BULAN Ramadhan sering disebut
sebagai momentum introspeksi dan muhasabah diri. Ibarat motor, puasa merupakan
saatnya ‘turun mesin’ untuk meneliti dan memeriksa sekaligus memperbaiki
berbagai onderdil yang rusak. Ibarat komputer, puasa merupakan proses
me-restart diri. Restart dapat diartikan sebagai proses memulai kembali yang
sebelumnya dimatikan beberapa saat. Proses restart diri sangat penting. Metode
restart bisa disebut sebagai langkah mengintegrasikan antara software (rohani)
dan hardware (jasmani) agar dapat terkoneksi secara baik dan holistik.
Sebagai ibadah yang disyariatkan oleh Allah SWT dengan kaifiyah atau tata cara
tertentu, puasa punya tiga dimensi penting. Pertama, dimensi ritual formal
(fisik). Di sini puasa dimaknai sebagai ritual mencegah dari segala sesuatu
yang membatalkan (makan, minum, bersetubuh). Kedua, dimensi ritual spiritual
(rohaniah). Artinya, puasa sebagai ritual menjauhkan diri dari segala sifat
buruk dan sesuatu yang diikuti nafsu. Ketiga, dimensi ritual intelektual. Artinya,
dengan berpuasa, kita akan semakin tahu siapa sebenarnya diri kita.
“Wafi anfusikum afala tubshirun (dan pada dirimu sendiri, apakah kamu tidak
melihatnya dengan mendalam)” (QS Al-Dzariyat: 21). Dengan kata lain, puasa
bukan sekadar ritus tahunan yang berisi ritual peribadatan. Namun, puasa
menghadirkan ruang untuk merenung dan berkontemplasi. Merekap dan merekam
pelajaran apa saja yang dapat kita petik selama setahun. Ibarat survei ataupun
penelitian, ini merupakan model survei paling akurat dan presisi karena
didasarkan bukan hanya pada pengamatan, tetapi atas dasar semua hal yang
dialami dengan semua pancaindera. Restart kebangsaan Tentu tak sekadar
berfungsi untuk me-restart diri, puasa kali ini bisa menjadi momentum untuk
restart kebangsaan. Pasalnya, bulan Ramadhan kali ini berbarengan dengan
mewabahnya virus corona yang menjadi sebab penyakit Covid-19.
Sejak pertama kali muncul pada Desember 2019 lalu di Wuhan, China, hingga
sekarang, jumlah orang yang positif terjangkit Covid-19 di seluruh dunia sudah
menembus angka 3 juta lebih. Sedangkan di Indonesia yang positif hampir
menembus angka 9.511per 28 April 2020. Covid-19 pun mengubah langkah aktivitas
kehidupan manusia secara radikal. Hampir semua aktivitas—bekerja, belajar,
berdakwah, berdagang, bahkan berpolitik—dilakukan secara daring atau virtual.
Kini manusia dalam posisi yang sama. Jika ibadah puasa mampu menghadirkan
spirit egalitarisme di kalangan umat Islam di seluruh dunia, di mana semuanya
menjalankan perintah yang sama dari Allah SWT (tak peduli warna kulit ataupun
derajat sosial seseorang), maka hal sama terjadi saat wabah Covid-19 melanda.
Covid-19 Pandemi mematikan tersebut tidak pandang bulu, siapapun orangnya (kaya
atau miskin, muda ataupun tua, dan sebagainya) bisa tertular Covid-19.
Karenanya, ibadah puasa di tengah wabah Covid-19 me-restart diri manusia agar
merenung dan mengingat kembali kekuasaan Allah SWT. Sehebat apapun manusia
berencana, Tuhanlah yang menentukan. Selain itu, kita berharap puasa di tengah
pandemi tidak hanya mampu menumbuhkan kepekaan spiritual seseorang, namun juga
kepekaan sosial. Wujud dari kepekaan sosial ialah sikap empati dan pro-sosial.
Empati berarti suatu keadaan di mana orang merasa dirinya berada dalam perasaan
atau pikiran yang sama dengan orang lain. Sementara pro-sosial merupakan
tindakan moral seperti rela membantu seseorang yang membutuhkan.
Sebagai musibah kemanusiaan, wabah Covid-19 bukan saja persoalan kesehatan,
namun punya ekses turunan berupa dampak sosial ekonomi. Ketua Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan, akibat Covid-19,
setidaknya terdapat sekitar 1,6 juta warga negara Indonesia yang telah
mendapatkan PHK dan dirumahkan. Sementara Institute for Development of
Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan, seiring dengan meluasnya wabah
Covid-19, maka tingkat kemiskinan di Indonesia juga makin bertambah. Sebagai
contoh, saat ini saja ada sebanyak 115 juta masyarakat rentan miskin di Tanah
Air. Dengan adanya musibah Covid-19, golongan tersebut rentan sekali jatuh ke
bawah garis kemiskinan.Sehingga proyeksi penduduk miskin per-September 2020 akan
berada di kisaran 26-26,5 juta jiwa. Karena itu, umat Islam sebagai mayoritas
penduduk di Tanah Air (jumlahnya 89 persen menurut data survei lembaga Arus
Survei Indonesia, April 2019) harus mampu menjadikan bulan puasa di tengah
pandemi ini sebagai momentum me-restart kesadaran untuk berbagi dan berderma.
Semua harus bahu membahu dan saling membantu antar-sesama. Semoga
. (Ali Rif’an,
Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU), Direktur Eksekutif
Arus Survei Indonesia)
0 comments:
Post a Comment