Ibu
pertiwi, memiliki pusaka terpendam yang tidak mengenal dimensi waktu.
Perairan yang terpampang luas, beragam pulau yang mencakupi masyarakat
adat, dan harta alam lainnya, membuat negeri ini mempunyai sumber daya
alam yang berlimpah. Tak ayal jika Indonesia disebut-sebut sebagai
produsen sawit terbesar di dunia.
Berdasarkan data dari
WartaEkonomi, diperkirakan volume minyak sawit yang bisa dihasilkan oleh
Indonesia ada sebanyak 43.000.000 ton. Jumlah ini bahkan dua kali lipat
lebih besar daripada juara keduanya, yakni Malaysia, yang hanya mampu
memproduksi 20.700.000 ton. Hal ini turut mengantar Indonesia sebagai
pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Yang mana per tahun 2018,
nilainya mencapai US$16,5 miliar.
Di samping itu, berdasarkan
sumber dari Ditjen Perkebunan, Kementrian Pertanian pada tahun 2014,
Indonesia juga memiliki jumlah industri pengolahan kelapa sawit yang
sangat banyak, dengan nilai sebesar 608 unit. Kemudian, diperkirakan
tiap pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 60 ton per jam (TPJ)
akan menghasilkan daya listrik berkisar 1,6 MW hingga 2 MW. Maka total
listrik yang dihasilkan nilainya akan berada di kisaran 1.100 MW.
Tentunya, jumlah yang sangat besar ini bisa menyokong megaproyek 35.000
MW yang diusung Jokowi.
Kendati demikian, kelapa sawit
menghasilkan banyak sekali limbah. Sebagai contoh, lahan kelapa sawit di
Riau seluas 2,2 juta ha, berpotensi memproduksi 6,5 juta ton minyak
sawit per tahun dan limbah cair sebanyak 16,25 juta m3. Selain itu,
emisi CO2 yang dihasilkan ada sekitar 568 ribu ton per tahun.
Maka
dari itu, limbah PKS diperlukan ditangani secara baik. Sebab, limbah
ini sangat berbahaya jika dibiarkan bertebaran dimana-mana. Akan lebih
baik jika limbah PKS digunakan sebagai bahan baku teknologi energi
terbarukan, seperti untuk pengoperasian Pembangkit Listrik Teknologi
Biogas (PLTBg). Dan limbah sawit yang dapat digunakan untuk PLTBg adalah
limbah cair kelapa sawit atau Palm Oil Mill Effluent (POME).
Pembangunan
PLTBg seolah membawa angin segar baru dalam industri energi di
Indonesia, lantaran dapat menanggulangi dampak lingkungan yang
dihasilkan dari proses pembuangan metana ke udara terbuka. Listrik yang
dihasilkan oleh proyek POME, juga mampu melengkapi kebutuhan listrik
PKS.
POME, sebagaimana dengan bahan baku biogas lainnya,
mengolah kandungan padatan (solid) yang tinggi secara anaerobik, dengan
menggunakan reaktor biogas. Tipe reaktor biogas yang umumnya digunakan
adalah sistem kolam (lagoon) yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi
cairan untuk pengadukan sehingga kinerja reaktor bisa lebih optimal.
Namun
sayangnya, POME dengan sistem kolam memerlukan lahan yang luas.
Terkadang penangkapan metana tidak sempurna sehingga emisi gas rumah
kaca dari lagoon ini masih terjadi. Selain itu, POME yang dibiarkan
bebas di alam, juga berdampak pada memburuknya pada kualitas air dan
udara, dengan pengotoran oleh chemical oxygen demand (COD) yang sebanyak
500.000 ppm.
Mengingat hanya 10% PKS di nusantara yang hanya
memiliki PLTBg, kemudian muncul sebuah pertanyaan. Bagaimana jika semua
PKS memiliki PLTBg dan ternyata menghasilkan banyak metana? Tentu akan
terjadi bom waktu yang sangat merugikan di masa depan.
