SERANG, (KB).- Pengamat Politik dari Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa Gandung Ismanto meragukan gebrakan sejumlah
partai politik (parpol) yang menyatakan siap melawan petahana pada
Pilkada serentak 2020 di Banten. Hal tersebut berkaca pada pengalaman
pilkada sebelumnya yang hampir jarang petahana tumbang.
“Berdasarkan pengalaman empiris seperti di masa lalu, katakanlah
pengalaman terakhir di Banten saja ketika Pak Wahidin (Halim) melawan
petahana sungguh-sungguh (pada Pilgub 2011), hasilnya nihil. Lalu
kemudian di periode ke kedua enggak ada pilihan untuk kolaborasi dengan
sebut saja petahana meski calonnya berbeda, tapi dia bagian dinasti dan
itu berhasil,” kata Gandung kepada wartawan usai diskusi yang
dilaksanakan Fraksi Gerindra DPRD Banten di Sekretariat DPRD Banten,
KP3B, Kota Serang, Kamis (12/12/2019).
Politik lokal pascapilkada langsung telah melahirkan dinasti di tiap
daerah di Banten. Politik dinasti tersebut, kata dia, kemudian menjadi
hegemoni yang kuat dalam sektor ekonomi dan menyebabkan kekuatan besar
dalam sistem pemilihan secara langsung.
“Itu menjadi sumber daya yang kuat dan sulit dilawan. Nah ini
menumbuhkan hegemoni, karena hegemoni tumbuh ketika sumber daya ekonomi
dikuasai. Ditambah dengan sumber daya pemerintahan di birokrasi termasuk
di partai politik,” ujarnya.
Ia pun ragu semangat parpol melawan petahana akan benar-benar
diwujudkan. “Cilegon misalnya, bagaimana di Pandeglang, bagaimana di
Lebak termasuk di Banten terakhir kali. Saya kira dengan pengalaman yang
ada, tidak begitu prospek melawan petahana itu benar-benar
sungguh-sungguh dan berhasil,” ucapnya.
Menurutnya, petahana di pilkada kabupaten/kota Banten pada 2020 masih memiliki kekuatan cukup mumpuni dan sulit digoyahkan.
“Saya kira petahana yang tidak hegemonik saja sulit dilawan, apalagi
dengan karakteristik petahana yang sangat sangat hegemonik. Di Banten
semua daerah itu cirinya sangat hegemonik, karena dia punya kavling yang
khusus. Lebak, Pandeglang, Cilegon dan Kabupaten Tangerang mereka punya
kavling masing-masing,” ujarnya.
Tak heran, kata dia, jika dalam pilkada suatu ada dinasti daerah lain kemudian memunculkan keributan.
“Nah itu sebabnya ketika ada sempat muncul bus kota yang mendahului
bus kota yang lain kan saling ribut, ya sudah di kavlingnya
masing-masing saja,” katanya.
Dengan peta politik yang ada di masing-masing kabupaten/kota, tidak
menutup kemungkinan hanya akan dikalahkan oleh petahana dari daerah
lain.
“Jadi sebenarnya ini hanya menghadirkan sirkulasi tapi tidak
vertikal, horizontal di kalangan elite saja. Ketika petahana di suatu
daerah kalah, tidak mungkin dia kalah elite setempat. Hanya mungkin
kalah disebabkan oleh elite yang lain, jadi hanya sirkulasi di kalangan
elite,” katanya.
Terkait calon tunggal, ia memprediksi potensinya masih besar terjadi pada pilkada mendatang.
“Pengalaman kita di Lebak terjadi, di Cilegon mungkin terjadi. Meski
kepala daerah yang lama terkena kasus tapi yang sekarang yang
melanjutkan (Ati Marliati) adalah trahnya,” ucapnya.
Perempuan yang saat ini menjabat Wakil Wali Kota Cilegon tersebut
dianggap memiliki pengalaman berikut dukungan pengaruh keluarga yang
kuat.
“Di dunia politik mungkin baru, tapi dengan pengaruh besar
keluarganya yang juga masih punya peran hegemoni saya kira tidak sulit
buat dia memenangkan pilkada, atau mungkin muncul sebagai calon
tunggal,” katanya.
Kondisi yang sama juga mungkin terjadi di Kabupaten Pandeglang.
Petahana Irna Narulita memiliki hegemoni kuat meneruskan pola yang
dilakukan suaminya. Kemudian komunikasi dan penampilannya juga diterima
di hampir semua segmentasi pemilih.
“Kalau sisi kebijakan si tidak ada terobosan yang signifikan, tapi
dari sisi penampilannya lebih ramah, lebih mudah diterima oleh hampir
semua segmen pemilih. Saya kira juga tidak sulit bagi dia memenangkan
pilkada,” ucapnya.
Kondisi berbeda terjadi di Kabupaten Serang. Petahana Tatu Chasanah
dianggap belum terlalu menancapkan kekuatannya. Sehingga di Kabupaten
Serang masih mungkin terjadi lahirnya perlawanan.
“Ibu Tatu meski dia berasal dari keluarga yang juga hegemonik secara
politik provinsi, tapi di level kabupaten saya kira ada sejumlah
variabel yang masih memungkinkan terjadinya dinamika politik. Hampir
mirip dengan Kota Serang lah. Jadi secara kepemimpinan belum cukup kuat
menancapkan hegemoni kekuasaan, terlepas dari hegemoni keluarga di level
yang lain,” tuturnya.
0 comments:
Post a Comment