JAKARTA ( Kontak Banten) - Perusahaan yang bergerak di bidang oleokimia PT Sumi Asih
menghentikan produksi karena tidak mampu memenuhi kewajibanmemasok
minyak goreng sebanyak 20 persen dari produk yang akan diekspornya.
Direktur
HRD and Legal PT Sumi Asih Markus Susanto di Jakarta, Sabtu (12/3),
mengatakan karena tidak bisa beroperasi, pabrik yang berlokasi di
Bekasi, Jawa Barat, tersebut telah merumahkan 350 karyawannya.
Markus
Susanto memaparkan pabriknya tidak menggunakan CPO sebagai bahan baku
produksi, tetapi menggunakan RBD stearin yakni produk samping pabrik
minyak goreng untuk kemudian diolah menjadi stearic acid dan glycerine.
Permendag No. 8 Tahun 2022 mewajibkan produsen oleokimia yang akan mengekspor produknya menjalankan DMO minyak goreng.
"Aturan tersebut tentu menyulitkan produsen oleokimia yang tidak memproduksi minyak goreng," katanya.
Untuk
memenuhi kewajiban DMO itu, pihaknya harus membeli CPO atau olein
dengan harga pasar yang saat ini Rp20.500 per kilogram kemudian menjual
minyak goreng dengan harga yang ditentukan pemerintah Rp10.300 per kg.
"Jika
dihitung dengan melaksanakan DMO sebesar 20 persen, perusahaan tiap
bulan akan menanggung defisit sekitar Rp6,3 miliar," katanya.
Dia
merinci angka itu berasal dari 30.000 ton produk stearic acid dan
glycerine yang setiap bulan diekspor dikalikan 20 persen berarti 600 ton
yang kemudian dikalikan selisih yang harus dibayar bahan baku dengan
minyak goreng Rp9.700 per kg sama dengan Rp6,3 miliar.
Jika sekarang DMO menjadi 30 persen berarti defisit perusahaan hampir Rp10 miliar dalam sebulan.
Menurut
dia, aturan DMO itu tidak berdampak serius bagi industri oleokimia yang
terintegrasi yakni dalam satu grup usaha juga memiliki kebun sawit,
punya pabrik kelapa sawit (PKS) yang memproduksi tandan buah segar (TBS)
menjadi CPO, punya pabrik pengolahan minyak goreng, pabrik oleokimia
sampai pabrik fatty alcohol, dan pabrik biodiesel.
"Bagi mereka
ini akan sangat mudah melaksanakan aturan DMO itu, karena dia produksi
minyak goreng. Walaupun dia rugi jual minyak goreng untuk DMO, tapi dia
kan bisa menggenjot produk lain untuk diekspor," katanya.
Markus mengungkapkan, saat ini perusahaannya tidak dapat melakukan ekspor karena sudah tiga pekan tidak berproduksi.
Sementara itu, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menolak DMO 30 persen dari sebelumnya 20 persen.
"Tidak
perlu DMO 30 persen, cukup 20 persen dan bahkan saya sarankan supaya
lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO," ujar Direktur Eksekutif GIMNI
Sahat Sinaga dalam konferensi pers, Jumat (11/3).
Menurut dia, kebijakan tersebut justru akan mempersulit eksportir, bahkan bisa mengakibatkan ekspor jadi macet.
"Apabila ekspor terhalang, perkebunan sawit akan rugi karena 64 persen market kita ada di pasar luar negeri," ujar Sahat.
0 comments:
Post a Comment