Tidak
hanya resiko lingkungan saja, pembangunan PLTBg ini juga turut
melibatkan pihak asing. Kerja sama yang ditonjolkan dalam ini, selalu
menjurus dalam penciptaan iklim investasi yang kondusif bagi
pengembangan limbah cair pabrik kepala sawit. Selain itu, skema kerja
sama yang digunakan oleh PLTBg adalah BOT (Build, Operate Transfer),
yang mana hanya memberikan keuntungan kepada pemilik kebun dan pihak
PLTBg.
Mereka mungkin lupa, bahwa setiap kegiatan
infrastruktur energi yang semata-mata untuk penumpukan kapital, selalu
dibarengi dengan meminggirkan rakyat dari sepak terjangnya. Menurut
Naomi Klein dalam bukunya yang berjudul This Changes Everything (2014),
masyarakat adat adalah kelompok yang paling merasakan pembangunan PLT
apapun bahan mentah energinya. Lantaran mereka tinggal langsung di alam,
sedangkan korporasi hanya memandang alam sebagai komoditas untuk
diekslopitasi.
Dengan menggaungkan green economy, korporasi
yang bersangkutan menjadikan alam sebagai eksploitasi baru. Kemudian
mereka bekerja sama dengan pemerintah, yang mana meminta modal yang
besar untuk keberlangsungan PLTBg. Infrastruktur ini dibangun sesuai
demand driven pasar bebas, di mana aliran masuk-keluar dana dipegang
oleh asing.
Mega proyek ini tak lain tak bukan, untuk
memastikan kekuasaan Amerika Serikat (AS) sebagai negara adikuasa terus
berlanjut. Setelahnya, AS sebagai negara maju membangun sosok ideal yang
harus dicapai oleh negara berkembang seperti Indonesia. Sebagai
akibatnya, negeri ini berlomba-lomba untuk membuat infrastruktur energi
yang banyak.
Menurut Paryono dkk. (2018), ihwal pasokan
energi listrik dalam jangka pendek mungkin saja terpenuhi. Akan tetapi,
outcome dari PLT apapun itu, hanya berhasil memenuhi nafsu kapitalis.
Sebab, infrastruktur energi listrik yang sekarang berada di tangan
kapitalis, semata-mata untuk kepemilikan penuh bagi dirinya.
Negara
akan dipersulit dalam mewujudkan cita-citanya menghasilkan listrik
secara mandiri, dan malah dililit hutang seperti PLN dewasa ini.
Tentunya, PLTBg yang menjalin kontrak kerja dengan PLN akan terimbas
dengan praktik kapitalistik ini. Dan praktik ini memperkuat argumen
sebelumnya bahwasanya pendirian PLTBg merupakan gerakan kapitalisme
secara sistematik.
Sampai-sampai, koperasi menggunakan negara
untuk membuat produk hukum guna meloloskan agenda mereka. Contoh nyata
yang paling jelas adalah UU No.30 Tahun 2009, dimana mengatur tentang
penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara, dengan melibatkan badan
usaha asing, koperasi dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam
menyediakan tenaga listrik tersebut.
Oleh
sebab itu, penting untuk elit-elit pemerintah tidak hanya memposisikan
pendirian PLTBg hanya dari aspek ekonomi dan teknis semata. Diperlukan
transformasi dalam berpikir dan menempatkan biogas dalam aspek Hak Asasi
Manusia (HAM). Serta, negara wajib merombak ulang regulasi yang pro
dengan kepentingan asing, menjadi sebuah substansi yang berasaskan
nasional.
Oleh Habibah Auni Mahasisiwi UGM Semester 8 Teknik Fisika
Nama: Habibah Auni
Instansi: Mahasiswa S1 Program Studi Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada
Atribusi:
Kepala Departemen Pendidikan Perhimpunan Mahasiswa Cendekia; Penulis 63
Opini Media Massa; Penulis Buku "Menyelami Jejak Warta Nusantara"
Alamat: Pogung Kidul no.15 A, Sleman, Yogyakarta
Domisili asal: Tangerang Selatan, Banten
Nomor Handphone: 082223248310
Akun media sosial: habibah_auni (Instagram), @carbink98 (Line)
0 comments:
Post a Comment