Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah atau seringkali disebut Pilkada atau Pemilukada,
adalah bagian dari pengejawantahan demokrasi.
Kepala Daerah adalah jabatan politik atau disebut juga pejabat publik
dalam ilmu administrasi yang bertugas memimpin dan menggerakkan lajunya
roda pemerintahan. Kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan
keputusan langsung terkait dengan kepentingan rakyat, berdampak kepada
rakyat dan dirasakan. Oleh karena itu Kepala Daerah layaknya dipilih
langsung oleh rakyat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 menegaskan bahwa:
“Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah
pelaksanaan kedaulatan rakyat wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”
Seiring perkembangan, penentuan siapa yang akan menduduki pejabat
pemerintahan dalam hal ini Kepala Daerah, setiap negara dipengaruhi oleh
sistem politik yang dianut, sistem Pemilu, kondisi sosial masyarakat,
pola pemilihan, prosedur-prosedur dan mekanisme politik.
Adapun Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mencalonkan dirinya menjadi
Kepala Daerah, baik itu dari TNI, Polri, PNS, Pegawai BUMN, BUMD,
termasuk juga Kepala Desa dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
diwajibkan mengajukan pengunduran diri dari jabatannya.
Pengertian Pegawai Negeri Sipil, di dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, “Pegawai” berarti orang yang bekerja pada pemerintah
(perusahaan dan sebagainya), sedangkan “Negeri” berarti negara atau
pemerintah, jadi Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang bekerja pada
pemerintah atau negara.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) istilah “Pegawai Negeri Sipil”
diganti dengan istilah “Pegawai Aparatur Sipil Negara”. Pengertian
Pegawai Negeri Sipil atau ASN dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang ASN menyebutkan: Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat
PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu,
diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan”
Dalam hubungan hukum antara negara dengan pegawai pemerintah, telah
ditegaskan ketentuan tentang pembatasan perilaku pegawai yang bekerja
dalam instansi negeri. Hubungan ini disebut dengan hubungan dinas
publik. Inti dari hubungan dinas publik adalah kewajiban bagi pegawai
yang bersangkutan untuk tunduk pada pengangkatan dalam beberapa macam
jabatan tertentu yang mengakibatkan pegawai yang bersangkutan tidak
menolak (menerima tanpa syarat) pengangkatannya dalam satu jabatan yang
telah ditentukan oleh pemerintah. (F.Marbun dan Mahfud M.D, Pokok-Pokok
Hukum Administrasi Negara, hlm.98-99).
Dalam penerapannya, hubungan dinas publik ini berkaitan dengan dengan
segi pengangkatan birokrasi pemerintah yang dikenal dengan teori
_Contract Sui Generis._ Teori ini dikemukakan oleh Buysini yang
mengutarakan bahwa _Contract Sui Generis_ mensyaratkan birokrasi
pemerintah harus setia dan taat selama berstatus sebagai pegawai negeri,
meskipun dia setiap saat dapat mengundurkan diri. Dari pendapat
Buysini, diambil kesimpulan bahwa selama menjadi pegawai negeri sipil,
mereka tidak dapat melaksanakan hak-hak asasinya secara penuh.
Jika pegawai negeri berkehendak melaksanakan hak-hak asasinya secara
penuh, maka pemerintah dapat menganggap yang bersangkutan bukanlah orang
yang dibutuhkan kemampuannya dalam pemerintahan. Berkaitan dengan hal
ini, *Philipus M.Hadjon* menyatakan bahwa kajian hukum administrasi
lebih memandang hubungan hukum kepegawaian tersebut sebagai hubungan
_Openbare Dienstbetrekking_ (hubungan dinas publik) terhadap negara
(pemerintah). Hubungan dinas publik yang melekat pada hubungan
kepegawaian itu lebih merupakan hubungan sub-ordinatie antara bawahan
dan atasan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota, Pasal 7 ayat 2 huruf t mengatur bahwa untuk dapat
menjadi calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah, harus
memenuhi syarat sebagai berikut: “Menyatakan secara tertulis pengunduran
diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau
sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan”
Adapun Pasal 7 Ayat (2) huruf t telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi
beberapa kali, sebagaimana ditegaskan dalam putusan MK Nomor
49/PUU-XIII/2015 yang dalam putusannya menyatakan bahwa permohonan
pengujian konstitusional Pasal 7 Ayat (2) huruf t mutatis mutandis
berlaku putusan MK Nomor 41/PUU-XII/2014 dan Nomor 45/PUU-XII/2015 yang
menyatakan bahwa “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai, pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus
dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri
secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon
peserta pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dan Pemilu
Presiden/Wakil Presiden, serta Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Bahkan
dalam Putusan MK tersebut jika tidak dimaknai demikian maka bertentangan
dengan UUD 1945.
Selanjutnya sesuai PKPU Nomor 3 Tahun 2017 Pasal 69, “Bagi calon yang
berstatus sebagai Anggota DPR, DPRD atau DPD, Anggota TNI/Polri, dan
PNS wajib menyampaikan keputusan pejabat yang berwenang tentang
pemberhentian sebagai Anggota DPR, DPRD atau DPD, Anggota TNI/Polri, dan
PNS kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara”
Dalam PKPU No. 18/2019 Pasal 4 Ayat 1 huruf u; "menyatakan secara
tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pegawai
Negeri Sipil, kepala desa atau sebutan lain dan perangkat desa sejak ditetapkan sebagai calon; Jika nantinya ditemukan keterlibatan PNS dalam aktivitas politik yang tidak sesuai aturan, maka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil terdapat sanksi disiplin tingkat sedang hingga berat.
Negeri Sipil, kepala desa atau sebutan lain dan perangkat desa sejak ditetapkan sebagai calon; Jika nantinya ditemukan keterlibatan PNS dalam aktivitas politik yang tidak sesuai aturan, maka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil terdapat sanksi disiplin tingkat sedang hingga berat.
Ada enam sanksi yang ditetapkan, sanksi tingkat sedang dapat berupa
penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat, serta
penurunan pangkat setingkat lebih rendah yang semuanya berlangsung
selama satu tahun. Sedangkan untuk disiplin berat berupa pemindahan dan
penurunan pangkat setingkat lebih rendah. Dan terakhir, bisa sampai
pemberhentian dengan hormat.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, maka apabila ASN akan mengajukan
diri sebagai calon Kepala Daerah atau calon Wakil Kepala Daerah harus
menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai ASN yang
dilaksanakan sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.
Penulis Oleh: M. Taufiq MZ.
(Div. Hukum & Pengawasan KPU Tangerang Selatan)
(Div. Hukum & Pengawasan KPU Tangerang Selatan)
0 comments:
Post a Comment