JAKARTA – Jika pengadaan barang dan jasa untuk pemilu menggunakan
cara desentralisasi, perlu dipastikan kematangan sistem dan kesiapan
jajaran penyelenggara pemilu dan petugas terkait di daerah. Hal-hal
yang perlu dipastikan yaitu pengadaan dan keterjaminan standar logistik
yang akan didistribusikan.
“Hal ini sekaligus bisa mengurangi tanggung jawab pusat dengan
membagi ke daerah,” kata pengamat politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Ahmad Bakir Ihsan kepada Koran Jakarta, Kamis (6/1).
Menurut Ahmad, sistem desentralisasi logistik pun tidak akan
terlepas dari kendali Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat. Bisa dilakukan
tidak langsung oleh daerah yang bersangkutan apabila dianggap tidak
mampu.
Oleh karena itu, sambung Ahmad, pengadaan barang dan jasa Pemilu bisa
didistribusikan dari daerah terdekat sehingga bisa minimalisir
kekhawatiran keterlambatan. “Ini juga bisa menjadi bagian dari
penguatan daerah sebagai bagian dari otonomi daerah. Hal itu pun dapat
membuktikan kemampuan daerah dalam hal pengadaan barang dan jasa
Pemilu,” katanya.
Perlu Pengawasan
Dalam sistem desentralisasi logistik Pemilu, tambah Ahmad, perlu
adanya pengawasan formal dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pengawas
informalnya dari masyarakat dan kekuatan sosial lainnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau
Pemilu (KIPP), Kaka Suminta menilai pengadaan barang dan jasa pemilu
lebih baik berada di pusat. Sebab akan mempermudah kendali KPU pusat
dalam melakukan distribusi.
“Bukan dalam hal pengadaannya, tetapi dalam perencanaan itu tidak
secara utuh mempunyai kendali terhadap proses dan hasil pengadaan
sampai distribusi. Jadi tidak mutlak harus desentralisasi tapi
pembagian tugasnya harus lebih proporsional. Desentralisasi tidak
menjawab permasalahan jika pengadaan untuk beberapa item terutama untuk
pengadaan surat suara,” kata Suminta.
Suminta menjelaskan distribusi logistik yang berlaku saat Pemilu dan
Pilkada bisa menggunakan sentralisasi dan desentralisasi. KPU daerah
sudah memiliki komunikasi langsung dengan penyedia logistik, dengan
KPU pusat sebagai penanggung jawab utama.
Menurutnya, penerapan sistem desentralisasi logistik untuk
pemilihan legislatif (Pileg) dinilai riskan karena kualitas dari
percetakan dipengaruhi persepsi tentang pemilihan presiden (Pilpres).
Ia mengatakan jika desentralisasi logistik kelak diterapkan maka
tidak perlu menerapkan secara total. Namun, lebih pada perencanaan
komprehensif yang dilakukan pusat dan daerah.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR, Johan Budi mengatakan usulan
desentralisasi logistik untuk pengadaan barang dan jasa Pemilu yang
diusulkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dapat
didiskusikan dengan Komisi II DPR. Jajaran di Komisi II DPR dengan
terbuka akan mendengar usulan tersebut bila data dan pembahasannya sudah
jelas dan akurat.
Menurut Johan Budi, bila usulan sudah didiskusikan bersama Komisi II
DPR maka bahan diskusi dapat dimasukkan dalam pembahasan yang berkaitan
dengan revisi undang-undang (UU) Pemilu.
Senada dengan Johan, pengamat politik LIPI, Siti Zuhro mengatakan
usulan desentralisasi logistik perlu ditinjau dan ditimbang mana yang
lebih banyak kebermanfaatannya. Prinsipnya satu, apa dampak dari
kebijakan KPU, baik logistik yang sentralistis maupun desentralistis.
Masing-masing kebijakan tersebut ada plus dan minusnya. Tinggal
dihitung, apa benar dampak positifnya lebih banyak kalau desentralistis.
dis/N-3
0 comments:
Post a Comment