Sebagaimana dikisahkan sebelumnya dalam tulisan saya kemarin, yang berjudul Palagan Bubat, Mitos Larangan Perjodohan Suku Sunda dan Jawa, Pangeran
Niskala Wastu Kencana, keturunan Raja Linggabuana, dan adik Puteri Dyah
Ayu Pitaloka Citraresmi yang masih tersisa, pada saat terjadi palagan
Bubat masih kecil, dan belum cukup usia.
Akan tetapi seiring
dengan waktu, ternyata sampai menjelang diangkat sebagai raja
Sunda-Galuh untuk menggantikan mendiang Ayahandanya, Pangeran Niskala
Wastu Kencana, atawa juga disebut Pangeran Wangisutah, masih memendam
dendam terhadap Gajah Mada yang telah menumpas habis seluruh
keluarganya.
Sebagaimana ditulis Drs Yoseph Iskandar
dalam buku "Tanjeur na Juritan Jaya di Buana" yang diterbitkan oleh
Pusat Studi Sunda, dikisahkan setelah tewasnya Raja Linggabuana beserta
seluruh keluarganya di palagan Bubat, untuk sementara tampuk
kepemimpinan kerajaan Sunda-Galuh dipegang oleh Prabu Bunisora
Suradipati. Sambil menunggu Pangeran Niskala Wastu Kencana tumbuh
dewasa.
Akan
tetapi meskipun saat Pangeran Niskala Wastu Kencana sudah
berumahtangga, dan sudah dikaruniai keturunan pun, kenyataannya sewaktu
hendak didaulat sebagai Raja yang berkuasa di tatar kerajaan Sunda-Galuh
sekalipun masih juga menampiknya.
"Gudawangna kanyeri ati, moal lita kitu bae satungtung Gajah Mada masih keneh hirup,"
(Sakitnya hati yang terluka, tak akan pernah sembuh selama Gajah Mada
masih hidup), kata Pangeran Niskala Wastu Kencana dengan tegas ketika
Prabu Bunisora Suradipati menanyakan alasan penolakan Sang putera
mahkota diangkat sebagai raja.
Apa boleh buat. Prabu Bunisora
Suradipati tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia tak mampu menghalangi
Pangeran Niskala Wastu Kencana untuk menuntaskan dendam-kesumatnya
terhadap Mahapatih kerajaan Majapahit, Gajah Mada.
Ditemani
oleh seorang pengawal bernama Rakean Hujung, Pangeran Niskala Wastu
Kencana pun memulai langkahnya menuju arah terbitnya matahari, hanya
demi mengobati luka hatinya secara ksatria.
Sementara Prabu
Bunisora Suradipati terpaksa harus berdusta kepada isteri Pangeran
Niskala Wastu Kencana, bahwasanya suaminya sedang melakukan tapa-brata.
Perjalanan
dengan menunggang kuda dari tatar Sunda menuju kerajaan Majapahit yang
sekarang ini termasuk wilayah provinsi Jawa timur,tentunya akan memakan
waktu yang cukup lama. Sehingga selama dalam perjalanan pun banyak hal yang di alami dan ditemui oleh putra mahkota kerajaan Sunda-Galuh itu.
Dalam
waktu dua minggu saja, perjalanan Wastu Kencana baruh tiba di hulu
sungai Cipamali, atawa kali Pemali, yakni sebuah sungai yang mengalir
dari daerah Purwokerto ke arah pantai utara di daerah Brebes.
Demi
keamanan juga, Pangeran Niskala Wastu Kencana dan pengawalnya selama
dalam perjalanan, keduanya sengaja menyamar sebagai kelana.
Sebagaimana keduanya
hendak beristirahat di pertapaan Agrajati, tempat Resi Jalasuta,
Pangeran Niskala Wastu Kencana mengaku dirinya sebagai kelana, bernama
Rakean Angga yang berasal dari Binayapanti Jampang.
