiri. Panggung politik tengah mengalami defisit moral. Pemimpin yang
sudah terpilih pun masih ragu tentang kinerjanya karena masih ada “janji
palsu”.
Secuil cerita “seorang pemimpin pergi keluar daerah untuk studi
banding. Setelah ditelisik, ternyata mencari kesenangan tubuh”. Lupa
rakyat miskin (lapar dan haus).
Epikurus mengingatkan kita “kebahagiaan tubuh memang penting tetapi
lebih penting adalah kebahagiaan jiwa”. Artinya seorang pemimpin harus
memiliki jiwa kepemimpinan termasuk semangat untuk mensejahterakan
masyarakat dan itu menjadi tuntutan publik yang harus ada dalam diri
seorang pemimpin.
Tepati Janji
Ingkar janji membuat orang kecewa terhadap demokrasi, tanpa janji
menggiring orang dalam jurang otoritanisme. Janji adalah hakekat sebuah
visi dalam berpolitik.
Dengan demikian janji sejalan dengan politik tetapi tidak untuk
menyebarkan kebohongan. Harus realistis. Karena itu tawarannya ialah; pertama,
implementasi. Janji adalah harapan dan cita-cita yang diidealkan para
aktor tetapi haruslah diwujudnyatakan. Bukan idealis semata, yang patut
dipertanyakan adalah pembuktiannya.
Kedua, partisipasi warga. Seorang pemimpin tidak dapat
berjalan sendiri tanpa masyarakat, bagaimana pun ia tetap kembali ke
masyarakat untuk membagun bangsa dan negara secara bersama. Artinya,
sebagai masyarakat tidak boleh apatis terhadap kepentingan bersama (bonum commune). Begitu pun pemerintah tidak boleh otoriter.
Ketiga, ketepatan antara pembuat janji. Pembuat janji harus
konsisten dengan waktu yang telah dijanjikan. Apa yang harus ia buat
untuk kepentingan masyarakat. Janji yang demokratis itu mengahargai
masyarakat atas nurani dan pikirannya.
“Vox populi vox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan, suara Tuhan
ini yang berada dalam hati nurani kita. Karena itu, kepentingan rakyat
tidak boleh diabaikan ketika para pemberi harapan (janji) menjabat
sebagai pemimpin.
Janji politik dinilai sangat berbobot ketika menghindari kebohongan.
Itu berarti tidak terlepas dari kualitas demokrasi yang pernah dibuat
para politisi dalam janji-janjinya. Setia pada janji, dirinya akan
dipercaya dan patut diapresiasi. Masyarkat dan pemimpin bahu-membahu.
MARI BERJANJI TANPA KEBOHONGAN!
0 comments:
Post a Comment