» BLBI adalah extraordinary crimes yang harus diingat semua. Menghadapinya ya harus dengan extraordinary law, jangan business as usual.
» Mengapa bisa negara yang membayar bunganya ke obligor? Itu keputusan yang salah. Padahal merekalah yang berutang.
JAKARTA - Kejahatan mahabesar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) harus dihentikan. Hal itu bisa terjadi jika pemerintah bertindak tegas dengan tidak lagi membayar bunga obligasi rekap yang akan terus dibayar negara hingga 2043 dan menagih piutang negara kepada obligor yang sampai saat ini belum melunasi kewajibannya.
Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional sama sekali bukan bukti sah obligor telah melunasi kewajibannya. Berdasar UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara di Pasal 37 Ayat 2 poin c dengan jelas disebutkan: penghapusan piutang negara ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR untuk jumlah lebih dari 100 miliar rupiah.
"Pembayaran bunga obligasi rekap BLBI harus dihentikan. Kenapa dihentikan? Supaya APBN tidak terlalu defisit. Jika tidak, negara bisa bangkrut," kata Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, di Jakarta, Jumat (19/11).
Menurut Badiul, mestinya uang untuk membayar obligasi rekap itu digunakan saja untuk hal-hal yang produktif yang memperkuat ekonomi nasional. Ada banyak kegiatan yang sangat membutuhkan anggaran, kata dia.
"Harus dihentikan biar kualitas anggaran lebih sehat. Penghapusan piutang tentu sangat mencederai nurani. Terlebih, obligor BLBI ini mengeruk uang negara, tetapi giliran diminta bayar, malah minta keringanan atau penghapusan piutang," kata Badiul
Senada dengan Badiul, Penasihat Senior Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, menegaskan kejahatan BLBI harus berhenti supaya Indonesia bisa menghadapi masa depan tanpa sisa kejahatan masa lalu. BLBI harus menjadi pelajaran negara dan bangsa ini. Tidak boleh terulang lagi dan harus berhenti pada saat ini.
"BLBI adalah extraordinary crimes yang harus diingat semua. Menghadapinya ya harus dengan extraordinary law, jangan business as usual. Pastikan semua kerugian negara balik dan itu pun kan sebenarnya kerugian yang belum menghitung opportunity lost dari rakyat," kata Gunawan.
Ia memaparkan, kerugian yang hari ini diurus oleh Satgas BLBI hanyalah nilai nominal yang dulu diberikan negara untuk menalangi bank-bank kolaps milik konglomerat. Padahal, selain harus menghitung bunga obligasi rekap, semestinya juga menyertakan opportunity lost atau kerugian kesempatan bagi rakyat untuk menggunakan dana itu demi kepentingan rakyat. Jumlahnya akan menjadi sangat besar, karenanya BLBI adalah extraordinary crimes atau kejahatan luar biasa.
"Jadi yang diurus sama Satgas BLBI ini kan sebenarnya tidak memberatkan konglomerat pengemplang BLBI. Kalau sampai tidak bayar, ya sudah wajib, harus, negara ambil tindakan tegas. Jadi, tugas Satgas untuk menggunakan segala daya upaya extraordinary law," tandas Gunawan.
Wibawa Pemerintah
Presiden Forum Dekan Ilmu-ilmu Sosial (Fordekiis), Andy Fefta Wijaya, mengatakan pembiaran kekayaan negara yang hilang dalam skandal BLBI sama dengan mempertaruhkan wibawa pemerintah di hadapan obligor.
"Pemerintah harus menegakkan wibawanya di depan para pengemplang dana BLBI karena memang ada aturan yang jelas tentang hal ini dalam UU No 1 Tahun 2004 bahwa piutang di atas 100 miliar hanya bisa dihapus oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Kembalikanlah hal ini pada tata aturan main yang sudah ada tersebut," kata Andy Fefta, yang juga Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (UB) Malang.
Sebelumnya, Guru Besar Ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan bahwa pemerintah harus meninjau ulang keputusan di masa lalu yang menempatkan obligasi rekap di beberapa bank dan membayar bunganya dari 1998 hingga 2043.
"Mengapa bisa negara yang membayar bunganya? Padahal mereka yang berutang. Itu keputusan yang salah. Suasana masa lalu jangan dipakai di masa kini. Pemerintah harus tegas menghentikan kebijakan masa lalu itu. Jangan ada praktik-praktik yang merugikan negara lagi, seperti APBN digunakan untuk memperkaya pemilik bank yang tidak mau melunasi kewajibannya, kemudian mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) padahal yang dibayar masih jauh dari jumlah utang sebenarnya," kata Suroso.
0 comments:
Post a Comment