![]() |
Foto : ISTIMEWA |
JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG), Dwikorita Karnawati terpilih menjadi anggota Dewan Eksekutif
World Meteorological Organization (WMO) 2019 - 2023 mewakili Pasifik
Barat Daya bersama Australia dan Singapura. Pemilihan ini dilakukan
pada Kongres Meteorologi Dunia ke-18 yang dilaksanakan di Jenewa,
Swiss, pada 3-14 Juni 2019 dan dihadiri oleh 149 negara.
Dwikorita menyampaikan terima kasih atas dukungan Kementerian Luar
Negeri (Kemenlu) yang telah melakukan kampanye pencalonan dirinya dalam
beberapa bulan terakhir dengan dukungan penuh Wakil Tetap RI di
Jenewa/Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di Jenewa (PTRI
Jenewa) dan seluruh perwakilan RI di luar negeri.
Menurut Dwikorita, terpilihnya kembali Indonesia pada pemilihan
Dewan Eksekutif WMO yang dilaksanakan setiap empat tahun sekali
tersebut, menandai 12 tahun secara berkelanjutan, Indonesia menduduki
posisi anggota Dewan Eksekutif WMO. Peran utama dewan eksekutif adalah
menetapkan kebijakan-kebijakan serta program-program strategis WMO
untuk empat tahun mendatang (2019 - 2023).
Sebelum terpilih, Dwikorita mendapat kepercayaan sebagai keynote speaker bersama jajaran tokoh dunia di bidang meteorologi, hidrologi dan oceanografi, yang disampaikan dalam special session on our ocean, dalam rangka memperingati United Nation Year of Ocean Decade.
Mesti Terintegrasi
Dwikorita menekankan untuk mewujudkan keselamatan dan keberlanjutan
dalam pemanfaatan dan pembangunan layanan operasional maritim, sangat
diperlukan data meteorologi, oceanografi, vulkanologi, dan tektonik.
Semua data itu mesti terintegrasi dalam suatu sistem yang a ndal, mudah
diakses dan didukung oleh jaringan komunikasi yang tangguh (jaringan
komunikasi yang tidak akan lumpuh dalam situasi darurat).
”Untuk itu, perlu dilakukan observasi yang terstandar secara digital dan otomatis real time, dengan peralatan yang rutin terpelihara dan terkalibrasi, dan dilakukan sertifikasi bagi para pengolah data/analis/forecaster/modeler, untuk merekam/memantau multidata tersebut di atas,” ujar Dwikorita.
Dwikorita menjelaskan hal itulah yang sering menjadi kendala atau
tantangan bagi negara-negara berkembang dalam mewujudkannya. Itu
terjadi karena berbagai keterbatasan, baik keterbatasan teknologi,
sumber daya manusia, dan dana.
”Mengingat penting dan mendesaknya kebutuhan data terstandar dan berkualitas dengan sistem yang andal maka diperlukan adanya partnership atau kerja sama dengan berbagai pihak antarnegara ataupun dengan pihak swasta melalui public-private engagement, seperti yang saat ini sedang disiapkan oleh Indonesia,” ujarnya.
One observation policy pun sangat diperlukan yang akan
diatur secara nasional di masing-masing negara, untuk menjaga sinergi
dan sinkronisasi dalam integrasi data antarlembaga. Dwikorita
menekankan perlunya untuk menguatkan keterlibatan masyarakat dengan
menerapkan kearifan dan pengetahuan lokal.
0 comments:
Post a Comment