![]() |
Rudi S. Kamri, Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta. (Foto: Ist)
|
Indonesia tahun ini punya hajat besar yaitu Pilkada serentak di 270
daerah yang terdiri 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota. Seharusnya
hanya ada 269 tapi Pilkada diulang lagi tahun ini.
Pilkada serentak kali ini merupakan gelombang keempat yang dilakukan
untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015.
Ada fenomena menarik yang terendus bakal marak terjadi yaitu praktik
borong dukungan suara dari partai-partai politik. Tujuannya agar
dukungan partai-partai politik hanya mengarah hanya pada satu calon yang
diusung oleh pemborong atau Sang Bandar. Kalau ini terjadi maka ada
skenario besar yang akan terjadi yaitu terjadinya calon tunggal dalam
Pilkada. Artinya yang akan dilawan oleh calon yang diusung oleh Sang
Bandar adalah kotak kosong. Tujuan Sang Bandar jelas untuk menjadi "king
maker" dengan motif penguasaan ekonomi dan bisnis.
Dukungan Sang Bandar jelas tidak akan mungkin gratis. Mereka sudah
mempunyai kalkulasi matang bagaimana bisa menguasai sejumlah proyek dari
penguasa boneka ciptaannya bukan sekedar untuk balik modal tapi meraup
keuntungan sebesar-besarnya. Sudah bisa ditebak, Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) bakal marak terjadi di seantero negeri ini. Ada indikasi
kuat kejadian ini akan terjadi di sejumlah kabupaten-kota terutama kota
kecil yang jauh dari Ibukota Negara.
Bau-bau praktik borong dukungan suara ini konon sudah terendus bakal
dilakukan di Medan, Solo, Makassar, Kediri, Blitar dan berbagai
kabupaten-kota lainnya. Kalau itu benar terjadi akan merusak marwah
demokrasi yang selama ini kita perjuangkan. Dan hal ini harus kita
jadikan musuh bersama.
Kalau tidak kuasa kita bendung, kita harus lawan kelakuan licik
mereka dengan memprovokasi rakyat di daerah itu agar gigih memenangkan
kotak kosong seperti yang pernah terjadi di Pilkada Kota Makassar tahun
2018. Saatnya kita sebagai rakyat harus berani melawan para bandar yang
akan membajak proses demokrasi kita.
Seharusnya Pimpinan Komisi Pemilhan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) dan Menteri Dalam Negeri atau pihak terkait tidak boleh
berdiam diri dan harus melakukan antisipasi dini agar fenomena borong
dukungan partai-partai politik tidak terjadi. Karena ulah mereka
disamping mencederai kemurnian demokrasi juga akan berpotensi mengadali
dan memanipulasi otoritas suara rakyat.
Jangan biarkan demokrasi kita dibajak dan dikangkangi para pemodal
yang akan menciptakan pemimpin daerah boneka yang akan membuat KKN
semakin marak dan subur di negeri ini. Kita harus lawan.
Salam SATU Indonesia
18022020
18022020
#LawanBandarPembajakDemokrasi
*)Rudi S. Kamri, Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta.
0 comments:
Post a Comment