Hanya
saja dalam percakapan selanjutnya, setelah Pangeran Wangisutah
mengetahui pertapaan Agrajati yang terletak di hulu sungai Cipamali itu
masih termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Sunda-Galuh, dan penduduknya,
termasuk Resi Jalasutah pun mengaku sebagai rakyat kerajaan di tatar
Sunda itu, Pangeran Wangisutah ahirnya membuka penyamarannya. Bahkan ia
sempat memberikan hadiah kepada Resi Jalasutah berupa satu kantung uang
kepeng mas untuk membangun pertapaan Agrajati.
Setelah cukup
beristirahat, ksatria kerajaan Sunda-Galuh itu kembali melanjutkan
perjalanan. Kepada setiap orang yang bertemu dalam perjalanan, Pangeran
Wangisutah yang menyamar sebagai kelana, selalu saja memberikan jawaban
bahwa dirinya hendak mencari ilmu ke pertapaan di gunung Dieng.
Karena menurut perkiraannya, bila sudah mencapai gunung Dieng, maka arah untuk menuju ke wilayah kerajaan Majapahit sudah tidak jauh lagi.
Akan tetapi sebelum tiba di gunung Dieng, Pangeran Wangisutah, alias
Pangeran Niskala Wastu Kencana, terlibat dalam pertarungan dengan
kelompok perampok yang sedang melakukan perampokan di suatu desa.
Berkat
kesaktiannya, perampok yang berjumlah puluhan orang dapat
ditaklukkannya, dan pemimpinnya pun diserahkan kepada kepala desa
setempat. Dan sebelum pasukan keamanan kerajaan Majapahit tiba di desa
tersebut, Pangeran Wangisutah segera bergegas pergi. Supaya tidak
ketahuan, tentu saja.
Setibanya di gunung Dieng, kedua kelana yang
menyamar itupun memohon diri kepada Pendeta penunggu candi Semar, candi
Harjuna, dan candi lainnya untuk melakukan ibadat, sekaligus berguru
ilmu di pertapaan Budha tersebut.
Setelah merasa cukup berguru di
pertapaan gunung Dieng, Pangeran Wangisutah bersama Rakean Hujung,
pengawalnya yang setia, kemudian melanjutkan perjalanan menuju kota
Daha, yang merupakan bagian dari pusat kota negara Kediri.
Di Daha
ksatria kerajaan Sunda-Galuh itupun sempat berguru cara membuat senjata
kepada seorang Mpu yang biasa membuat senjata untuk pasukan armada
perang kerajaan Majapahit.
Sesungguhnyalah, tujuan daripada
Pangeran Niskala Wastu Kencana menjadi catrik di tempat Mpu pembuat
persenjataan pasukan Majapahit tersebut, tak lain adalah merupakan suatu
taktik untuk bisa meloloskan diri masuk ke istana kerajaan Majapahit
tanpa dicurigai, dengan menyamar sebagai murid Mpu tersebut.
Benar
saja, ksatria kerajaan Sunda-Galuh tersebut dengan mulusnya dapat
melenggang masuk ke area istana Majapahit tanpa dicurigai sedikitpun.
Bahkan pada ahirnya kesempatan untuk bertemu dengan musuhnya pun, yakni
Mahapatih Gajah Mada dapat terlaksana.
Hanya saja, dendam-kesumat yang membara sekian lama, ahirnya padam
juga seketika saat Pangeran Niskala Wastu Kencana menyaksikan Gajah Mada
yang usianya sudah semakin tua, dan sedang menderita sakit yang sudah
begitu parah pula.
Bagaimanapun jiwa ksatria yang telah membentuk wataknya, membuat Pangeran Wangisutah berubah menjadi iba.
Demikian juga membunuh musuh yang sudah tak berdaya merupakan pantangan bagi seorang yang berjiwa ksatria. ***
0 comments:
Post a Comment