Di awal menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem
Makarim yang diminta dipanggil sebagai mas Menteri membuat pernyataan
yang mengejutkan. Tak seratus persen salah, juga tak seratus persen
benar.
Kata Mas Menteri Nadiem kala itu, “Kita memasuki era di
mana gelar tak menjadi kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan
tak menjamin kesiapan berkarya dan belajar. Kita memasuki era dimana
akreditas tak menjamin mutu. Dan kita memasuki era di mana masuk kelas
tak menjamin belajar.” Sontak publik kaget.
Menurut penulis, apa
yang disampaikan Mas Menteri Nadiem tak seluruhnya benar. Fakta memang
ada yang mengejar kelulusan hanya karena memerlukan ijazah untuk
penyesuaian pangkat misalnya. Kalau masuk kelas tak menjamin belajar,
juga tak betul seluruhnya.
Buat apa masuk kelas kalau bukan untuk
belajar? Sebandel-bandelnya siswa/mahasiswa, pasti berpikir masuk kelas
untuk belajar. Bahwa sekali-sekali ada siswa/mahasiswa yang melirik
lawan jenisnya, ya biasa. Tapi pikirannya tetap belajar Mas Menteri.
Mas
Menteri dulu kuliah di Amerika Serikat kan bukan buat main-main, tapi
buat menuntut ilmu sebagai bekal membaca masa depan bukan? Selain itu,
Mas Menteri juga perlu ijazah kan?
Dan di sana Mas menteri pasti
mencari sekolah yang sudah terakreditasi kan? Bukan kampus asal kampus.
Dan setelah lulus meski beda yang dikerjakan, tapi Mas menteri merasa
kompeten kan? Kalau seandainya Mas Menteri tak sekolah di Amerika, apa
ada ide mendirikan Gojek?
Itu terkait statemen lama Mas Menteri.
Kini,
Mas Menteri buat publik mengernyitkan dahi melalui Program Organisasi
Penggerak (POP) Kemendikbud yang membuat tiga organisasi kemasyarakatan
yang sudah berkontribusi besar dalam dunia pendidikan, mundur serentak.
Muhammadiyah,
NU dan PGRI mundur dari program tersebut. Keputuan ketiga untuk mundur
dari program itu karena banyak peserta program yang bermasalah dan
tersebut tidak kredibel.
POP bertujuan untuk meningkatkan
kompetensi guru dan sekolah. Tapi ketiga organisasi itu melihat bahwa
banyak peserta program ini yang tidak jelas. Lantas efektivitasnya
selama masa pandemi covid-19, dan yang paling disorot publik adalah
masuknya dua yayasan, masing-masing Sampoerna dan Sukanto Tanoto sebagai
penerima dana POP, meski dengan alasan sebagai dana pendamping.
Masuknya
dua yayasan ini bisa jadi sesuai prosedur adminitrasi. Masalahnya
apakah keputusan bersih dari muatan konflik kepentingan. Mengingat
Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Iwan Syahril sebelumnya adalah
dekan atau pengajar di Universitas Sampoerna dan pernah menjadi bagian
dari Tanoto Foundation.
Di sisi lain, kita perlu bertanya, kenapa
kedua yayasan itu membutuhkan dana pendamping? Bukankah Sampoerna dan
Sukanto Tanoto merupakan filatropis ternama. Jangan sampai publik
melihat kedua yayasan itu menabur beras untuk dapat ayam. Rp 20 miliar
terlalu kecil untuk kedua yayasan itu. Justru kedua yayasan itu bisa
memberi lebih besar dari dana APBN yang diterima kepada dunia pendidikan
(guru dan tenaga kependidikan lainnya).
Mundurnya ketiga
organisasi itu dari POP Kemendikbud bisa dibaca sebagai ketidak
percayaan kepada Mas Menteri dan lembaga yang dipimpinnya. Ini tak baik
bagi dunia pendidikan nasional mengingat ketiga organisasi itu sangat
besar kontribusinya bagi pendidikan nasional.
Betul Mas Menteri
bisa melihat masa depan, tapi masa lalu (rekam jejak) juga penting.
Karena masa lalu adalah bagian terpenting dari masa sekarang dan yang
akan datang.
Sebelum terlambat, dan jangan karena nila setitik,
rusak susu sebelanga. Penulis menyarankan Mas Menteri Nadiem untuk
datang bersilaturahmi kepada pimpinan dan pengurus Muhammadiyah, NU dan
PGRI. Apalagi bila dilihat dari sisi usia, sudah sepantasnya Mas Menteri
yang datang kepada ketiga organisasi tersebut.
Di bagian lain,
penulis juga berharap Mas Menteri dapat mengkaji kebijakan Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ). Saya bisa memahami bila di awal-awal kebijakan itu
diambil untuk menjauhkan sekolah sebagai cluster penyebaran covid-19.
Meski dari sisi usia anak persertasenya sangat, sangat kecil.
Sudah
waktunya, sekolah dibuka tentu dengan melaksanakan protokol kesehatan.
Serahkan kepada sekolah masing-masing bagiamana format pengajarannya,
penulis yakin para guru memiliki kemampuan inovasi dalam mengajar.
Mas
Menteri pasti sudah baca banyak anak-anak dari kalangan tidak mampu
kesulitan mengikuti PJJ via daring ini, Belum lagi, banyak orangtua
siswa yang terkena PHK yang membuat suasana rumah tak kondusif untuk
kegiatan belajar.
Demikian Mas Menteri, semoga surat terbuka ini sampai ditelinga bapak. Aaamin Ya Rabbal Allamiin. (Lalu Mara Satriawangsa)
0 comments:
Post a Comment