Dalam Islam, virus seperti Covid-9 Corona masuk dalam
kategori al-Wabaa’ / Wabah, karena persebarannya yang begitu cepat dan
meluas serta penularannya sangat mudah. Munculnya wabah, antara lain
disebabkan karena banyaknya kemaksiatan dan kemunkaran yang dilakukan
oleh manusia. Ini bukan ilmu cocoklogi, tapi ini berdasarkan sabda Nabi
saw :
لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا
إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ
مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا
“Tidaklah fahisyah (perbuatan keji) tersebar pada suatu kaum kemudian
mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar di
tengah-tengah mereka wabah penyakit tha’un dan berbagai penyakit yang
belum pernah terjadi pada kaum sebelum mereka.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam menghadapi wabah, Islam mengajarkan kita utk menyikapinya melalui 3 Prespektif; Aqidah, Fikih dan Adab.
Menurut prespektif Aqidah, setiap Muslim wajib meyakini bahwasanya
tidak ada hal sekecil apapun di jagat raya ini yang dapat bergerak atau
memberikan dampak sedikitpun kecuali dengan izin Allah swt, termasuk
penyakit. Hakikatnya, penyakit tidak menular dengan sendirinya,
melainkan dengan izin Allah swt. Karenanya, setiap mukmin wajib berserah
diri kepada Alllah, sebab penyakit ini dari Allah dan hanya Allah yang
Maha Mampu untuk mengangkatnya sebagaimana Allah Maha Mampu untuk
menciptakannya. Ketika menimpa Muslim yang taat, penyakit ini menjadi
rahmat yang menggugurkan dosa juga mengangkat derajat.
Sebaliknya, saat menimpa ahli maksiat atau orang kafir maka penyakit
ini adalah siksaan. Dalam Hadits, Nabi saw menjelaskan bahwa muslim yang
wafat disebabkan karena Wabah, maka ia wafat sebagai Syahid. Karenanya,
kita wajib berserah diri kepada Allah, kembali kepada Allah, perbaharui
taubat, menangis di dalam sujud, mengemis di tengah keheningan malam,
selalu memohon perlindungan dariNya, inilah yang dinamakan tawakal.
Jika dilihat dari prespektif Fiqih, maka salah satu prinsip dasar
dalam syariat ( yang dikenal sebagai ad-Dhoruriyyatulkhoms ) adalah
Hifdzhunnafs; Menjaga Jiwa. Beranjak dari hal ini, secara garis besar
Islam mendorong segala hal yang menjaga keselamatan jiwa manusia dan
melarang segala yang mengancamnya. Syariat memerintahkan kita utk
waspada dan berhati-hati dari Wabah dan sejenisnya. Rosul saw bersabda
dalam hadits yang Shohih
” Larikah kamu dari orang yang sakit kusta sebagaimana kau lari dari kejaran Harimau ”
Tidak tanggung-tanggung, Nabi saw mencontohkan dengan lari dari
HARIMAU. Artinya, Nabi saw memerintahkan kita untuk sebisa mungkin
menghindari wabah yang menular. Belum lagi sejumlah hadits yang
menganjurkan untuk berobat ketika sakit. Literatur fiqihpun
menggambarkan dengan gamblang perhatian syariat terhadap keselamatan
Jiwa, Sebagai Contoh; seseorang yang memiliki luka, jika Air bisa
membahayakan lukanya maka boleh bertayamum, seseorang yang sakit
dibolehkan utk meninggalkan puasanya dan membayar dengan Qodho setelah
sembuh, seseorang yang khawatir akan keselamatan dirinya ( dari wabah
atau lainnya ) dengan kekhawatiran yang berdasar maka diizinkan untuk
tidak sholat Jum’at, dll.
Kembali ke Covid-19, Berdasarkan pandangan ahli yang saya dengar
langsung dari Dokter spesialis paru-paru yang menangani pasien Covid-19,
juga beberapa sumber terpercaya yang saya telaah, Bahwa Covid-19 adalah
Virus yang sangat berbahaya, tidak ada yang kebal dari virus Covid-19.
Hanya saja dampak dari virus ini terhadap kesehatan bersifat variatif,
sesuai dengan kondisi kesehatan masing-masing. Sesepuh atau yang punya
riwayat sakit gula, ginjal dll punya potensi tertular lebih besar dan
dampak yang lebih serius jika diserang Covid-19.
