JAKARTA - Pola pikir para calon legislatif (Caleg) yang selalu
mengeluhkan biaya politik tinggi dan politik uang pada setiap pemilihan
dipertanyakan. Hal ini disampaikan karena akan ada pemilihan kepala
daerah (Pilkada) serentak. Mesin organisasi partai politik (Parpol)
dinilai selama ini kurang berjalan baik.
“Terkait dengan penyelenggaraan Pilkada serentak sekarang saya
merasa geregetan dengan pola pikir politisi yang mengeluhkan biaya
politik yang tinggi dan money politik,” kata peneliti Pusat
Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Hurriyah, seusai
diskusi publik, di Jakarta, pekan lalu.
Menurut Hurriyah, pemilih semakin pragmatis. Seharusnya
diidentifikasi kenapa biaya politik tinggi, apakah itu artinya partai
sebagai mesin politik dan kampanye tidak bekerja. Partai tidak bekerja
masyarakat jadi pragmatis mengingat banyak kandidat hanya menawarkan
materi saja.
Kepercayaan masyarakat kepada politisi menurun. Untuk itu, pemetaan
terhadap permasalahan dalam Pilkada semestinya disambut dengan solusi
yang memperbaiki individunya bukan menyalahkan sistem Pemilu.
Indonesia sudah memiliki pemilihan secara langsung, itu bagus. Memang
betul kalau membicarakan Pilkada serentak itu bagus tapi ada pro
kontra.
“Belum lagi soal kewajiban KTP elektronik (e-KTP). Pemilihan dengan
e-KTP ini mucul karena cara pandang politisi berbeda dengan logika
mereka membuat aturan. Di mana mereka sepertinya tidak melihat
bagaimana problem atau realitas yang ada. Akhirnya hak pilih terabaikan.
Kita punya pemilu tapi hanya menjadi mekanisme kita memilih orang
partai saja tapi tidak memperhatikan hak-hak pemilih,” cetusnya.
Momentum Penting
Direktur Kode Inisiatif, Veri Junaidi mengatakan ada beberapa
momentum penting di tahun 2020 yang perlu dicermati. Pertama, akan
diselenggarakan rangkaian terakhir Pilkada serentak sebelum
keserentakan secara nasional pada 2024. Kedua, konteks pengambilan
kebijakan, pemerintahan telah menyiapkan sejumlah rancangan UU dalam
program legislasi nasional sepanjang lima tahun.
“Pemerintah sedang memprioritaskan penataan regulasi, khususnya
dalam bidang ekonomi (33 RUU), sumber daya alam (27 RUU), kesejahteraan
sosial (11 RUU), penegakan hukum (5 RUU), dan paket politik (4 RUU).
Tantangannya, praktik penyelenggaraan pemilu (2019) berkembang sangat
pesat bahkan meninggalkan pengaturan dan praktik Pilkada,” kata Veri.
0 comments:
Post a Comment