Aparat hukum bisa menggunakan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli untuk mengungkap praktik usaha tidak sehat di
pelabuhan.
JAKARTA – Aparat penegak hukum mesti bertindak atas adanya dugaan
praktik monopoli dalam bisnis logistik yang menyebabkan biaya
transportasi laut menjadi mahal. Apalagi, kecurigaan adanya kegiatan
usaha tidak sehat di pelabuhan itu disinyalir sudah berlangsung lama.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and
Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, mengatakan seharusnya aparat
penegak hukum segera bertindak ketika Presiden Joko Widodo menyampaikan
kecurigaan ada permasalahan waktu bongkar muat kapal di pelabuhan yang
terlalu lama hingga ada praktik monopoli di industri logistik.
“Presiden sudah berulang kali mengeluhkan biaya logistik mahal, tapi
sampai sekarang masih tidak berubah. Seharusnya aparat penegak hukum
segera bertindak. Kalau aparat hukum tidak bergerak, sama saja
melegalkan praktik monopoli,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat
(6/3).
Menurut Andry, salah satu masalah biaya logistik yang mahal karena
terjadi kartel. Kartel ini terjadi karena banyak yang bermain di situ.
Bukan saja kartel pada kapal, tapi juga kartel di pelabuhan. “Karena di
pelabuhan banyak instansi terkait yang bermain sehingga yang punya duit
akan diloloskan,” jelasnya.
Andry menegaskan, sebaiknya aparat hukum bisa menggunakan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk mengungkap praktik tidak sehat di
pelabuhan. “Para pelaku monopoli harus diberi sanksi agar tidak
terulang lagi. Jadi, sebelum konsep tol laut terealisasi, praktik tidak
sehat di pelabuhan mesti dibasmi dulu,” paparnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas di Kantor
Presiden, Jakarta, Kamis (5/3/), telah meminta para menteri untuk
melihat masalah biaya logistik yang masih mahal secara detail dan
komprehensif. Presiden juga curiga ada permasalahan waktu bongkar muat
kapal di pelabuhan yang terlalu lama hingga ada praktik monopoli di
industri logistik.“Apakah masalahnya di pelabuhan, misalnya urusan
dengan dwelling time atau ada praktik monopoli di dalam transportasi dan
distribusi barang sehingga biaya logistik tidak efisien,” kata Jokowi (Koran Jakarta, Edisi Jumat, 6/3/2020).
Selain itu, Jokowi mengaku mendapatkan laporan biaya sulit turun
karena tidak seimbangnya pengiriman dari timur ke barat dan sebaliknya.
“Ini memang betul terutama dari wilayah timur, ada ketidakseimbangan
jumlah muatan barang yang diangkut dari barat ke timur penuh. Tapi,
begitu dari timur kembali ke barat itu muatannya jauh berkurang,”
tuturnya.
Presiden juga mengungkapkan biaya kirim barang antarprovinsi lebih
mahal ketimbang kirim ke negara lain. “Contoh biaya pengiriman dari
Jakarta ke Padang, Jakarta ke Medan, Jakarta ke Banjarmasin, Jakarta
ke Makassar jauh lebih mahal dibanding pengiriman Jakarta ke Singapura,
Hong Kong, Shanghai. Begitu juga Surabaya ke Makassar jauh lebih tinggi
dibanding Surabaya ke Singapura,” terangnya.
Jokowi pun mengingatkan tujuan awal program tol laut adalah
mengurangi disparitas harga antarwilayah serta memangkas biaya logistik
yang mahal. “Ada dua hal yang perlu menjadi fokus kita bersama. Yang
pertama mengontrol dan membuat tol laut semakin efisien. Kedua, biaya
logistik antardaerah antarwilayah, antarprovinsi harus bisa
diturunkan,” ujarnya.
Jokowi juga meminta meningkatkan nilai tambah tol laut dari
perekonomian daerah sebab kontribusi transportasi laut terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) sangat kecil.
Industri Belum JalanDihubungi terpisah, pakar transportasi dari Universitas Brawijaya, Hendi Bowoputro, mengatakan biaya logistik yang masih tinggi disebabkan beberapa sebab, seperti inefesiensi, belum jalannya industri di daerah-daerah, dan permainan oknum pelabuhan.
“Inefisiensi terjadi karena pengiriman barang ke luar negeri menggunakan kapal besar dengan kapasitas yang banyak sehingga biaya angkut container terdistribusi, sedangkan antarpulau di sini masih menggunakan kapal yang lebih kecil sehingga mahal,” ujarnya.
Selain itu, komponen biaya juga ditimbulkan oleh pengiriman yang kosong waktu kembali karena industri di daerah belum jalan. “Sebetulnya ini sudah dipikirkan oleh Pak Jokowi dengan berbagai program, seperti penggemukan sapi di NTT dan lainnya, tapi entah mengapa belum jalan,” kata Hendi. n uyo/SB/AR-2
0 comments:
Post a Comment