Covid-19 adalah virus yang tak terlihat, bahkan orang yg sudah
terjangkitpun tidak langsung nampak gejalanya sehingga bisa menularkan
kemana-mana tanpa mengetahui dirinya sakit. Kita tidak tau siapa yang
sakit dan wabah ini bisa menyebar dengan sangat cepat hanya dengan
sentuhan Naudzubillah mindzalik.
Karenanya, proses mitigasi ( Pencegahan dan Minimalisir ) harus
melibatkan SEMUA LAPISAN MASYARAKAT. Selain masing-masing harus
meningkatkan Imun tubuh dengan asupan yang bergizi, social distancing
juga mutlak diperlukan utk menjaga diri dan pencegahan penyebaran.
Konsentrasi massa hasur dihindari sebisa mungkin, karena setiap
konsentrasi massa meningkatkan potensi penularan tanpa disadari.
Gubernur DKI Jakarta menyerukan kepada warganya ” Saat ini jika anda mau
bela negara, maka belalah negara dengan tidak keluar rumah “. Di
Jakarta saat ini segala bentuk kerumunan masa dicegah, tak lain untuk
meredam penyebaran Covid-19 yang sudah pada tahap sangat mengkhawatirkan
Ibu Kota.
Karenanya, dalam rangka melakukan pencegahan ( Dar’ul Mafasid ) di
zona Resiko tinggi Covid-19 banyak Ulama dan Habaib meliburkan sementara
majlis dan tabligh akbar mereka, bahkan MUI berfatwa agar tidak ada
Jum’atan dan diganti dengan solat Dzuhur di rumah masing-masing di Zona
Resiko tinggi Covid-19 seperti DKI Jakarta. Fatwa ini tidak sembarangan,
akan tetapi punya pijakan yang kuat dalam Fiqih dan Maqoshidusyari’ah.
Tentunya dengan tetap menghormati pandangan ulama Istiqomah yang berbeda
dalam hal ini, karena perbedaan Ulama dalam masalah Fiqih adalah
Rahmat.
Bahkan jika situasi mendesak, dengan pertimbangan dan persiapan yang
matang maka Lockdown menjadi opsi yang harus dijalankan untuk meredam
persebaran Covid-19, dan itu terbukti efektif di berbagai negara.
Sebetulnya, jauh sebelum masyarakat modern mengenal istilah Lockdown,
Nabi saw sudah ajarkan solusi tsb, Nabi saw bersabda :
إذا سمعتم بالطاعون بأرض فلا تقدموا عليه وإذا وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا منه
Artinya: ”bila kalian mendengar penyakit (menular) Tha’un di sebuah
tempat, maka janganlah mendatangi tempat itu. Dan jika penyakit itu
terjadi di tempat sementara kalian berada di dalamnya (tempat penyakit
itu) maka janganlah kalian lari (keluar)darinya.”
Ala Kulli haal, Saat ini dibutuhkan langkah yang cepat dan tepat agar
tidak memakan banyak korban lagi di Negri kita tercinta. Ini semua
bukan bentuk ketakutan apalagi minim tawakkal atau lemah Iman, lebih
tepatnya syariat mengajarkan kita utk mengaitkan sebab dengan akibat (
Robthul Asbaab bil Musabbabaat ), inilah yang dinamakan ikhtiar.
Adapun prespektif Adab mengharuskan kita untuk tidak menertawakan
musibah yang menimpa saudara-saudara kita ( As-Syamatah) serta
mengharuskan kita utk rendah hati, jangan merasa kuat dan hebat ketika
tidak tertular. Di sisi lain, Adab menuntut kita utk tidak panik
berlebihan, menghindari sifat tamak dengan menimbun kebutuhan, membantu
mereka yang sedang kesulitan dengan segala kemampuan. Inilah yang
dinamakan akhlaq.
Di saat-saat mencekam seperti ini bahkan setiap saat, harus ada
keseimbangan antara tawakal ikhtiar dan akhlaq. Karenanya, kembalilah
kepada Allah dengan aqidah, fiqih dan adab. Mudah-mudahan Allah segera
angkat wabah ini dan kita dijaga oleh Allah Dzhohiron wa Bathinan.
Penulis: Habib Muhammad Hanif Alathas, Lc.







0 comments:
Post a Comment