Beberapa pasang mata mengamati dua orang yang sedang
asik berdiskusi di tengah-tengah ramainya kedai sore tadi. Diskusi yang
mereka bawakan tidak terlalu berbobot namun penuh dengan asumsi, mereka
bukan seorang politisi, bukan seorang pengamat, bukan pula seorang
kritikus, mereka hanya seorang mahasiswa biasa yang tengah asik terbawa
nuansa diskusi.
Alur diskusi mengarah pada grand design kehidupan
mereka beberapa tahun mendatang, ada yang berbicara mengenai bisnis,
ada yang berbicara mengenai pendidikan, ada yang berbicara mengenai
konstruksi bangsa, bahkan mereka berbicara mengenai perpolitikan. Sekali
lagi mereka bukan seorang pakar yang terkemuka, bukan seorang praktisi,
ahli, sarjana, atau apapun itu, mereka hanya mahasiswa biasa yang
peduli terhadap kondisi bangsa yang semakin lama semakin pincang.
Malam
semakin larut, diskusi semakin menarik hingga kedai yang mereka diami
mulai riuh oleh bisingnya orang-orang yang berdatangang, hingga suatu
kondisi diskusi mereka merujuk pada satu tema “perjuangan” dalam hal
perpolitikan. Ada satu adigium menarik yang terlontar dari salah seorang “Tak Ada Teman Abadi Dalam Politik, Tak Ada Lawan Abadi Dalam Politik”. Sebuah adigium yang sering kita dengarkan dalam perpolitikan meskipun akhiran dari adigium tersebut tidak disebutkan—yang ada hanyalah kepentingan.
Sejarah
Adigium popular di atas terlahir bukan tanpa sebab dan bukan tanpa alasan. Adigium
tersebut lahir setelah melewati proses yang begitu panjang dalam
kehidupan, ia telah mengalami manis pahitnya perjalanan perpolitikan
juga telah merasakan ganasnya perpolitikan. Kita bisa berkaca dari salah
satu sejarah yang masih hangat dalam Pilpres (Pemilihan Presiden) RI
2014-2019. Terbukti, keberatan partai Gerindra atas majunya Joko Widodo
(Jokowi) sebagai Calon Presiden (Capres) dari PDIP seolah menguji
keampuhan adigium tersebut.
Kita
tahu kesepakatan Batutulis yang menurut versi Gerindra dilanggar oleh
PDIP sangat menimbulkan kecaman dari berbagai belah pihak. Hal tersebut
menyangkut seberapa kuat kepentingan politik yang dimainkan oleh elite
politik. Argumen PDIP menegaskan bahwasanya perjanjian Batutulis
berakhir ketika berakhirnya duet maut Megawati-Prabowo dalam Pilpres
2009 juga ada benarnya. Dengan demikian tidak ada keharusan PDIP
mendukung pencalonan Prabowo dari kubu Gerindra. Disisi lain Gerindra
tidak sepak dengan argument PDIP tersebut.
Semua
sudah mafhum bahwa politik sangat erat kaitannya dengan perebutan
kekuasaan, kapan waktunya, dan bagaimana caranya. Ketika sudah berbicara
mengenai kapan dan bagaimana, etika politik perlu diperhitungkan,
sehingga pencalonan Jokowi sangat diperhitungkan oleh kubu PDIP tanpa
menghiraukan perjanjian Batutulis versi Gerindra. Karena kita tahu,
apabila Jokowi mencalonkan diri 5 tahun mendatang, mungkin bargaining Jokowo sebagai The Next RI-1 akan berkurang ataupun bertambah, itu persoalan spekulasi berpolitik.
Artinya kita dapat menyimpulkan bahwa benar adigium
tersebut terlahir bukan tanpa sebab, tapi lahir dengan proses yang
begitu panjang dan penuh dengan fakta-fakta yang menguatkan—“Tak Ada
Teman Abadi Dalam Politik, Tak Ada Lawan Abadi Dalam Politik, yang Ada
Hanyalah Kepentingan”. Namun pertanyaannya, apakah adigium tersebut layak dijadikan cerminan kondisi perpolitikan kita di Indonesia?
Politik
Politik
menurut teori klasik Aristoteles adalah usaha yang ditempuh warga
negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kita fahami betul bahwa frame politik
di mata warga Indonesia (golongan menengah kebawah) sangatlah kotor,
bahkan politik dijadikan barang haram bagi mereka. Sedangkan jika kita
kembalikan pada definisi awal menurut teori klasik Aristoteles, politik
merupakan sebuah alat yang memiliki tujuan mulia yaitu untuk “kebaikan
bersama”. Tentunya melihat fenomena tersebut, pastilah ada miss conception atau kesalahan dalam praktek perpolitikan di Indonesia.
Jika
kita tinjau definisi diatas mengenai Politik, salah satu kuncinya
adalah kata “usaha”. Usaha menurut KBBI merupakan kata benda yang
berarti mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu
maksud. Artinya usaha bisa dianalogikan sebagai metoda atau media untuk
mencapai suatu maksud yang dimaksudkan. Sedangkan dalam penggeraknya
pastilah terdapat sebuah subjek yang mengomandoi arah usaha tersebut.
Jika
seperti itu, kita bisa analogikan bahwasanya usaha merupakan media,
sedangkan tujuan utamanya akan bisa dicapai apabila media tersebut ada
yang mengomandoi atau ada yang menggerakan, karena usaha tak memiliki
kehendak untuk bergerak dengan sendirinya. Jika usaha berupa media yang
harus dikomandoi sehingga menampakan sebuah cerminan dari hasil, maka
kita bisa menganalogikan usaha tesebut sebagai sebuah gelas yang bening
(politik=gelas yang bening). Frame politik kotor yang
dikemukakan diatas dapat terlihat apabila gelas yang bening tersebut
diisi dengan sesuatu yang kotor, atau yang mengomandoi media tersebut
adalah orang-orang yang kotor, sehingga akan tercipta sebuah cerminan
bahwa medianya kotor (politik kotor) yang menghasilkan tujuan yang
kotor, bisa dianalogikan sebagai warna yang pekat karena isi dalam
gelaspun pekat. Sehingga jelaslah tidak ada yang salah dalam politik
karena dia hanyalah sebuah media atau benda, yang salah hanyalah para
“penunggang politik” atau subjek penggerak politik.
Kembali lagi pada adigium
diatas “Tak Ada Teman Abadi Dalam Politik, Tak Ada Lawan Abadi Dalam
Politik, yang Ada Hanyalah Kepentingan” dan pertanyaan di atas “Apakah adigium tersebut layak menjadi cerminan kondisi perpolitikan kita di Indonesia?”. Jawabannya tentu “TIDAK LAYAK”, analisis Frame Politik
Indonesia di atas menegaskan bahwa yang membuat politik terlihat kotor
adalah subjek penggerak politik yang ada di dalamnya bukan politik itu
sendiri. Subjek penggerak tersebut terlihat kotor ataupun bersih
disebabkan kalimat terakhir adigium diatas, yakni “yang Ada
Hanyalah Kepentingan”. Kepentingan tersebut hanya memiliki dua jenis,
yaitu kepentingan baik dan kepentingan buruk. Tentu saja kepentingan
baik (untuk kemaslahatan bersama) tak perlu kita bahas karena jelas akan
menciptakan kultur perpolitikan yang bersih. Sedangkan kepentingan yang
buruk (tidak memaslahatkan umat) akan menyebabkan kultur perpolitikan
yang kotor.
Fenomena di atas
menyebutkan bahwasanya masyarakat (golongan menengah kebawah) kebanyakan
memandang politik sebagai hal yang kotor bahkan haram untuk didekati,
artinya kepentingan yang sedang kita bicarakan, terlihat di mata
masyarakat adalah kepentingan yang buruk, bukan kepentingan yang baik.
Karena fakta menyebutkan seperti itu, masyarakat memndang politik itu
kotor. Sehingga jelaslah bahwa adigium diatas tidak dapat
mencirikan sebagai tujuan perpolitikan Indonesia karena dinilai tidak
memaslahatkan masyarakat kebanyakan. Sehingga diperlukan transformasi adigium
dari yang asalnya “Tak Ada Teman Abadi Dalam Politik, Tak Ada Lawan
Abadi Dalam Politik, yang Ada Hanyalah Kepentingan” menjadi “Tak Ada
Teman Abadi Dalam Politik, Tak Ada Lawan Abadi Dalam Politik, yang Ada
Hanyalah Keluarga”.
Keluarga Dalam Perpolitikan Untuk Kemaslahatan Bersama
“Keluarga
merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat
di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan” (Departemen
Kesehatan RI)
Jika kita analisis
kembali terkait dengan makna keluarga yang dikemukakan dalam definisi
diatas menyebutkan bahwasanya dalam keluarga saling “ketergantungan”
satu sama lain. Ketergantungan disini erat kaitannya dengan
“kepentingan”. Hanya saja, kepentingan dalam berkeluarga disini
merupakan kepentingan bersama bukan kepentingan antar golongan seperti
yang dikemukakan dalam analisis adigium awal di atas. Artinya,
apabila kepentingan yang hendak dicapai merupakan kepentingan bersama
yaitu keluarga tersebut, maka jelaslah tidak akan ada penjatuhan,
politik kepentingan, berebut kekuasaan, pertumpahan darah antar golongan
ini dengan golongan itu, yang ada hanyalah fokus untuk mencapai sebuah
tujuan dari perpolitikan pada umumnya yaitu “Kepentingan Bersama”.
Hal
ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Lembaga Kajian Ketahanan
Keluarga Indonesia (LK3I) dalam bukunya yang berjudul Tatanan
Berkeluarga Dalam Islam, bahwa Keluarga adalah miniatur sebuah bangsa,
rapuh dan runtuhnya keluarga merupakan indikator lemah dan hancurnya
sebuah bangsa.
Begitupun yang tertulis dalam dalam Alquran Surat Al-Imran Ayat 103 yang menyebutkan“Dan
berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu,
sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika
itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu
dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar
kamu mendapat petunjuk”.
Sehingga perlu adanya transformasi berpikir
bahwasanya ada hal yang lebih besar yang mesti kita pikirkan bersama
dibandingkan hanya sekedar membicarakan kepentingan suatu golongan. Hal
besar tersebut adalah “Kepentingan Bersama” yang digagas dalam sebuah
keluarga (subjek penggerak/orang) yang berada dalam suatu media yang
sama (Politik) untuk mencapai suatu tujuan bersama yaitu kemaslahatan
umat.
Sekian…
Teruntuk
Kawan Satu Perjuangan dan para politikus Indonesia… “Idealisme memang
susah untuk dipertahankan, tetapi Idealisme merupakan indikator kualitas
dari suatu bangsa, maka bertahan dan berjuanglah, kawan!”
“Tak Ada Teman Maupun Lawan Abadi Dalam Politik, yang Ada Hanyalah Keluarga”
0 comments:
Post a Comment